THE SECRET MOUNTAIN by Enid Blyton Copyright © Darrell Waters Limited 1941 All rights reserved First published by Basil Blackwell Ltd 1941 EMPAT SERANGKAI: GUNUNG RAHASIA Alihbahasa: Indri K. Hidayat GM 86.061 Hak cipta terjemahan Indonesia PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Sampul dikerjakan oleh Nono. S Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI Jakarta, Maret 1986 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta Djvu: BBSC ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu Daftar Isi 1. Awal Mula Suatu Petualangan 2. Tengah Malam 3. Perjalanan yang Menggairahkan 4. Di Negeri Aneh 5. Menunggu Berita 6. Cerita Aneh si Ranni 7. Kedatangan Mafumu 8. Perjalanan Panjang 9. Gunung Rahasia 10. Kejutan 11. Air Terjun 12. Jalan Masuk ke Perut Gunung 13. Penemuan Mafumu 14. Di Dalam Gunung 15. Di Puncak Gunung 16. Perjalanan Aneh dengan Kejutan 17. Ranni dan Pilescu Lolos 18. Kurban 19. Matahari Menghilang! 20. Burung Raksasa 21. Lolos 22. Selamat Tinggal, Mafumu! 1. Awal Mula Suatu Petualangan Pagi-pagi sekali, pada suatu hari yang cerah, empat orang anak berdiri di sebuah lapangan terbang. Lapangan terbang itu ditumbuhi rumput kasar. Dua orang lelaki nampak sedang memutar baling-baling sebuah pesawat udara berwarna putih berkilauan. Anak-anak asyik memperhatikan kedua orang itu bekerja. Wajah anak-anak itu agak sedih. Mereka hendak berpisah dengan ayah dan ibu mereka yang sebentar lagi akan berangkat terbang ke Afrika. "Punya ayah dan ibu yang terkenal berprestasi banyak dalam dunia penerbangan memang bangga," kata Mike. "Tapi, kalau beliau pergi ke tempat yang jauh - tak enak juga!" "Ah, kan perginya tak lama," ujar Nora, saudara kembar Mike. "Seminggu lagi kita sudah bisa bertemu lagi dengan Ayah dan Ibu." "Ya, tapi aku punya firasat sepertinya akan lebih lama dari itu," kata Mike pula dengan suram. "Hus, jangan berkata yang bukan-bukan begitu dong, Mike!" komentar Peggy. "Suruh dia berhenti ngomong, Jack!" Jack tertawa. Bahu Mike ditepuknya. "Sudahlah, Mike!" katanya. "Jangan bersedih begitu. Seminggu lagi kita akan berada di tempat ini lagi - menyambut kedatangan beliau. Bukan cuma kita yang datang menyambut Tapi, banyak wartawan yang akan mengerumuni kita - memotretmu, bahkan - karena kau adalah putra pilot paling kawakan di dunia!" Ayah dan ibu anak-anak datang. Mereka mengenakan pakaian penerbang. Keduanya mencium dan memeluk anak-anak itu. "Jangan kuatir," kata ibu mereka. "Tak lama lagi Ayah dan Ibu pulang. Kalian bisa mengikuti perjalanan terbang kami dengan membaca koran tiap hari. Kalau Ayah dan Ibu pulang nanti, kita akan mengadakan pesta. Kalian boleh ikut pesta sampai pukul sebelas malam." "Wah!" ucap Jack. "Kalau begitu, mulai sekarang kami harus tidur sore-sore supaya tidak ngantuk kalau pesta seminggu lagi!" Gurauan Jack kurang lucu sebenarnya. Tetapi semua merasa senang karena ada alasan untuk tertawa. Setelah sekali lagi mencium masing-masing anak, Kapten dan Nyonya Arnold naik ke pesawat. Sementara itu baling-baling pesawat sudah berputar kencang. Kapten Arnold mendapat giliran pertama menjadi pilot dalam babak pertama penerbangan kali itu. Ia melambaikan tangan kepada anak-anak. Anak-anak melambai kembali kepadanya. Mesin pesawat menderu lebih keras, lalu pesawatnya mulai bergerak. Mula-mula perlahan-lahan menyeberangi lapangan berumput, makin lama makin kencang. Akhirnya, seperti seekor burung yang membumbung ke udara, pesawat itu lepas landas. Rodanya meninggalkan tanah, dan badannya naik makin tinggi dan makin tinggi ke udara bebas. Dua kali pesawat itu terbang memutar. Setelah itu ia baru terbang ke arah selatan. Deru mesinnya masih terdengar walaupun pesawatnya sudah tak kelihatan. "Aku berani tebak, si Seriti Putih pasti menang lagi," kata Mike, memandang titik putih yang semakin kabur di ketinggian langit biru. "Kita minum limun sambil makan kue, yuk!" Mereka meninggalkan landasan. Tak lama kemudian keempatnya telah duduk mengelilingi sebuah meja makan di kantin lapangan terbang. Karena semuanya kelaparan, mereka memesan dua belas buah kue kismis. "Kita mujur bisa bebas dari sekolah dua hari," kata Mike. "Sayangnya, hari ini kita sudah mesti kembali. Kalau tidak, wah - asyik! Kita bisa nonton bioskop atau jalan-jalan." "Kereta api kami berangkat dari London dua jam lagi," ucap Peggy. "Berapa lama lagi keretamu berangkat?" "Tiga jam lagi," sahut Jack sambil sibuk mengunyah kue kismisnya. "Kita mesti cepat-cepat ke stasiun. Lama perjalanan dari sini ke London kira-kira satu jam. Kalau tidak secepatnya berangkat, bisa-bisa Nora dan Peggy ketinggalan kereta." "Kita janji, ya - tiap hari masing-masing harus baca koran. Supaya tahu perkembangan perjalanan Ayah dan Ibu. Lagi pula, supaya kita selalu tahu sudah sampai di mana beliau," kata Peggy. "Jangan lupa - seminggu lagi kita bertemu kembali di sini untuk menyambut kedatangan Ayah dan Ibu. Wow! Senangnya minggu depan ya!" "Terus terang, perasaanku masih kurang enak," ucap Mike. "Rasanya kita bakal berpisah dengan Ayah dan Ibu untuk waktu yang lama." "Kau ini ada-ada saja!" Nora tertawa. "He, ngomong-ngombng, bagaimana kabarnya Pangeran Paul?" Pangeran Paul bersekolah di sekolah Mike. Bersamanya, tahun sebelumnya, anak-anak mengalami kejadian yang aneh dan tak terlupakan. Ketika itu Pangeran Paul diculik dari negeri Baronia, dan ditawan di sebuah rumah tua yang pernah ditinggali kelompok penyelundup. Anak-anak berhasil menyelamatkan Pangeran Paul. Sekarang Paul disekolahkan di sekolah Mike dan Jack. "Dia baik-baik saja," jawab Mike. "Tapi, ketika Bapak Kepala Sekolah tak memberi izin padanya untuk pergi bersama kami untuk mengantar Ayah dan Ibu - wah, marahnya bukan main!" "Salam buatnya. Katakan, kami kangen dan ingin cepat-cepat liburan supaya bisa bertemu lagi dengannya," kata Peggy. Peggy sangat menyukai si pangeran. "Ayo berangkat!" kata Mike. "Di mana mobil kita tadi? Oh, itu dia. Ayo, masuk semua! Jack dan aku masih punya waktu buat mengantar kalian sampai ke dalam kereta, Nora dan Peggy!" Sore harinya anak-anak sudah berada kembali di sekolah mereka masing-masing. Pangeran Paul sudah menunggu-nunggu kedatangan kedua orang sahabatnya. Ketika melihat Jack dan Mike datang, ia berlari menyambut mereka. "Bagaimana? Besar sekali pesawat terbangnya ya?" tanya Paul berteriak-teriak. "Sudah lihat surat kabar sore? Ada potret Kapten dan Nyonya Arnold di situ!" Benar juga. Surat kabar sore memuat banyak artikel mengenai penerbangan besar yang pernah dilakukan oleh pilot-pilot kenamaan. Dengan bangga anak-anak membacanya. Hati mereka senang mempunyai ayah dan ibu yang demikian terkenal. "Aku lebih suka punya ayah jadi pilot kenamaan daripada raja," ujar Pangeran Paul iri. "Jadi raja banyak tak enaknya. Kalau pilot kan hebat?" Dua hari berturut-turut surat kabar memuat berita mengenai penerbangan yang mulus dan hebat. Tetapi, secara mendadak sesuatu yang mengerikan terjadi. Mike lari mengambil koran yang baru datang. Yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah judul berita utama. Bunyinya, "SUAMI-ISTRI ARNOLD TAK ADA BERITANYA. KE MANA SI SERITI PUTIH?" Seriti Putih adalah nama pesawat terbang yang diterbangkan oleh Kapten dan Nyonya Arnold. Wajah Mike langsung pucat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun diberikannya koran kepada Jack. Jack memandang judul berita dengan hati kecut. "Ada apa, ya?" katanya. "Nora dan Peggy pasti kebingungan." "Aku kan sudah bilang, aku punya firasat tak enak waktu Ayah dan Ibu berangkat," ujar Mike. "Aku merasa akan terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan." Seperti Mike dan Jack, Nora dan Peggy sedih dan bingung. Nora menangis tak henti-hentinya. Peggy berusaha menghibur saudaranya. "Tak ada gunanya kaukatakan kepadaku bahwa Ayah dan Ibu tidak apa-apa," sedu Nora. "Beliau pasti turun di tengah Benua Afrika. Tak ada orang yang tahu bagaimana keadaan mereka. Mungkin dimakan binatang buas, atau ditawan oleh suku bangsa yang masih belum beradab, atau -" "Sudahlah, Nora. Ayah dan Ibu kan membawa cukup banyak persediaan makanan. Di samping itu, mereka juga membawa senjata api," hibur Peggy. "Seandainya terjadi kecelakaan dengan pesawat yang diterbangkan beliau, pasti ada regu penyelamat yang dikirim untuk mencari mereka sampai ketemu. Jangan pikirkan yang terburuk sebelum kita mendengar berita lebih lanjut." "Kalau ada Mike dan Jack, mungkin kita takkan jadi sebingung ini," ujar Nora sambil mengeringkan air matanya. "Bagaimana pendapat mereka, ya?" "Libur tengah semester tak lama lagi, kan? Dua minggu lagi kita bertemu mereka," kata Peggy pula. Anak-anak sangat kecewa ketika surat kabar tidak memuat berita lebih lanjut mengenai orang tua mereka pada esok harinya. Hal yang sama terjadi pada hari yang berikutnya. Hari demi hari berlalu. Surat kabar tetap saja tidak memberitakan mengenai penerbang yang hilang beberapa hari sebelumnya. Berita yang dimuat cuma berita-berita baru yang masih segar. Anak-anak menjadi semakin bingung dan gelisah. Liburan tengah semester tiba. Keempat anak itu pergi ke London. Mereka hendak menghabiskan liburan di rumah orang tua mereka. Nona Dimmy yang sudah lama menjadi sahabat keluarga Arnold akan menemani mereka. Sore itu Pangeran Paul ikut bersama anak-anak. Siangnya, ia harus menemui orang tuanya yang kebetulan sedang berada di bagian lain kota London. "Adakah sesuatu yang dilakukan orang untuk mencari Ayah dan Ibu?" tanya Mike, ia lega bertemu dengan Nona Dimmy yang ia sayangi. "Kalian tak perlu terlalu kuatir," ucap Dimmy. "Segala sesuatu yang bisa dilakukan tentu sudah dilakukan. Sudah beberapa pesawat dikirim ke daerah yang mungkin menjadi tempat pendaratan ayah dan ibu kalian. Percayalah. Tak lama lagi pasti ketemu." Dimmy mengajak anak-anak menonton bioskop. Beberapa jam lamanya anak-anak lupa akan kegelisahan mereka. Hampir magrib, Pangeran Paul datang bergabung. Anak itu nampak gembira luar biasa. "He!" serunya. "Ayahku memberiku hadiah ulang tahun yang hebat sekali. Tebak - apa, ayo!" "Gajah merah muda," kata Mike segera. "Jas tidur biru," tebak Nora. "Tikus-tikusan," seru Peggy. "Gasing!" ucap Jack. "Ah, kalian ngeledek," kata Pangeran Paul. ia cuma nyengir, sudah terbiasa dengan ledekan anak-anak Inggris yang menjadi sahabat karibnya. "Tebakan kalian salah semua! Ayahku menghadiahi kapal terbang - khusus buat aku sendiri!" Anak-anak memandang Paul dengan keheran-heranan. Mereka tahu ayah Paul seorang raja yang kaya raya. Meskipun demikian, rasanya pesawat terbang merupakan hadiah yang terlalu berlebih-lebihan untuk anak seusia Paul. "Pesawat terbang!" seru Mike. "Astaga! Mujur benar kau, Paul! Sayangnya kau masih terlalu kecil untuk menerbangkannya. Jadi, pesawat itu takkan ada gunanya buatmu!" "Ada," sanggah Paul. "Ayah mengirimkan pilotnya yang paling hebat. Aku bisa terbang mengelilingi negara kalian - supaya lebih mengenal liku-likunya." Dari arah jendela, terdengar orang berteriak di bawah. "Koran! Koran! Berita hangat - Seriti Putih ketemu!" Sambil memekik, anak-anak berhamburan turun - membeli koran sore. Ternyata beritanya sangat mengecewakan! Benar Seriti Putih ketemu - tetapi, Kapten Arnold dan istrinya tidak ada di dalamnya. Mereka hilang tanpa bekas! Anak-anak membaca beritanya dengan diam. Seriti Putih berhasil dilihat oleh sebuah pesawat pencari yang kebetulan mendarat tak jauh dari tempat Seriti Putih ditemukan. Kelihatannya Seriti Putih mengalami kerusakan. Kapten Arnold sedang berusaha memperbaiki. Tetapi, sesuatu menyebabkan ia tak bisa meneruskan perbaikan itu. "Mereka menghilang. Semua penduduk di sekitar situ sudah ditanyai. Tetapi, tak seorang pun tahu," ucap Peggy hampir menangis. "Ingin rasanya aku pergi ke Afrika mencari Ayah dan Ibu," kata Mike. Ia tak tahu betapa luasnya benua itu. Tiba-tiba Pangeran Paul menyelipkan tangannya pada tangan Paul. Matanya bersinar-sinar. "Kita pergi ke sana, yuk!" ajaknya. "Aku kan punya pesawat terbang baru! Kita menumpang pesawat itu. Pilescu, pilot pribadiku, pasti mau menerbangkan kita ke sana! Orangnya suka bertualang! Ayolah, Mike - kita tak usah kembali ke sekolah! Kita pergi saja ke Afrika menumpang pesawat baruku!" Semua terperanjat. Mereka memandang si pangeran dengan terheran-heran. Bukan main anak itu! "Tak mungkin," kata Mike. "Mengapa tidak?" sahut Paul. "Kau takut, ya? Kalau kau takut, aku akan pergi sendiri." "Jangan!" seru Jack. "Mike - gagasan Paul bagus, lho! Kita pernah bertualang bersama. Apa salahnya bertualang sekali lagi? Kita pergi saja, yuk!" 2. Tengah Malam Tak seorang pun teringat akan bahaya dan risiko yang mungkin mereka jumpai dalam perjalanan yang dengan singkat mereka rencanakan. "Kita bilang Dimmy?" tanya Nora. "Jangan," cegah Jack meremehkan. "Kau kan tahu sendiri bagaimana orang dewasa itu. Dimmy pasti cepat-cepat menelepon pilot si Paul - melarang dia membawa kita ke mana pun!" "Ah, kurang baik kalau meninggalkan Dimmy begitu saja tanpa mengatakan ke mana kita hendak pergi," kata Nora. Nora sangat sayang kepada Nona Dimmy. "Kita tinggali surat saja," usul Mike. "Usahakan Dimmy baru membaca surat kita setelah kita berangkat. Jangan sampai Dimmy atau orang lain tahu rencana kita sebelumnya. Wah, untung saja ya Paul dapat hadiah pesawat terbang!" "Kapan kita berangkat?" tanya Paul. Matanya yang hitam besar tampak berkilat-kilat. "Sekarang juga?" "Jangan bodoh, Paul," kata Jack. "Banyak yang harus kita siapkan lebih dulu. Kita perlu membawa senjata, misalnya!" "Aku kurang suka senjata," tutur Nora. "Ngeri! Takut pelurunya keluar sendiri." "Mana bisa," kata Jack. "Jangan takut! Kau dan Peggy tak perlu membawa senjata. Tapi, dari mana kita bisa dapat senjata - aku sendiri tak tahu." "Pilescu punya segalanya yang kita perlukan," ujar Paul. "Kalian tak usah bingung-bingung." "Bagaimana dia bisa tahu apa yang mesti dibawa?" tanya Mike. "Aku sendiri belum bisa mikir apa yang harus dibawa." "Asal diberi tahu, Pilescu akan mencari semua yang kita perlukan," kata Paul. "Coba kasih tahu bagaimana caranya menelepon di sini. Aku hendak menelepon Pilescu." Tak lama kemudian Paul sudah bercakap-cakap dengan Pilescu, pilotnya yang cuma bisa bengong. Akhirnya, Pilescu bilang ia akan datang menemui Paul - supaya bisa mengerti perintah yang diberikannya itu dengan lebih jelas. "Bagaimana kalau pilotmu tak mau?" kata Jack. "Pilot bangsa kami pasti cuma tertawa dan menyuruh kami sekolah, belajar kali-kalian!" "Pilescu tidak akan menolak," ujar si pangeran kecil. Dagunya sedikit mendongak ke atas. Mendadak ia kelihatan benar-benar seorang putra raja. "Dia sudah bersumpah hendak mengabdi kepadaku selama aku hidup. Dia akan melaksanakan segala perintahku." "Kalau dia bilang kepada ayahmu, bagaimana?" tanya Mike. "Yah, dia takkan kujadikan orang kepercayaanku lagi," sahut Paul tajam. "Kalau sampai hal itu terjadi, Pilescu tentu sedih sekali. Dia sangat sayang kepadaku, dan menghormati aku. Aku pangerannya. Pada suatu hari kelak, aku akan memerintah negaraku sebagai raja." "Omonganmu kayak buku sejarah saja." Peggy tertawa. "Pokoknya, Paul - usahakan Pilescu mau melaksanakan rencana kita. Sebentar lagi ia pasti datang." Dua puluh menit kemudian, Pilescu sampai. Kelihatan benar bahwa ia orang asing. Tubuhnya tinggi kekar, matanya hitam tajam, dan jenggotnya lebat berwarna merah seperti nyala api kalau tertimpa cahaya matahari. Tingkah lakunya sopan sekali. Ia mengangguk hormat kepada semua sahabat Paul, satu per satu. Lalu, dengan suara yang lembut ia berbicara kepada Paul. "Pangeran, aku rasanya tak percaya kau sungguh-sungguh menyuruhku melaksanakan perintah yang kausampaikan lewat telepon tadi. Tidak mungkin, Pangeran. Aku tak bisa melaksanakannya." Pangeran Paul langsung marah. Kakinya ia hentak-hentakkan ke lantai sementara wajahnya merah padam dan matanya melotot murka. "Pilescu, berani kau berkata begitu kepadaku, ya? Ayahku, Raja Yang Dipertuan, mengatakan bahwa kau harus memenuhi segala perintahku - sampai pada yang sekecil-kecilnya! Baiklah. Mulai sekarang, kau tidak lagi jadi orang kepercayaanku. Kau kukirim pulang ke Baronia. Aku akan minta ayahku mengirim orang lain yang lebih baik." "Pangeran, sejak kecil kau kugendong dan kutimang. Aku telah berjanji hendak berbakti kepadamu," ujar Pilescu dengan suara ketakutan. "Aku takkan pernah meninggalkanmu, Pangeran. Ayahmu memerintahkan agar aku menemanimu. Tapi, jangan hendaknya kau memintaku melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan bahaya bagimu." "Pilescu! Aku putra raja! Pantaskah seorang putra raja takut menghadapi bahaya?" seru Pangeran Paul. "Yang kaulihat di sini ini semuanya sahabatku. Mereka sedang mengalami musibah. Aku sudah berjanji hendak menolong mereka. Kau ingat, mereka menyelamatkan diriku waktu aku diculik dan ditawan dulu, kan? Nah, sekarang tiba giliranku menolong mereka. Dan, kau kuminta melaksanakan perintahku." Anak-anak memandang Paul dengan heran. Belum pernah mereka melihat Paul bersikap sebagai seorang pangeran. Tak sampai sepuluh menit kemudian, lelaki Baronia bertubuh besar dan kekar itu telah berjanji hendak mematuhi segala perintah si pangeran kecil. Dengan setengah membungkuk, Pilescu meninggalkan Pangeran Paul dan teman-temannya. Dimmy tak sempat tahu siapa tamunya. "Bagus, Paul!" ujar Mike. "Sekarang kita tinggal menunggu kabar dari Pilescu." Malam itu juga Pilescu menelepon Pangeran Paul. Sehabis berbicara dengan Pilescu, Paul berlari-lari menghampiri kawan-kawannya. Wajahnya berseri-seri. "Pilescu sudah menyiapkan segalanya. Semua yang perlu dibeli sudah ia beli. Tapi, ia menyuruh kita mengepak dua tas berisi barang-barang yang kita pikir bakal kita perlukan. Kita mengepak sekarang, yuk. Kita harus berangkat tengah malam, langsung masuk ke mobil yang sudah disediakan di tikungan. Kita ke lapangan terbang dengan mobil itu!" "Wah! Asyik benar!" kata Mike. Nora dan Peggy menggosok-gosok tangan - merasa tak percaya bahwa sebentar lagi petualangan baru akan segera dimulai. Hanya Jack yang nampak ragu-ragu. ia yang paling tua usianya. Terpikir olehnya bahwa membawa serta Nora dan Peggy serta dalam perjalanan yang mungkin berbahaya ini bukanlah tindakan yang bijaksana. Tetapi, Jack tak sempat menyatakan keraguannya. Mereka semua sudah bertekad hendak berangkat. Segalanya telah siap. Mereka tinggal mengepak dua tas lagi - berisi barang-barang yang akan mereka perlukan. Ya, sebentar lagi mereka hendak berangkat! Tas telah dipak. Karena hati berdebar-debar, mereka hampir tak dapat berpikir apa yang hendak mereka masukkan ke dalam tas itu. Ketika akhirnya kedua tas yang hendak mereka bawa itu penuh diisi, mereka sudah lupa apa saja yang telah mereka masukkan ke dalamnya! Dengan tangan gemetar, anak-anak mengunci tas mereka. Lalu Mike menulis surat pendek untuk Dimmy. Surat itu ia letakkan di atas meja rias di kamar Nora dan Peggy. "Dimmy yang baik, Kami pergi mencari Ayah. dan Ibu. Jangan kuatir akan keadaan kami ya! Sebentar lagi kami pasti kembali dengan selamat Salam sayang dari kami semua." Pada waktu itu Dimmy sedang bertamu ke rumah temannya, ia baru pulang pukul sembilan malam. Anak-anak sengaja berangkat tidur dengan berpakaian bagus, supaya tak perlu ganti baju lagi sebelum berangkat. Dimmy kaget melihat anak-anak telah berbaring di tempat tidur masing-masing ketika ia datang. Mereka tidak ribut, dan tidak bergerak dari selimut yang menutupi tubuh mereka. Dimmy tak mengira bahwa semuanya itu karena mereka tidak mengenakan pakaian tidur! "Astaga! Kalian pasti kecapekan!" ucapnya heran. "Selamat tidur, semuanya! Tidur yang enak, ya! Libur kalian masih ada sehari lagi. Jadi, kita bisa memuas-muaskan diri besok." Semua berbaring tenang-tenang sampai terdengar Dimmy masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Setelah itu mereka memasang telinga, mendengarkan setiap gerakan Dimmy di kamar sebelah. Akhirnya kedengaran Dimmy mematikan lampu kamarnya. "Jangan bangkit dulu," bisik Jack kepada Mike. "Biarkan Dimmy tidur dulu." Setengah jam mereka menunggu. Semuanya diam, tak ada yang mengobrol atau bergerak-gerak, Nora sampai ketiduran! Peggy membangunkannya. Nora sangat kaget ketika terbangun. Gelap gulita di sekelilingnya. Di samping itu, ia tidak mengenakan pakaian tidur! Tetapi Nora segera sadar. Mereka hendak berangkat bertualang, ia menggosok-gosok mata, lalu mengambil air untuk membasahi matanya supaya tidak terpejam lagi, "Jam berapa sekarang?" bisik Mike, ia menyalakan senter dan melihat ke jam dinding. Setengah dua belas. Sudah hampir saatnya mereka berangkat "Kita cari biskuit di kamar makan, yuk," ajak Jack. "Rasanya perutku lapar. Jalannya hati-hati, ya! Paul, jangan sampai tersandung, dan Nora - lepas saja sepatumu itu, berisik!" Nora melepaskan sepatunya, lalu menjinjingnya. Jack dan Mike membawa tas. Kemudian mereka pun berjalan berjingkat-jingkat ke ruang makan. Di sana mereka menemukan sekaleng biskuit Sebentar saja semuanya sudah asyik mengunyah. Bunyi biskuit dikunyah terdengar keras di keheningan malam. "Hus! Bagaimana kalau bunyinya kedengaran oleh Dimmy?" tanya Nora kuatir. Buru-buru ia menelan biskuitnya yang belum hancur. Serpihan biskuit yang masih kasar menyangkut di tenggorokannya. Langsung wajahnya jadi pucat keunguan. Ingin batuk, tetapi menahan supaya jangan sampai batuk. Akhirnya batuknya tak bisa ditahan. Nora terbatuk. Yang lain memaki Nora. "Nora! Jangan berisik!" bisik Jack tajam. Ditariknya taplak meja, lalu cepat-cepat ditutupnya mulut Nora dengan gumpalan taplak itu. Batuknya jadi tidak begitu keras, tetapi cara Jack menutupkan kain ke mulut Nora membuat anak itu hampir tercekik. Nora marah sekali. Disingkirkannya taplak meja dari mulutnya sambil melotot pada Jack yang nyengir di belakangnya. "Jack! Hendak kaucekikkah aku? Jahat amat, sih!" "Ssst!" bisik Mike. "Jangan bertengkar di sini. He - sudah jam dua belas. Dengar tuh jamnya berdentang." Dimmy sudah tertidur pulas ketika anak-anak menyelinap ke luar dari pintu depan. Dengan perlahan-lahan sekali mereka membuka dan menutup kembali pintunya. Mereka turun tangga, dan sampai ke pintu gerbang yang juga harus dibuka dengan sangat perlahan-lahan. "Pintu ini berbunyi kalau ditutup," kata Mike kuatir. "Harus dibanting. Bisa-bisa semua orang jadi bangun." "Kalau begitu, jangan ditutup! Biarkan saja terbuka," kata Jack. Mereka meninggalkan pintu gerbang dalam keadaan terbuka, lalu berjalan di jalan. Dalam hati mereka berdoa agar tak bertemu dengan polisi. Kalau sampai ada polisi yang melihat lima orang anak berjalan tengah malam seperti itu, tentu ia curiga! Syukurlah mereka tak bersua siapa pun. Mereka sampai di tikungan, dan Mike segera menyentuh lengan Jack. "Lihat - ada mobil di sana! Mobil itukah yang menunggu kita?" "Benar!" sahut Jack. "Ya kan, Paul?" Paul mengangguk. Anak-anak lalu menyeberang ke tempat mobil besar berwarna biru keperakan diparkir. Mesinnya dalam keadaan tidak dihidupkan. Warnanya kelihatan jelas, karena mobil itu persis disinari lampu jalan. Pesawat terbang Paul juga berwarna biru keperakan - seperti kendaraan kerajaan Baronia lainnya. Seorang lelaki keluar dari dalam mobil, membukakan pintu untuk anak-anak. ia mengenakan seragam berwarna biru keperekan juga. Seperti kebanyakan orang berkebangsaan Baronia, lelaki ini pun bertubuh tinggi besar dan kekar, ia mengangguk hormat kepada Paul. Tak lama kemudian, mobil yang megah itu sudah meluncur dengan lajunya, membelah kegelapan malam. Anak-anak yang duduk di dalamnya gembira bukan buatan. Hati mereka berdebar-debar. Pertama, karena mereka hendak naik pesawat terbang. Di samping itu, siapa tahu mereka akan mendapat petualangan baru yang mengasyikkan! Gelap gulita di sekeliling lapangan terbang ketika mereka sampai di sana. Hanya ada lampu yang menyinari tempat pesawat terbang Paul yang megah dan indah berdiri, siap diterbangkan. "Aku dipesan untuk membawa kalian sampai ke samping pesawat dengan mobil ini," kata sopir yang duduk di samping Paul. "Bagus," sahut Paul. "Dari sana, gampang kami masuk ke dalam pesawat. Dan, sebelum ada orang tahu di mana kita, kita sudah bisa berangkat!" 3. Perjalanan yang Menggairahkan Mobil yang ditumpangi anak-anak berjalan di atas lapangan terbang sampai ke sisi pesawat Pilescu ada di sana. Jenggotnya yang merah kelihatan menyala oleh cahaya lampu. Di dekatnya ada seorang laki-laki. Perawakannya sama besar dengan Pilescu. "Halo, Ranni!" teriak Pangeran Paul gembira. "Kau akan ikut? Oh, senang benar aku bisa ketemu kau, Ranni!" Ranni mengangkat tubuh mungil si pangeran, lalu menggendongnya tinggi-tinggi. Wajahnya berseri-seri. "Pangeranku!" katanya. "Benar. Aku dan Pilescu akan menemanimu! Sebenarnya, aku kurang setuju kau melakukan perjalanan ini, Pangeran. Tapi, dari dulu - raja-raja Baronia terkenal suka melakukan tindakan gila!" Paul tertawa. Kelihatan sekali bahwa anak itu menyayangi Ranni yang berbadan besar kekar dan bahwa ia senang Ranni akan ikut. "Cukupkah pesawatku ini membawa tujuh orang penumpang?" tanyanya sambil memperhatikan pesawat terbang yang besar itu. "Oh, tentu saja," sahut Pilescu. "Tapi, sebaiknya kita cepat-cepat masuk Keburu ada montir yang datang memeriksa kemari." Mereka semua naik tangga pesawat ke ruang pilot. Dari situ baru masuk ke ruang penumpang. Bagian dalam pesawatnya terasa luas dan menyenangkan. Selain itu, segalanya di situ bagus sekali. Mike dan saudara-saudaranya memekik kagum. "Mewah sekali," ujar Mike. "Jauh lebih bagus daripada Seriti Putih." "Pesawat terbang Baronia memang terkenal paling bagus di dunia," kata Pilescu bangga. "Negara kami memang kecil, tetapi di sana banyak ahli." Anak-anak duduk di kursi penumpang yang empuk. Paul menunjukkan cara mengubah tempat duduk itu menjadi tempat tidur kecil yang enak ditiduri - cukup hanya dengan menekan tombol. "Astaga!" ucap Jack sambil mengubah kursinya menjadi tempat tidur dan mengembalikannya menjadi kursi lagi. "Ajaib!" "Nah, sekarang duduklah baik-baik," kata Pilescu. ia sendiri lalu masuk ke ruang pilot dan duduk di kursinya. Ranni duduk di sampingnya. "Kita akan mengudara. Kuharap, sebelum matahari tinggi jarak yang kita tempuh nanti sudah jauh." Anak-anak menegakkan sandaran kursi, lalu duduk dengan rapi - mengenakan pengikat kursi. Paul tak henti-hentinya berbicara! Tak seorang pun merasa ngantuk. Malam itu terlalu menggairahkan, hingga tak ada yang ingat tidur. Baling-baling pesawat berputar-putar. Sementara itu mesinnya menderu lembut Lalu, dengan sedikit sentakan, pesawat mulai bergerak - mengarungi lapangan terbang yang gelap. Gerakannya terasa tersendat sesaat-lalu, pada menit berikutnya burung raksasa itu telah membumbung ke udara, melewati tiang-tiang dan kabel listrik yang terdapat di sekeliling lapangan terbang. Anak-anak hampir tak merasakan bahwa pesawat yang mereka tumpangi telah tinggal landas. "Apakah kita masih berada di lapangan terbang?" tanya Mike sambil berusaha melihat ke luar jendela. "Tentu saja tidak," Ranni menyahut sambil tertawa. "Kita sudah terbang meninggalkan lapangan terbang. Lapangan terbang sudah jauh dari sini!" "Astaga!" seru Peggy terperanjat. Betapa cepatnya pesawat terbang mengarungi jarak. Anak-anak terpaksa berbicara dengan suara keras karena deru pesawat terdengar keras sekarang. Aneh rasanya terbang dalam kegelapan malam seperti itu. Begitu pesawat tinggal landas, rodanya masuk ke tubuh pesawat dan tak kelihatan lagi. Pada waktu hendak mendarat nanti, baru rodanya dikeluarkan lagi. Pesawat itu melaju dengan kecepatan tinggi seperti anak panah yang baru dilepas dari busurnya. Pilescu yang menjadi pilotnya tampak sibuk mengamati segala peralatan di hadapannya, yang menjadi sumber informasi mengenai pesawat yang dikemudikan. "Mengapa Ranni ikut?" tanya Paul keras-keras. "Supaya ada yang menggantikan aku jadi pilot kalau aku lelah," sahut Pilescu. "Di samping itu, aku perlu teman untuk mengawasi anak-anak sebanyak ini!" "Kami sih tak perlu diawasi!" Mike berkata meremehkan. "Kami bisa mengawasi diri sendiri! Kami pernah minggat ke Pulau Rahasia. Di sana kami mengurus diri sendiri berbulan-bulan lamanya!" "Aku tahu. Kisah kalian sempat kubaca," sahut Pilescu. "Bagaimanapun, aku perlu teman. Dan kebetulan Ranni bisa kupercaya. Kita harus bersyukur Ranni bersedia membantu kita." Saat itu belum ada seorang pun yang tahu bahwa mereka bakal memerlukan bantuan Ranni yang bertubuh tinggi kekar. Walaupun begitu anak-anak merasa senang ada Ranni di dalam pesawat. Ranni membuatkan coklat susu panas ketika anak-anak merasa kedinginan. Setelah itu, ia menyajikan pula sup tomat yang lezatnya bukan main! "Wah! Asyik ya, makan sup panas dalam pesawat di ketinggian langit pada tengah malam begini," kata Peggy. "Biskuitnya enak sekali, Ranni! Untunglah kau ikut!" Ranni nyengir. Perawakannya memang besar seperti beruang, tetapi pembawaannya lembut sekali, ia sangat memuja Pangeran Kecil Paul. Tak henti-hentinya ia membawakan makanan dan minuman untuk tuannya itu. Setelah makan sup, mereka diberi beberapa batang coklat berkacang. Pilescu ikut menikmati coklatnya. Pesawat mereka terbang dengan mulus. Gerakannya hampir tidak terasa oleh anak-anak. Tetapi, mendadak terasa ada guncangan. Pesawatnya lalu turun sedikit. Kejadian seperti itu berulang sampai beberapa kali. Paul merasa tak senang. "Kenapa sih begini?" serunya. Mike tertawa, ia sudah beberapa kali naik pesawat. Dan dari pengalaman terbangnya yang sudah-sudah, ia tahu mengapa hal itu terjadi. "Pesawat kita sedang menembus awan," serunya kepada Paul. "Yang tadi sih cuma awan kecil. Tunggu sampai kita bertemu awan yang besar! Lebih asyik lagi rasanya!" Benar saja. Ketika pesawat menembus gumpalan awan besar, pesawat itu terasa anjlok dan berguncang keras. Paul kaget bukan buatan. Wajahnya langsung pucat. "Aku mual," katanya. Ranni langsung memberinya sebuah kantung terbuat dari kertas kuat. "Buat apa ini?" tanya Paul dengan suara lemah. Wajahnya nampak semakin pucat "Kok tak ada isinya?" Teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Kasihan benar si Paul. Tapi, mereka tak bisa menahan tawa melihat kelucuan tingkahnya - memeriksa bagian dalam kantung yang disodorkan oleh Ranni kepadanya, seolah mencari sesuatu di dalamnya. "Kalau kau ingin muntah, muntahkan ke situ," seru Jack. "Masa kau tak tahu, Paul?" Tetapi akhirnya kantung kertas itu tidak diperlukan. Pilescu meninggikan terbang pesawat mereka, hingga tidak lagi menembus awan tetapi terbang dengan mulus seperti semula. Paul merasa enak sekarang. "Mungkin karena kebanyakan makan coklat," ucap Paul riang. "Makanya jangan makan banyak-banyak," kata Jack, ia tahu Paul kuat makan coklat. Jack belum pernah melihat ada anak lain yang bisa makan coklat sebanyak Paul. "Hmm, asyik terbang begini, ya! Mudah-mudahan kita bisa menyaksikan matahari terbit!" Ternyata tidak. Pada saat matahari terbit, anak-anak dalam keadaan tertidur lelap. Pukul dua malam, Nora dan Peggy mulai menguap. Kebetulan Ranni melihat. "Nah, sekarang kalian harus tidur," katanya, ia membantu Nora dan Peggy mengubah kursi mereka jadi tempat tidur empuk yang enak ditiduri. Sesudah itu, Ranni memberikan bantal kepada masing-masing ditambah lagi dengan selimut tebal. "Kami tak kepingin tidur," ucap Nora agak kecewa. "Mana bisa aku memejamkan mata?" "Kalau tak mau tidur, jangan tidur," kata Ranni sambil nyengir. Ia menyelimuti anak-anak dengan rapi, lalu kembali duduk di samping Pilescu. Nora, Peggy, dan Paul langsung terpejam - mata mereka rasanya tak bisa dibuka lagi. Tiga menit kemudian mereka telah tertidur pulas. Mike dan Jack cuma bertahan bangun lebih lama sedikit. Ranni menyentuh lengan Pilescu. Keduanya mengedipkan mata melihat anak-anak yang sudah tidur dengan tenang. Ranni dan Pilescu mengobrol dalam bahasa Baronia sementara pesawat mereka terus melaju menembus malam. Sudah beratus-ratus mil mereka arungi sebelum hari pagi. Indah sekali pemandangan matahari terbit dilihat dari ketinggian terbang mereka. Langit tak lagi gelap. Kini ia disinari warna lembut cerah. Sementara matahari makin meninggi, warna di langit berubah-ubah. Ranni dan Pilescu memperhatikan keindahan pagi itu dengan diam. Sudah sering keduanya menyaksikan pemandangan seperti itu. Tetapi, mereka tak pernah bosan melihat keindahannya. Ketika matahari ke luar di cakrawala timur seperti bola raksasa yang memancarkan cahaya keemasan ke sekelilingnya, suasana dalam pesawat pun diliputi warna yang sama. Segera Ranni memadamkan lampu-lampu listrik yang menyala. Di bawah, bumi membentang sangat indah menyambut fajar. "Biru dan warna keemasan," ucap Ranni dalam bahasa Baronia. "Sayang anak-anak masih tidur- tak bisa menyaksikan pemandangan indah ini." "Hus, jangan kaubangunkan mereka," cegah Pilescu. "Siapa tahu kita bakal mengalami saat-saat yang tak gampang. Kalau menuruti keinginanku, aku ingin terbang kembali ke London secepat anak-anak itu sadar bahwa mereka takkan bisa mencari orang tua mereka. Yah, mudah-mudahan saja kita tak harus tinggal terlalu lama di Afrika." Anak-anak tidur terus. Baru kurang lebih pukul delapan mereka terbangun. Saat itu matahari sudah tinggi. Pemandangan di bawah pesawat putih bagaikan salju. "Astaga! Saljukah di bawah kita itu?" tanya Paul sambil menggosok-gosok mata keheranan. "Pilescu, kau kusuruh terbang ke Afrika, bukan ke Kutub Utara!" "Itu bukan salju, Pangeran Paul! Bentangan awan yang sangat luas!" kata Nora sambil memandang kagum pada panorama di bawahnya. "Rupanya kita sedang terbang di atas awan. Peggy - wah, awannya kelihatan keras benar! Kita bisa berjalan di atasnya, mungkin!" "Konyol kalau mau mencoba jalan di situ," kata Mike. "Kenapa kau tidak membangunkan kami waktu fajar tadi, Ranni? Jadinya kami tak bisa menyaksikan keindahannya. Hmm, laparnya!" Ranni mulai sibuk di bagian belakang pesawat. Di situ terdapat sebuah dapur kecil yang lengkap dengan segala peralatan dapur modern. Tak lama kemudian, tercium harum daging dan telur goreng. Disusul oleh aroma kopi yang baru diseduh. Sambil memperhatikan bentangan putih di bawah, anak-anak menarik napas dalam - menikmati wangi yang masuk ke kabin dari dapur. Mendadak bentangan putih di bawah terputus. Kelima anak yang tengah asyik mengagumi keindahan awan yang terbentang luas itu langsung berseru kegirangan. "He! Kita sedang melintas di atas padang pasir kelihatannya! Aneh ya!" Pemandangan padang datar digantikan oleh pemandangan bergunung-gunung, lalu disusul oleh pemandangan datar lagi. Asyik sekali memperhatikan pemandangan yang berubah-ubah itu. "Di mana kita saat ini?" tanya Mike. "Di atas Afrika," sahut Ranni yang sedang menghidangkan daging dan telur goreng serta secangkir kopi panas di hadapan masing-masing anak. "Nah, makanlah dulu! Habiskan semua, ya! Waktu makan siang masih lama sekali." Nikmat rasanya makan di atas pesawat. Apalagi kalau teringat kemarin malam mereka masih makan di London dan sekarang sudah sarapan di atas Benua Afrika! Wah, senangnya bukan main! "Tahukah kau di mana kira-kira orang tua kami mendarat, Pilescu?" tanya Mike. "Tanyakan kepada Ranni. ia bisa menunjukkan tempatnya di peta," sahut Pilescu yang masih menjadi pilot. "Sebentar lagi kita harus mendarat untuk menambah bahan bakar. Persediaan bahan bakar kita tinggal sedikit. Kalian harus berjanji tetap tinggal di dalam pesawat pada waktu kita mendarat nanti. Aku takut ditahan karena membawa kalian!" "Kami sembunyi deh! Jangan kuatir, Pilescu!" kata Paul dengan hati berdebar-debar. "Mana petanya, Ranni? Kami ingin melihat tempatnya. Ah, sayang pengetahuan ilmu bumiku jelek. Aku hampir tak tahu apa-apa mengenai Afrika!" Ranni membuka peta, lalu menunjukkan kepada anak-anak tempat Kapten dan Nyonya Arnold mendaratkan pesawat terbang mereka. Di tempat itulah pesawat terbang itu ditemukan dalam keadaan kosong. Ranni juga menunjukkan di mana pesawat terbang mereka berada saat ini. "Wah, kelihatannya tak begitu jauh lagi dari tempat ditemukannya Seriti Putih!" seru Paul sambil menunjuk peta. Ranni tertawa. "Di peta memang kelihatan dekat," katanya. "Nah, kita sudah dekat lapangan terbang. Sebentar lagi kita turun, mengisi bahan bakar. Pergilah kalian ke bagian ekor pesawat. Di sana ada tumpukan selimut. Sembunyi di sana, ya!" Sementara pesawat berputar-putar sambil menurunkan ketinggian terbangnya di atas lapangan terbang, anak-anak menyusupkan diri masing-masing pada tumpukan selimut dan barang-barang bawaan lainnya. Mereka berharap takkan ada orang yang menemukan mereka. Kalau sampai disuruh terbang kembali ke London, wah, bisa berabe! 4. Di Negeri Aneh Beberapa orang berlari-lari menyambut kedatangan pesawat yang baru saja mendarat mulus di lapangan terbang. Pilescu keluar dari pesawat. Ranni disuruh berjaga di dalam. Anak-anak diam seribu bahasa di tempat persembunyian mereka. Orang-orang yang bekerja di lapangan terbang sangat kagum melihat keindahan pesawat yang baru datang itu. Mereka berlari-lari mendekat sambil berteriak-teriak. Belum pernah mereka melihat pesawat terbang seindah itu. Ada dua orang yang hendak naik ke pesawat, memeriksa bagian dalamnya. Tetapi, Ranni tak bergerak dari tempatnya berdiri. Tubuhnya yang besar menghalangi pintu masuk. Pilescu berbicara kepada montir-montir yang ada di sana. Sebentar saja pesawat mereka telah diisi beratus-ratus liter bahan bakar. "Huh, baunya!" bisik Paul. "Aku jadi kepingin batuk." "Hus! Tahan!" bisik Jack langsung. Suaranya pelan, tetapi tajam dan berwibawa. Paul menahan batuknya. Wajahnya pucat sekali. Nora dan Peggy juga tak tahan mencium bau bahan bakar yang diisikan ke dalam pesawat. Mereka menyusupkan kepala lebih masuk lagi ke dalam tumpukan selimut tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ada suara seorang lelaki di bagian depan pesawat. Bahasa Inggrisnya terdengar kaku. "Ada berapa orang penumpangnya, Pak?" tanya orang itu. "Hanya kami berdua," jawab Pilescu sambil menunjuk kepada Ranni. Lelaki yang bertanya tadi kelihatan puas. ia berjalan mengelilingi kabin pesawat dengan penuh kekaguman. Pilescu tidak menghiraukan orang itu. ia lalu menyibukkan diri memeriksa mesin pesawat Rupanya ada yang kurang beres. Pilescu berteriak memanggil Ranni. "Turunlah sebentar! Aku perlu bantuan!" seru Pilescu. Ranni pun turun, dan berdiri di samping Pilescu. Secepat kilat salah seorang montir melompat naik, mengintip bagian dalam pesawat. Pada saat yang bersamaan, Mike mengintip hendak melihat apakah tak ada orang lagi di dalam pesawat. Untunglah Mike melihat orang itu sebelum orangnya sempat melihat Mike. Cepat ia menutupi dirinya lagi sambil memberi isyarat kepada yang lain agar tetap tenang. Melihat orang yang melompat naik ke pesawat, Ranni berteriak. "Turun! Kami tak membolehkan siapa pun masuk ke dalam pesawat kami tanpa mendapat izin lebih dulu!" "Ya deh, aku minta izin," kata orang itu. Matanya yang jeli melihat tumpukan selimut di bagian belakang pesawat, ia ingin memeriksa. "Kami baru menerima berita dari London, bahwa ada lima orang anak menghilang. Raja Baronia menawarkan hadiah besar untuk siapa saja yang berhasil menemukan mereka." Pilescu menyumpah-nyumpah dengan suara tertahan, ia langsung lari ke baling-baling pesawat. Diputarnya baling-baling itu. Dalam sekejap mesin pesawat pun menyala. Ranni naik ke pesawat dengan gesitnya, lalu mendorong lelaki yang ingin masuk tadi ke luar pesawat. Pilescu melompat naik dan langsung menyelinap ke ruang pilot, duduk di kursinya. Terdengar orang berteriak-teriak memanggil. Tetapi deru mesin pesawat mengalahkan teriakan-teriakan itu. Pilescu menjalankan pesawat, dan dalam sekejap pesawat itu sudah bergerak di atas landasan dengan kecepatan tinggi. Pesawat itu terus bergerak ke landasan pacu sementara orang banyak mengejar sambil berteriak-teriak. Sesampainya di landasan pacu, pesawat menderu lebih kencang dan akhirnya dengan mulus meninggalkan landasan - membumbung ke udara. Pilescu tertawa pendek. "Sekarang orang tahu bahwa anak-anak yang hilang itu ada dalam pesawat ini. Suruh mereka keluar, Ranni! Bisa mabok mereka kalau lama-lama disekap!" Anak-anak sudah merayap ke luar. Hati mereka masih dag-dig-dug. Hampir saja mereka tertangkap! "Seandainya mereka menemukan kami, apakah kami akan disuruh kembali ke London?" tanya Paul. "Aku tadi mengintip. Untung orangnya tidak melihatku!" seru Mike. "Sudah amankah sekarang?" tanya Peggy, kembali duduk di kursinya yang empuk. "Mereka toh takkan mengirim pesawat lain untuk mengejar kita?" "Tak ada gunanya," kata Ranni, menyengir. "Pesawat kita termasuk pesawat yang paling cepat di dunia. Kalian tak perlu kuatir. Sekarang kita aman. Tapi, kita harus berusaha secepatnya mencari tempat Seriti Putih mendarat. Sebaiknya, kita tidak lagi mendarat di lapangan terbang untuk sementara." Sehari itu anak-anak memuaskan diri menikmati pemandangan pegunungan, sungai, lembah, dan dataran yang datang berganti-ganti. Betapa ingin mereka turun dan menjelajah alam di bawah sana. Berada tinggi di atas daerah asing - senang rasanya. Melihat ke bawah, bentangannya terlihat seperti peta raksasa. Siang hari, ketika anak-anak sedang menikmati biskuit manis, coklat, dan minum limun dingin, mendadak Pilescu berteriak. Ranni dan Pilescu lalu menunduk, mengamati peta sambil berbicara dalam bahasa Baronia. Nada suaranya sangat bersemangat. Paul mendengarkan. Matanya bersinar-sinar. "Apa yang mereka katakan, Paul?" tanya Mike tak sabar. "Ceritakan, dong!" "Katanya, kita sudah dekat dengan tempat pendaratan Seriti Putih," ucap Paul. "Ranni bilang, dia sudah pernah melihat daerah sini. Ketika itu ia mendapat tugas mencari binatang untuk kebun binatang Baronia. Dia kenal sifat penduduknya. Agak kasar dan aneh sikap mereka. Lagi pula, orang-orangnya suka menyendiri hingga tak banyak dikenal orang." Pesawat mereka terbang dengan kecepatan berkurang, lalu mengurangi ketinggian. Ranni mengamati tanah di bawah mereka sementara pesawat terbang berputar membentuk lingkaran besar. Ternyata Mike melihat duluan apa yang sedang mereka cari! Anak itu berteriak keras sekali sampai Nora dan Peggy sangat kaget dan Ranni tersentak. Lelaki Baronia bertubuh besar itu langsung membalikkan badan, melihat ke arah anak-anak. "Ranni! Lihat - itu Seriti Putih! Lihat! Wah, sekarang sudah terlewat! Kembali, Pilescu! Kembali! Aku lihat Seriti Putih barusan!" Begitu bergairahnya Mike hingga bahu Ranni ia guncang-guncangkan. Seandainya tidak diingatkan supaya tidak mengganggu pilot yang sedang menerbangkan pesawat, Mike tentu sudah mengguncang-guncang Pilescu juga. Ranni melihat ke tempat yang ditunjukkan Mike lalu membicarakan arah dengan Pilescu. Sebentar saja pesawat mereka sudah terbang berputar-putar di atas tempat Seriti Putih berdiri diam. Warnanya yang putih berkilau-kilauan tertimpa cahaya matahari. Anak-anak memandang pesawat yang terlihat sepi sendirian di bawah sana dengan tak bosan-bosannya. Bayangkan. Pesawat itulah yang mereka lihat di lapangan terbang di London beberapa minggu sebelumnya. Ke dalam pesawat itulah orang tua mereka masuk, lalu terbang meninggalkan London. Sekarang pesawatnya mereka temukan, tetapi kedua pilotnya tak ada lagi di sana. "Aku tak bisa mendaratkan pesawat di dekat situ," kata Pilescu. "Heran. Bagaimana Kapten Arnold bisa mendaratkan pesawatnya di situ tanpa mencederai pesawatnya. Pasti beliau pilot yang sangat ulung." "Ayah memang pilot yang hebat," kata Peggy bangga, "ia termasuk salah seorang penerbang terbagus di dunia." "Aku hendak mendaratkan pesawat kita di tanah datar yang kelihatan agak di sebelah sana itu," kata Pilescu, menurunkan lagi pesawat. "Besar kemungkinan pesawat kita akan terguncang keras! Siap-siap saja, ya! Lihat, banyak batu besar di sana." Pesawat makin turun. Tiba-tiba Pilescu merasa tak bisa mendarat dengan aman. Pesawat ia naikkan lagi. Kemudian ia terbang berputar-putar. Beberapa saat kemudian turun lagi. Kali ini Pilescu mengeluarkan roda pesawat. Dalam sekejap roda pesawat menyentuh tanah. Pesawat mereka lari di atas tanah berbatu. Sekali ia mengenai batu besar dan seperti hendak tergelincir. Semua penumpang pesawat itu sudah merasa pesawat mereka hendak terbalik. Wajah Pilescu jadi pucat, ia tak mau mengalami kecelakaan di negeri yang tak dikenal! Namun pesawat itu betul-betul hebat. Keseimbangannya bagus, hingga dalam sekejap ia sudah berada pada posisi normal kembali. Anak-anak sempat terlempar dari kursi mereka. Dan barang-barang yang berada di kabin bergeser ke satu sisi pesawat. Anak-anak langsung berdiri. Kegembiraan dan semangat mereka yang menggebu-gebu menyebabkan mereka lupa akan rasa sakit. Mereka lari ke pintu pesawat yang terdapat di dekat ruang pilot. Masing-masing tak sabar, ingin cepat keluar. Ranni berteriak kepada mereka. "He! Jangan turun dulu! Aku akan memeriksa daerah di sekitar sini sebelum mengizinkan kalian turun!" Pilescu mematikan mesin pesawat. Dalam sekejap suasana pun menjadi sepi. Aneh rasanya. Sekarang suara mereka terdengar keras sekali kalau berbicara. Baru setelah beberapa lama, anak-anak terbiasa berbicara tanpa berteriak-teriak. Selama dalam penerbangan dari London ke situ, mereka harus berteriak kalau bicara. Ranni keluar dari ruang pilot Sebuah senjata api siap di tangannya. Tak seorang pun tampak di sekeliling tempat itu. Ternyata mereka mendarat di tanah kasar yang disana-sini bertancapkan batu-batu raksasa. Untung saja pendaratan mereka bisa begitu lancar. Melihat keadaan tanah yang mereka darati, rasanya mukjizatlah yang memungkinkan mereka mendarat dengan selamat. Kira-kira dua kilometer di sebelah kiri mereka ada sederet gunung-gunung. Di sebelah kanan, membentang tanah datar ditumbuhi pepohonan yang tak mereka kenal. Di depan dan belakang terlihat bukit-bukit kecil. "Segalanya kelihatan aneh," ucap Mike. "Lihatlah bunga-bungaan liar yang merah kecoklatan di sebelah sana. Rumputnya pun berbeda dengan rumput yang biasa kita lihat!" "Burung-burungnya juga berbeda," kata Peggy, memperhatikan seekor burung berwarna merah dan kuning cemerlang sedang terbang mengejar lalat besar. Seekor burung lain berbulu hijau dan oranye terbang mengitari pesawat, sementara kawanan burung berwarna biru menyala lewat di atas mereka. Semua burung itu sangat berbeda dengan burung yang sering dilihat anak-anak di negeri mereka. "Sudah boleh keluarkah kami, Ranni?" seru Mike yang benar-benar sudah kepingin melihat-lihat keadaan di luar. Ranni mengangguk. Tak ada seorang pun terlihat olehnya di luar. Kelima anak yang dipaksa menunggu di dalam pesawat tadi segera menghambur ke luar, lalu melompat turun ke tanah. Senang menginjak tanah lagi setelah beberapa jam terbang. "Rasanya tanah yang kupijak akan bergerak dan terangkat seperti pesawat kita," Nora berkata sambil tertawa cekikikan. "Seperti kalau kita habis berperahu - goyang-goyangnya masih terasa terus walaupun kita sudah berdiri di darat." "Hus, jangan ah!" ucap Jack. "Kalau tanahnya bergerak, itu namanya gempa bumi. Aku tak mau kita mengalami gempa bumi pada saat begini." Matahari di atas memancarkan sinar panas yang terasa menyengat kulit. Pilescu mengeluarkan topi bertepi lebar untuk anak-anak, Ranni, dan dirinya sendiri. Bentuknya aneh, tetapi topi itu melindungi kepala hingga ke tengkuk dari sengatan matahari. Walaupun hanya mengenakan selapis pakaian, anak-anak merasa kepanasan. "Aku haus," kata Mike sambil mengusap keringat di kepalanya. "Kita minum dulu yuk, Ranni." Mereka semua minum limun sambil duduk-duduk di tempat teduh yang terlindung oleh pesawat. Matahari sudah condong ke barat. Pilescu melihat arlojinya. "Sebaiknya hari ini kita beristirahat dulu," katanya. "Besok kita cari penduduk setempat. Mungkin ada informasi yang bisa kita dapat dengan menanyai mereka. Ranni mungkin bisa berkomunikasi dengan mereka. Dia pernah belajar sedikit bahasa sini ketika berburu binatang untuk kebun binatang Baronia beberapa tahun yang lalu." "Masa kita mau tidur sesore ini?" tanya Nora kecewa. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan sedikit, melihat-lihat?" "Nanti kemalaman. Lihat, matahari sudah hampir terbenam," ujar Ranni. Ketika Ranni selesai berbicara, matahari hilang di balik cakrawala dan kegelapan pun segera menggantikan kehadiran matahari. Anak-anak heran. "Siang langsung berubah jadi malam, tanpa lewat senja dulu," ujar Nora sambil memandang ke sekelilingnya. "Banyak bintang di langit. Lihat! Wah, Mike - Jack, bukan main besarnya bintang-bintang itu!" Nora benar. Di sini bintang-bintang yang bertebaran di langit kelihatan lebih besar dan lebih terang daripada di negeri mereka. Anak-anak duduk diam, mengagumi pemandangan indah yang aneh itu dengan perasaan agak takut. Nora tiba-tiba menguap. Besar sekali - hingga yang lain ikut-ikut menguap. Juga si Ranni! Pilescu tertawa. "Semalam kalian kurang tidur," katanya. "Malam ini usahakan tidur cukup. Di sini kita harus bangun pagi-pagi benar. Sebisanya kegiatan kita lakukan sebelum matahari tinggi. Kalau siang hari terlalu panas. Nah, sekarang Ranni akan menyiapkan makan buat kalian. Setelah itu kalian tidur, ya!" "Apakah kita harus tidur dalam pesawat?" tanya Jack. "Udaranya panas benar. Tak bolehkah kami tidur di luar saja? Biar agak sejuk." "Boleh saja," sahut Ranni. "Kita bawa saja tikar dan selimut ke luar. Pilescu akan bergilir denganku berjaga." "Kenapa perlu ada yang berjaga?" tanya Peggy heran. "Di sini kan tak ada lawan?" "Ingat! Kapten dan Nyonya Arnold hilang di kawasan ini, bukan?" ujar Pilescu serius. "Aku tak mau kita pun hilang. Mana bisa kita mencari diri kita sendiri kalau sampai hal itu terjadi!" Semua tertawa - tetapi perasaan aneh menjalari hati anak-anak. Betul juga yang dikatakan Pilescu. Ini bukan negeri Inggris yang aman. Mereka sedang berada di daerah asing yang tak mereka kenal. Siapa tahu ada kejadian yang tak diinginkan? Mereka mendekat pada Pilescu yang berjenggot lebat. Aman rasanya berada di dekatnya. 5. Menunggu Berita Ranni menyajikan makanan lezat. Sementara itu Pilescu membuat api unggun. Nyalanya berkobar-kobar, membuat suasana menjadi hangat "Selama api unggun menyala, takkan ada binatang buas yang berani mendekat," kata Pilescu sambil menumpuk persediaan ranting-ranting kayu untuk kayu bakar di dekat mereka. "Ranni akan bergilir berjaga denganku sambil menambah kayu bakarnya kalau nyala api unggun berkurang." Mereka membentangkan tikar dan selimut di sekeliling api unggun. Bunga-bunga api berlompatan membuat suara riang. Anak-anak berbaring dengan hati gembira dan bersemangat. Mereka sudah tiba di tempat tujuan, dan hendak mulai mencari Kapten Arnold dan istrinya. Sudah banyak petualangan yang pernah mereka alami. Kini mereka menyambut petualangan baru yang lebih seru dan mengasyikkan. "Wah, rasanya aku tak bakal bisa tidur," ujar Nora sambil bangkit, duduk. "Tak bakal bisa deh! Bunyi apa yang aneh barusan, Ranni?" "Bunyi sejenis binatang di bukit sana," sahut Ranni. "Tak usah takut. Mereka takkan berani mendekati kita." "Nah, kalau yang itu bunyi apa?" tanya Peggy. "Kicau burung malam," sahut Ranni pula. "Sepanjang malam kalian akan mendengar bunyi-bunyi semacam itu. Jadi, kalian harus membiasakan diri. Berbaringlah, Nora. Cepat tidur! Kalau dalam waktu dua menit kau masih juga belum tidur, kutaruh kau dalam pesawat supaya tidur di sana sendirian!" Ancamannya berat. Nora langsung membaringkan diri. Malam benar-benar indah mempesona. Gadis kecil itu berbaring menghadap ke atas, memperhatikan bintang-bintang besar cemerlang yang terlihat seperti lampu-lampu menghiasi bentangan beledu langit malam. Di sekelilingnya terdengar bunyi burung dan binatang malam. Aneh semua bagi telinganya. Nora merasakan kenikmatan berbaring ditemani oleh bunga-bunga api yang berlompatan di api unggun di dekatnya. Hangat dan nyaman, ia memandang Ranni sebentar. Lelaki itu duduk bersandarkan pesawat. Sebuah senjata siap di tangannya. Tak lama kemudian Nora pun memejamkan mata. "Anak-anak sudah tidur," Ranni berkata kepada Pilescu dalam bahasa Baronia. "Aku merasa bersalah membawa mereka kemari, Pilescu. Seharusnya mereka tidak kita ikut sertakan dalam petualangan semacam ini. Kita belum tahu apa yang bakal terjadi. Mana bisa kita menemukan Kapten Arnold dan istrinya di negeri ganjil begini? Seperti cari kacang di pohon apel saja!" Pilescu menggerutu, ia sudah kecapekan menerbangkan pesawat tanpa beristirahat sama sekali. Ranni diberi tugas berjaga sampai pukul tiga pagi. Pilescu akan tidur dulu, baru menggantikan berjaga. "Yah, kita lihat saja bagaimana besok," kata Pilescu. Kepalanya terkulai ke depan. Jenggotnya yang merah lebat menyentuh dadanya. Dalam sekejap, bunyi binatang malam ditemani oleh bunyi lain - dengkur Pilescu. Keras sekali dengkur orang itu. Ranni kuatir anak-anak terbangun mendengar dengkurnya. Cepat disentuhnya lengan Pilescu. Tetapi Pilescu tidak bangun. Tidurnya sudah sangat lelap, karena ia benar-benar kecapekan. Mendengar bunyi-bunyian baru, Jack terbangun, ia duduk dengan perasaan takut. Jack memasang telinga, memperhatikan bunyi baru tadi. ia heran. "Ranni! Ranni! Kudengar ada binatang mendengkur dekat tempat ini!" teriaknya. "Kau masih bangun, kan? Masa tidak mendengar?" Ranni jadi tertawa terbahak-bahak. "Tidurlah lagi, Jack," katanya. "Itu dengkur kawan kita, Pilescu. Mungkin dia sengaja mendengkur begitu untuk mengusir binatang. Singa pun takut mendengar dengkurnya!" Jack meringis, lalu berbaring lagi. Astaga! Seru benar dengkur si Pilescu! Hampir sama ributnya dengan mesin pesawat terbang! Jack lalu tertidur lagi. Ranni berjaga sebagian besar malam itu. Terlihat olehnya beberapa bayangan tak begitu jauh dari tempatnya. Tetapi ia tahu, itu bayangan binatang malam yang sedang berkeliaran, ia memperhatikan bintang yang gemerlapan di langit, sambil menikmati aroma kayu terbakar. Sesekali ia menggapai segenggam kayu bakar, lalu melemparkannya ke tengah nyala api, menambah besar nyalanya. Beberapa jam sebelum fajar, Ranni membangunkan Pilescu. Pilescu menguap besar sekali, lalu membuka mata. Dalam sekejap ia sudah sadar di mana ia berada saat itu. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan Ranni, Pilescu pergi berjalan-jalan mengelilingi tempat mereka bermalam - menghilangkan kepegalan kakinya sambil membuat matanya tidak berat lagi. Dengan tangan masih memegangi senjata, Ranni tidur. Sementara itu Pilescu menyaksikan fajar tiba. Bumi di sekelilingnya berubah dari gelap menjadi keemasan. Ketika hari sudah benar-benar terang, segera dibangunkannya anak-anak. Mereka berada di daerah yang berbeda. Di tempat itu, pagi-pagi sekali harus sudah bangun. Kalau tidak, matahari akan keburu menyengat hingga mereka takkan bisa melakukan apa-apa dan cuma ingin beristirahat sambil berteduh. Anak-anak gembira sekali berada di lingkungan yang lain daripada yang lain. Mereka berkejar-kejaran sambil berteriak-teriak mengelilingi tempat mereka berkemah. Sementara itu Ranni menyiapkan sarapan. Keharumannya tercium, membangkitkan air liur. "He, lihat! Ada semacam danau kecil di situ!" seru Jack. "Kita mandi di situ, yuk! Ranni, Pilescu, bisakah kita berenang di danau itu?" "Jangan! Kecuali, kalau kalian mau dicaplok buaya!" ujar Ranni. Mendadak Nora memekik, lalu lari tunggang-langgang kembali ke api unggun. Ranni nyengir. Dia pergi ke danau yang ditunjukkan Jack tadi. Ternyata danau itu cuma semacam kolam dangkal. "Aman," katanya. "Di situ ternyata tak ada buaya. Meskipun begitu, sebaiknya kalian tidak mandi di situ. Mungkin ada semacam lintah yang bisa menempel di kulit kaki kalian dan mengisap darah. Jangan lupa. Kalian harus sangat berhati-hati di tempat yang belum kalian kenal. Di sini banyak binatang yang di Inggris cuma ada di kebun binatang." Nora dan Peggy jadi ngeri. Keduanya mencuci muka dan tangan dengan sangat tergesa-gesa. Lain dengan anak-anak lelaki. Mereka sempat bermain air. Udaranya sejuk segar. Rasanya anak-anak bakal bisa lari jauh dalam udara sesejuk itu. Tetapi ternyata mereka cuma kuat lari mengelilingi api unggun. Semuanya sudah kelaparan. Lagi pula, keharuman sarapan yang sedang disiapkan Ranni makin membuat mereka merasa lapar. "Apa rencana kita hari ini, Pilescu?" tanya Jack. "Apakah kita akan mencari orang yang bisa kita tanyai mengenai Seriti Putih dan kedua pilotnya?" "Ranni akan pergi ke desa terdekat, berusaha mencari berita," ujar Pilescu sambil memindahkan daging goreng ke piringnya. "Dari mana dia tahu desa yang terdekat di sini?" tanya Mike heran, memandang ke sekelilingnya. "Tak kulihat satu pun di sekitar sini." "Ah, kau tidak pakai mata sih!" ucap Ranni, tersenyum. "Lihatlah di sebelah sana!" Anak-anak mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Ranni. ia menunjuk ke arah di mana terdapat bukit-bukit kecil. Anak-anak segera tahu maksud Ranni. "Asap api!" kata Mike. "Benar! Asap api menunjukkan adanya api, dan api menunjukkan adanya orang di tempat itu. Jadi kau akan ke sana, Ranni? Hati-hati, ya!" "Aku ditemani oleh senjataku," kata Ranni sambil menyeringai, menepuk-nepuk kantung celananya. "Aku mungkin baru kembali malam nanti. Jangan nakal ya selama kutinggalkan!" Ranni berangkat begitu mereka selesai sarapan, ia membawa bekal makanan, dan mengenakan topi lebar. Matahari sudah mulai panas pagi itu. Anak-anak menyaksikan Ranni berangkat. "Sebenarnya ingin aku ikut Ranni," kata Jack. "Mudah-mudahan Ranni pulang membawa berita." "Nora, Peggy - kemarilah. Tolong cuci piring-piring ini di kolam," kata Pilescu. "Sebentar lagi matahari terlalu menyengat." "Tolong matikan api unggun," kata Pilescu kepada anak-anak lelaki. "Sesudah itu, cari kayu bakar untuk nanti malam!" Pilescu menyibukkan anak-anak sampai matahari cukup tinggi. Ketika sinar matahari mulai menyengat dengan panasnya, Pilescu menyuruh anak-anak duduk-duduk dalam keteduhan bayangan pesawat. Paul mula-mula menolak, ia masih senang berpanas-panas. Tetapi Pilescu menyuruhnya menemani yang lain. "Pilescu, tak sepantasnya kau memerintah aku," ucap si pangeran sambil mendongakkan dagunya. "Paul, aku yang bertanggung jawab di sini," sahut Pilescu lembut tetapi tegas. "Kau bukan pangeranku dalam petualangan ini. Sebaliknya, kau harus menganggapku sebagai kapten. Turuti apa yang kuperintahkan!" "Sudahlah, Paul - jangan keras kepala! Kalau kau tak mau menurut, kutarik leher bajumu sampai kau terseret kemari. Ingat, Paul - kalau kau sampai pingsan dan sakit, kita bisa-bisa harus segera kembali ke London!" ucap Mike. Dengan patuh Paul berjalan ke tempat yang teduh, ia membaringkan diri dekat kawan-kawannya. Mereka semua terengah-engah kepanasan. Sebentar-sebentar semua merasa haus. Pilescu sibuk masuk-keluar pesawat membawakan persediaan limun yang sudah didinginkan dalam lemari es. Anak-anak tertidur dalam panasnya udara siang itu. Pilescu sebenarnya juga mengantuk. Tetapi ia merasa wajib menjaga keselamatan anak-anak. Sambil berjaga, ia membayangkan sudah sampai di mana Ranni. Ketika matahari sudah agak condong ke barat, Pilescu menyeka keringat di wajahnya lalu membangunkan anak-anak. "Ada buah kaleng dingin di pesawat," katanya kepada Nora. "Bukakan, lalu bawa ke luar sini. Kurasa, enak menikmati kesegarannya sambil menunggu matahari terbenam." Ranni belum juga datang meskipun matahari telah terbenam. Anak-anak menanti kedatangannya dengan tak sabar. Untuk membantu Ranni menemukan jalan kembali ke tempat itu, Jack, Mike, dan Paul sengaja menyalakan api unggun sejak sore." Pilescu sama sekali tidak kuatir. ia tahu, bahwa walaupun asap api yang mereka lihat pagi tadi terlihat dekat, sebenarnya letaknya cukup jauh. Di samping itu, Pilescu menyadari juga bahwa Ranni takkan bisa meneruskan perjalanan ketika matahari menyengat pada siang hari. Anak-anak dan Pilescu duduk mengelilingi api unggun. Di atas langit malam terbentang berhiaskan bintang-bintang gemerlap. Mereka semua menunggu kedatangan Ranni. "Ranni bakal datang membawa berita atau tidak, ya?" kata Nora tak sabar. "Oh, Ranni! Cepat-cepatlah pulang! Aku sudah tak sabar lagi menunggu!" Tetapi Nora masih harus menunggu. Begitu juga yang lain. Malam sudah agak larut ketika terdengar suara Ranni berteriak di kejauhan. Semua langsung melompat menyambutnya. "Itu dia Ranni!" teriak Jack. Mata Jack memang jauh lebih tajam di dalam gelap. "Tuh, bayangannya bergerak-gerak di antara bebatuan." Bayangan itu berseru. Segera rombongan yang menyambutnya membalas. "Ranni! Hore! Ranni datang!" "Bagaimana beritanya, Ranni?" "Buruan, Ranni!" Ranni berjalan mendekati api unggun. Tubuhnya terasa penat dan kepanasan, ia menjatuhkan diri di atas tikar, lalu menyeka wajahnya. Pilescu memberikan segelas besar limun dingin. Ranni menenggaknya sekaligus. "Kau dapat berita, Ranni?" tanya Pilescu. "Dapat," sahut Ranni. "Berita paling aneh yang pernah kudengar. Beri aku roti atau biskuit dulu, Pilescu. Sesudah itu akan kuceritakan semuanya. Kalian baik-baik semuanya, kan?" "Sip!" sahut Pilescu. "Nah, sekarang berceritalah, Ranni! Berita aneh apa yang kaudengar?" 6. Cerita Aneh si Ranni Ranni menyalakan tembakau di pipanya, lalu menghisap dan menyemburkan asapnya. Semua menunggu ia mulai bercerita. "Aku mendapatkan sebuah tempat perkemahan kecil," mulai Ranni. "Orangnya paling banyak juga hanya empat atau lima orang. Mereka sedang berburu rupanya. Ketika melihat kedatanganku, mereka mendadak menjatuhkan diri dan menelungkup dengan rupa ketakutan." "Kenapa takut?" tanya Nora keheranan. "Itu baru kemudian kuketahui," sahut Ranni. "Untunglah aku bisa bicara sedikit-sedikit dengan bahasa mereka. Dulu aku pernah berburu ke daerah sini. Rupanya, mereka mengira aku ini salah seorang anggota masyarakat aneh yang tinggal di Gunung Rahasia." "Gunung Rahasia!" pekik Mike. "Apa maksudnya? Di mana gunung itu?" "Bersabarlah! Biarkan Ranni bercerita sendiri," kata Pilescu yang asyik mendengarkan cerita Ranni. "Teruskan, Ranni." "Di sekitar sini ada sebuah gunung aneh," lanjut Ranni. "Orang menamakannya Gunung Rahasia, sebab sudah bertahun-tahun bagian tengahnya dijadikan tempat tinggal oleh suatu suku bangsa aneh tak dikenal. Ciri-ciri mereka sama sekali berbeda dengan ciri-ciri penduduk asli daerah sekitar sini." "Memang bagaimana rupa mereka?" tanya Jack. "Sejauh yang terlihat olehku, kulitnya tidak hitam atau coklat," sahut Ranni. "Warna kulit mereka ganjil - putih kekuningan. Rambut dan jenggotnya merah seperti rambutku dan rambut Pilescu. Rata-rata perawakannya kurus tinggi. Dan, matanya hijau. Suku bangsa lain tak diperbolehkan bergabung dengan mereka. Selain itu, pintu masuk ke tempat tinggal mereka di tengah-tengah Gunung Rahasia belum pernah bisa ditemukan." "Wah, ini namanya baru luar biasa!" ucap Paul. Matanya bersinar-sinar penuh semangat. "Benarkah cerita itu, Ranni? Kalau benar, kita pergi sekarang juga mencari Gunung Rahasia!" "Hus, jangan konyol kau, Paul," kata Mike sambil mendorong Paul. Pangeran Paul tidak sabaran. Sering Jack dan Mike harus menahan semangat temannya yang terlalu berkobar-kobar itu. "Diam dulu, biarkan Ranni menyelesaikan ceritanya!" "Semua suku bangsa yang tinggal di daerah sini takut pada suku bangsa tak dikenal yang tinggal di Gunung Rahasia," lanjut Ranni. "Katanya, suku bangsa itu mempunyai kekuatan magis. Lagi pula, kalau tidak terlalu perlu, mereka tak pernah lewat. Nah, orang-orang yang sedang berkemah di tempat yang kutuju tadi pagi sangat kaget melihatku datang. Melihat warna rambutku, mereka mengira aku datang dari Gunung Rahasia. Itu sebabnya mereka begitu ketakutan. Sampai-sampai, lari pun mereka tak berani." "Apakah mereka tahu sesuatu mengenai ayah dan ibu kami, Ranni?" tanya Peggy bersemangat. "Tentu itu kutanyakan," sahut Ranni. "Tapi, besok akan ada seseorang yang datang kemari, Katanya orang itu melihat waktu Seriti Putih mendarat. Mungkin ia bisa memberi tahu apa yang kita perlukan. Tapi, menurutku, bisa dipastikan ayah dan ibu kalian ditangkap oleh penduduk Gunung Rahasia. Sebabnya tak tahu, tapi - yah, aku merasa yakin mereka ada di Gunung Rahasia." "Kita takkan bisa mencari Kapten dan Nyonya Arnold," ujar Pilescu. "Sebaiknya kita pulang saja ke London, dan mencari pasukan pencari yang lebih bisa diandalkan. Kita bisa membawa mereka terbang kemari." "Jangan, Pilescu! Jangan!" pekik anak-anak dengan kecewa. "Pokoknya, kami akan mencari orang tua kami," Mike berkata tegas dengan suara bangga. "Ini pengalaman seru kami yang ketiga. Percayalah, Pilescu - kami anak-anak pemberani. Kami takkan kembali ke London sebelum orang tua kami ketemu." Anak-anak, termasuk Paul, bersikeras takkan mau terbang kembali ke London bersama Pilescu dan Ranni. Kedua lelaki itu jadi berpandang-pandangan. "Kemauan mereka keras," ucap Ranni kepada Pilescu dengan bahasa Baronia. Pangeran Paul tertawa mengakak. Ia tahu Ranni ingin meneruskan petualangan seru ini. Artinya, Paul juga akan ikut. Ranni takkan mau meninggalkan pangerannya sendirian. Paul lalu berpaling kepada kawan-kawannya. "Beres," katanya. "Kita tak perlu pulang ke London. Ranni berniat membantu kita." Sampai larut malam, mereka tak henti-hentinya memperbincangkan cerita Ranni. Di mana letaknya gunung misterius itu? Siapa suku bangsa aneh yang tinggal di situ? Mengapa mereka menangkap Kapten dan Nyonya Arnold? Bagaimana mereka bisa menemukan jalan masuk ke perut gunung itu kalau penduduk di sekitar tempat itu sendiri tak bisa menemukan? Berkali-kali pertanyaan-pertanyaan itu mereka bahas. Lalu Pilescu melihat jam. "Wah, sudah larut malam!" serunya. "Kalian mesti tidur, Anak-anak! Giliranku berjaga malam ini, Ranni. Kau pasti lelah sekali." "Baiklah," sahut Ranni. "Kau yang berjaga dulu sampai tengah malam. Sesudah itu aku," tambahnya. "Sementara, kurasa belum ada yang bisa kita lakukan. Kita tunggu dulu kedatangan orang yang katanya menyaksikan Seriti Putih mendarat." Tak lama kemudian, suasana pun sudah menjadi sunyi senyap. Semua sudah tertidur, kecuali Pilescu. Sambil memegang senjata, Pilescu mengamati gerak binatang malam yang berkeliaran tak jauh dari tempatnya berjaga. Mereka tak berani mendekat karena di situ ada api. Sebenarnya, Pilescu pun sangat suka bertualang. Sambil berjaga, ia tak henti-hentinya berpikir - memikirkan suku bangsa aneh yang tinggal di Gunung Rahasia, suku bangsa yang katanya berkulit putih kekuningan, berambut merah, dan bermata hijau. Seperti lelaki bangsa Baronia lainnya, Pilescu yang bertubuh kekar itu mempunyai sifat pemberani dan keras. Tak ada apa pun yang ia takuti. Dalam hal ini, ia hanya merasa kurang suka mengikutsertakan anak-anak menghadapi bahaya. Tapi, Ranni berpendapat mereka itu bukan anak-anak cengeng. Lagi pula, sudah beberapa kali mereka mengalami petualangan yang tak kalah membahayakan. Pagi pun datang. Bersamaan dengan datangnya pagi, datang pula lelaki penduduk daerah itu yang pernah menyaksikan Seriti Putih mendarat. Lelaki itu berkulit hitam. Wajahnya seram dan kelihatannya agak jahat Di belakangnya berjalan seorang anak lelaki bertubuh kurus, ia membawakan tiga buah lembing untuk lelaki tadi. Anak itu berwajah periang. Anak-anak langsung menyukainya. "Siapa dia?" tanya Jack sambil menunjuk kepada anak laki-laki itu. Ranni menanyakan, dan lelaki berkulit hitam menjawab. Wajahnya merengut. "Keponakan tamu kita," kata Ranni. "Anaknya nakal. Paling nakal di dalam keluarganya. Kerjanya lari dari rumah, menjelajah ke sana-sini sendirian. Suku bangsa di sini tidak memperbolehkan anak-anak menjelajah seorang diri. Kalau hendak pergi menjelajah, anak-anak harus pergi bersama pemburu ulung dan paling tidak harus sudah mendapat pendidikan yang memadai. Anak ini liar. Karena itu pamannya yang mengambil alih untuk mendidiknya." "Tapi aku senang melihat tampang anak itu," ucap Jack. "Tidak seperti pamannya. Pamannya aku tak suka sama sekali. Cepat tanyakan mengenai Seriti Putih, Ranni. Tanyakan apakah dia tahu apa yang terjadi dengan Kapten Arnold dan istrinya." Ranni kurang fasih berbicara dalam bahasa orang itu, walaupun bisa mengerti kalau mendengar orang bercakap-cakap. Lelaki berkulit hitam tadi menjawab pertanyaan Ranni sambil membuat gerakan-gerakan dengan tangannya. Dari gerakan dan sikapnya ketika ia bercerita, anak-anak merasa mengerti apa yang ia maksudkan walaupun tak sepatah kata pun mereka mengerti. "Katanya, ia sedang berburu tak jauh dari sini sambil mengamati kalau-kalau ada orang dari Gunung Rahasia. Tiba-tiba terdengar olehnya bunyi gemuruh di langit," ucap Ranni mengulangi yang dikatakan orang tadi. "ia lalu melihat ke atas. Di atas ada burung putih besar sekali yang bunyinya bergemuruh r-r-r-r-r-r-r seperti geluduk." Anak-anak memekik riuh rendah, geli mendengar Seriti Putih digambarkan demikian oleh penduduk asli itu. Ranni pun geli dan ikut tertawa, lalu meneruskan terjemahannya. "Katanya, burung putih raksasa itu terbang makin rendah, lalu mendarat di situ. Ia ketakutan luar biasa, dan tak berani bergerak dari balik pohon yang menjadi tempatnya bersembunyi, ia takut kelihatan oleh si burung raksasa. Dikiranya burung raksasa itu bisa makan orang." Lagi-lagi semua tertawa. Si lelaki berkulit hitam pun ikut menyengir. Giginya kelihatan putih sekali. Keponakannya tertawa mengakak, tetapi segera diam ketika pamannya berpaling dan menampar kepalanya. "Jangan!" teriak Jack terperanjat "Mengapa anak itu tak boleh ikut tertawa?" "Anak-anak di sini dilarang tertawa kalau ada orang dewasa di sekitarnya," kata Ranni. "Anak ini rupanya memang sering melanggar aturan yang satu ini! Lihat saja. Dia gampang sekali geli." Si penduduk asli melanjutkan ceritanya, ia melihat dua orang berwajah pucat keluar dari perut gunung raksasa tadi. Lalu, sesuatu membuatnya lebih kaget lagi! Beberapa orang berambut merah warga Gunung Rahasia nampak berdatangan! Melihat burung putih raksasa, ia sudah gemetar ketakutan hingga tak bisa bergerak di balik pohon tempatnya bersembunyi. Tetapi, melihat bangsa berambut merah dari Gunung Rahasia itu, ketakutannya jadi begitu memuncak sampai tanpa ia sadari kakinya membawa ia lari pontang-panting meninggalkan tempat itu! "Jadi, kau tidak melihat bagaimana nasib selanjutnya kedua orang yang keluar dari burung putih raksasa itu?" tanya Ranni, sangat kecewa. Si penduduk asli menggeleng, lalu menirukan caranya berlari tanpa berani melihat ke belakang. Keponakannya melihat, lalu menirukan setiap gerakan pamannya dengan persis sekali. Anak-anak jadi tertawa walaupun mereka merasa kecewa. Mendengar semuanya tertawa, paman anak itu menoleh. Tepat pada ketika itu keponakannya sedang mencibir. Tanpa berpikir lagi si paman berbalik, menyepak keponakannya sampai terpelanting ke tanah. Anak itu berteriak, ia bangkit duduk sambil menggosok-gosok kepalanya. "Sadis benar orang ini," ujar Pilescu tak senang. "Coba tanyakan jalan ke Gunung Rahasia, Ranni." Ranni bertanya. Yang ditanya menjawab dengan wajah ketakutan. "Katanya dia tahu jalan menuju gunung itu, tetapi tak tahu jalan masuk ke dalamnya," ujar Ranni. "Tanyakan-apakah dia mau mengantar kita ke sana," kata Pilescu. "Katakan saja - kalau dia mau, kita akan memberinya hadiah!" Mula-mula lelaki itu menggeleng-geleng kepala. Tetapi, ketika Pilescu mengambil cermin dari dalam kabin pesawat dan menunjukkan wajah orang itu dalam cermin sambil memberi isyarat bahwa cermin itu akan diberikan sebagai hadiah kalau ia mau, rupanya tergoda juga orang itu. "Dia bilang cermin ini ajaib - membuatnya ada di dalam cermin sekaligus di luar," kata Ranni menerjemahkan ucapan lelaki penduduk asli tadi. Ranni nyengir ketika mengucapkan itu. "Dia kepingin punya cermin itu. Sebab, kalau sampai terjadi sesuatu dengan dirinya - misalnya saja ia terluka, orang yang di dalam cermin akan tetap sehat." Mendengarnya semua jadi tersenyum-senyum. Seperti anak kecil saja kedengarannya. Tetapi, lelaki berkulit hitam itu belum pernah melihat cermin seumur hidupnya. Selama ini ia hanya bisa melihat gambaran dirinya di permukaan air. Rupanya ia yakin benar bahwa dirinya berada juga di dalam benda berkilau-kilauan yang ditawarkan oleh lelaki berambut merah ini. Lagi-lagi ia berdiri di depan cermin sambil menggerak-gerakkan wajahnya dengan gaya. Sekali lagi Ranni bertanya apakah ia mau mengantarkan mereka ke Gunung Rahasia. Ranni mengatakan bahwa ia akan memberikan benda ajaib yang ditunjukkan itu kalau lelaki itu mau mengantarkan. Kali ini orang itu mengangguk-angguk. Cermin itu sangat besar artinya buatnya. Wah, bisa-bisa dia dipilih jadi ketua suku kalau punya benda ajaib sehebat itu! "Katakan kepadanya kita akan pergi ke sana besok subuh," kata Pilescu. "Aku ingin menyiapkan segala sesuatu yang mungkin akan kita perlukan sebelum berangkat. Di samping itu, aku ingin memeriksa mesin Seriti Putih dan pesawat kita sendiri. Aku ingin keduanya siap diterbangkan setiap saat, kalau kita berhasil menemukan Kapten Arnold dan Nyonya. Besar kemungkinan kita ingin cepat-cepat lari dari sini!" Anak-anak jadi penuh semangat, dan tak bisa diam hari itu. Bahkan, pada saat panas menyengat sekali pun mereka tak bisa diam. Pikiran mereka sibuk membayangkan pengalaman yang bakal mereka mulai esok. Mereka akan berangkat ke Gunung Rahasia. "Untunglah Ranni dan Pilescu menemani kita," kata Nora. "Aku senang bertualang, tetapi hiiii... ngeri juga kalau teringat akan suku aneh yang menempati gunung yang terlupakan itu!" 7. Kedatangan Mafumu Pilescu dan Ranni sibuk memeriksa mesin Seriti Putih yang berdiri tak jauh dari tempat mereka mendarat. Anak-anak memeriksa bagian dalamnya. Melihat pesawat yang kosong itu, hati mereka sedih memikirkan Kapten Arnold dan istrinya telah menghilang dari situ secara misterius. Mula-mula Mike mengira, mungkin ada semacam catatan kecil yang ditinggalkan di dalam pesawat. Tetapi, anak-anak tak menemukan apa pun di sana. "Tak perlu heran," ujar Pilescu. "Kalau orang tua kalian sempat meninggalkan catatan, tentunya mereka sempat pula melarikan pesawat ini dan terbang ke tempat yang aman! Sejauh yang kulihat, tak ada kerusakan yang berarti pada mesin Seriti Putih. Yang ada, semuanya sudah diperbaiki dengan sempurna. Menurutku, orang tua kalian dijebak hingga tak sempat melakukan apa-apa sama sekali." "Oke. Kedua pesawat siap diterbangkan setiap saat," Ranni berkata ketika bergabung di samping Pilescu. Rambutnya basah oleh keringat. Sekujur tubuhnya bercoreng-coreng hitam kena oli. "Perlukah seseorang ditinggalkan di sini untuk berjaga?" tanya Mike. "Bagaimana kalau kita kembali ke sini tahu-tahu pesawatnya sudah dirusak orang?" Ranni tertawa. "Kau tahu sendiri bagaimana takutnya penduduk asli tadi mendekati pesawat kita," ujarnya. "Yang lain pun pasti sama saja. Takkan ada seorang pun yang bakal berani menyentuh pesawat-pesawat ini. Yang kukuatirkan malah panasnya matahari. Tapi, yah - kita tak bisa berbuat apa-apa untuk menghindarinya. Mau tak mau kita harus meninggalkan kedua pesawat ini di sini. Berdoa saja supaya tidak terjadi apa-apa pada keduanya." Pilescu telah menyiapkan satu pak besar makanan dan beberapa baju hangat serta selimut. Paul tertawa melihat kaus wol bertangan panjang yang dibawa oleh Pilescu. "Astaga, Pilescu! Buat apa begituan dibawa-bawa? Begini saja sudah kepanasan! Maunya sih cuma pakai ikat pinggang rumput seperti anak kulit hitam tadi pagi!" "Kita hendak ke gunung. Udara di gunung dingin," ucap Pilescu. "Siapa tahu kita memerlukan pakaian ini di sana." Hari itu berlalu dengan lambat. Rasanya tidak sore-sore. "Mengapa waktu rasanya berjalan lambat sekali pada waktu kita menunggu sesuatu yang menyenangkan, ya?" keluh Mike. "Hari ini rasanya seperti seminggu saja!" Tetapi, akhirnya hari itu berlalu juga. Malam tiba. Monyet-monyet ribut mengobrol di suatu tempat tak jauh dari sana. Dendang kodok di kolam terdengar bersahut-sahutan. Keesokan harinya, pagi-pagi benar, si penduduk asli datang bersama keponakannya. Anak lelaki kulit hitam itu cuma mengenakan celana tipis dengan ikat pinggang terbuat dari sejenis tumbuhan, ia sama sekali tidak mengenakan topi. Anak-anak keheranan ia bisa tahan panas. "Sudah kuduga ia akan ikut," ucap Jack gembira. "Siapa sih namanya, Ranni?" Anak laki-laki itu nyengir - memamerkan giginya yang berderet rapi berwarna putih cemerlang. Ranni berseru menanyakan namanya. Dengan suara riang ia menjawab, "Mafumu, Mafumu!" "Namanya Mafumu," sahut Ranni. "Baiklah, Mafumu. Sekarang kau tak perlu meneriakkan namamu kepada kami lagi." Mafumu kegirangan diajak bicara oleh Ranni. Tak henti-hentinya ia meneriakkan namanya. "Mafumu! Mafumu! Mafumu!" Pamannya segera menghentikan keributan anak itu dengan menempeleng kepalanya. Mafumu tersentak, lalu mencibir di balik punggung pamannya. Anak-anak merasa senang Mafumu akan ikut mengantar mereka. Pembawaan anak berkulit hitam yang riang gembira dan agak nakal itu menyenangkan hati anak-anak. Ranni menutup pintu pesawat, lalu menguncinya. Sambil beberapa kali menengok ke arah dua pesawat yang berkilau-kilauan tertimpa matahari pagi, rombongan pun berjalan - memulai petualangan mereka. Semuanya diam ketika meninggalkan tempat itu. Masing-masing berpikir apa yang hendak terjadi pada hari-hari mendatang. Mafumu memecah kesunyian dengan berteriak dan mulai mendendangkan lagu aneh. "Seperti nada nyanyian gereja," cetus Mike. "Wah, lihat - pamannya menghampiri anak itu lagi. Astaga! Dipukuli lagi! Keterlaluan benar orang itu! Ingin rasanya aku menempeleng kepalanya - biar tahu rasa!" Mafumu benar-benar ditempeleng oleh pamannya. Anak itu langsung diam tak bersuara, ia berjalan paling belakang. Wajahnya suram, menggendong bungkusan besar. Pamannya juga membawa bungkusan. Jumlahnya ada beberapa. Semua itu diletakkan di atas kepalanya. Hebat sekali! Sama sekali tak pernah terjatuh! Ranni menjelaskan, bahwa bangsa-bangsa di Afrika sudah terkenal pandai mengangkat barang berat. Buat mereka, mengangkat barang berat sampai berkilo-kilo jauhnya bukanlah hal yang aneh. Sebentar saja tanah datar tempat pesawat mereka melandas telah tertinggal di belakang. Saat ini mereka tengah menuju ke suatu daerah yang mirip hutan kecil. Daerah seperti itu membentang jauh hingga ke kaki gunung yang paling dekat. Di dalam hutan terasa gelap setelah sekian lama disinari langsung oleh matahari di tempat terbuka. Makin lama pepohonannya semakin rimbun dan lebat. Di sana-sini berjuntai akar yang menyerupai tambang digantung. Anak-anak sama sekali tidak melihat ada jalan setapak atau sejenisnya. Tetapi si lelaki kulit hitam yang menjadi penunjuk jalan berjalan pasti di depan mereka. Yang mengherankan, di dalam hutan pun barang bawaan yang tersusun di atas kepalanya tidak bergerak sedikit pun. Di mana-mana terdengar monyet berceloteh. Anak-anak melihat makhluk berkulit kecoklatan bergelantungan di pohon, mengintip mereka. Ketika melihat seekor induk kera menggendong bayinya, anak-anak merasa geli dan tak kuasa menahan tawa. Binatang lainnya lari ketakutan oleh kedatangan mereka. Suatu ketika, paman Mafumu mengayunkan tombaknya sambil berteriak pada seekor ular yang sedang merambat. "Astaga!" ucap Nora kaget. "Aku lupa di sini banyak ular. Mudah-mudahan saja jangan sampai terpijak olehku. Wah, hutannya asyik ya? Seperti dalam dongeng. Tak aneh rasanya kalau tiba-tiba muncul seorang peri." "Jangan, ah! Kalau muncul seorang peri, kita takkan melihat penunjuk jalan kita!" kata Pilescu. "Bisa-bisa dia lari tunggang-langgang pulang ke desanya karena ketakutan! Ingat, orang-orang sini sangat percaya akan kekuatan gaib. Mereka takut pada banyak hal. Aku heran Mafumu tak takut berada di hutan gelap begini. Tapi, dia memang orangnya periang!" Mafumu nampak santai, ia berjalan jauh di belakang pamannya. Pamannya berjalan paling depan - menunjukkan jalan. Sementara Mafumu berjalan di urutan terakhir. Di depannya berjalan Jack. Nampaknya Mafumu berusaha berteman dengan anak berkulit putih itu. Ia memetik sekuntum bunga liar berwarna merah dari semak-semak di bawah pohon, lalu meletakkan bunga itu di telinga Jack. Jack jengkel sekali. Yang lain menertawakan sambil memekik-mekik melihat bunga merah terselip di atas telinga Jack. Mafumu mengira Jack tak suka warna merah, ia memetik bunga lain berwarna biru menyala, lalu menarik bunga merah di telinga Jack dan menggantinya dengan yang biru. Jack marah bukan buatan. Dengan gusar, dicampakkannya bunga itu dari telinganya. Saudara-saudaranya tertawa cekikikan karena geli. "Diam kau, Mafumu!" ucapnya. Mafumu cepat hafal akan kata-kata yang diucapkan anak-anak di sepanjang perjalanan, walaupun ia tak mengerti artinya. "Diam, diam, diam," katanya menirukan dengan senang, ia lalu memanggil Ranni. "Diam! Diam! Diam!" katanya. Semua menertawakan Mafumu. Anak itu konyol, lucu, cepat tertawa. Pada saat pamannya bersikap kasar pun ia segera tersenyum lagi. Rupanya ia masih ingin menunjukkan keinginannya bersahabat dengan Jack. Kali ini ia memberi sejenis buah-buahan. Buah itu ia taruh dalam genggaman Jack, sambil mengatakan, "Ammakeepa-lotti-loo." Jack memandang buah di tangannya. Diciumnya buah itu. Wangi - seperti madu. "Bolehkah buah ini dimakan, Ranni?" tanyanya. Ranni menoleh, lalu mengangguk "Boleh saja. Buah itu jarang kita dapatkan. Adanya hanya di hutan lebat begini. Diberi oleh Mafumu, ya?" "Betul," sahut Jack. "Tak henti-hentinya anak itu memberiku sesuatu. Aku jadi tak enak." "Kalau kau tak mau, suruh saja Mafumu memberikan semuanya itu kepadaku," seru Peggy. "Aku suka diberi bunga warna-warni. Apalagi buah ranum berwarna kuning segar itu! Pasti enak rasanya." Jack mencicipi buah di tangannya. Hmm, enaknya! Belum pernah ia makan buah selezat itu. Manis rasanya, seperti madu. Jack menyuruh Nora dan Peggy mencicipi pula. Mereka kepingin lagi. "Carikan lagi, Mafumu; carikan lagi, Mafumu!" pekik mereka. "Diam, diam, diam!" sahut Mafumu riang, ia mengerti maksud Nora. Dan rasanya, jawabannya barusan benar. Mafumu menghilang ke dalam hutan. Lama sekali perginya, hingga anak-anak mulai gelisah. "Ranni! Lama benar Mafumu pergi!" seru Jack. "Dia takkan kesasar, kan?" Ranni bertanya pada paman Mafumu yang berjalan di depan. Lelaki pribumi itu tertawa, lalu menjawab acuh tak acuh. "Dia bilang Mafumu kenal hutan ini seperti semut kenal liangnya," kata Ranni menerjemahkan. "Dia mengatakan dia tak peduli walaupun Mafumu dimakan buaya atau dicengkeram singa. Rupanya orang itu sama sekali tak sayang kepada keponakannya." "Ah, dasar orang jahat," ucap Peggy. "Astaga! Benarkah banyak singa berkeliaran di sini?" "Ada sih. Tapi, kau tak perlu takut," jawab Ranni. "Aku dan Pilescu membawa senjata. Di samping itu, paman Mafumu membawa banyak tombak." Di hutan udaranya sejuk dan agak gelap. Mereka bisa berjalan cukup jauh tanpa harus beristirahat. Mereka berjalan melewati jalur yang berliku-liku di antara pepohonan raksasa. Bunyi kodok terdengar di kejauhan, sementara itu burung berkicau dengan keras memekakkan telinga. Jack melihat seekor burung nuri berwarna cerah dan seekor bajing sedang melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Buat anak-anak, yang paling menarik adalah monyet-monyet. Beberapa ekor bergelantungan di pohon, berpindah dari pohon satu ke pohon lainnya, mengikuti mereka berjalan sampai cukup jauh. Akhirnya mereka sampai di tepi hutan. Pepohonan di situ berkurang rimbun dan lebatnya. Sinar matahari terlihat di antara pepohonan itu, membuat bayang-bayang yang bergerak-gerak sementara ranting-ranting bergerak tertiup angin. "Hutannya tak begitu besar. Cuma sebentar kita lewat menyeberanginya," kata Mike. "Sebenarnya hutan itu besar," kata Pilescu. "Cuma, kita tidak lewat di bagian tengahnya. Kita hanya menyeberangi salah satu sudutnya barusan. Kalau hendak lewat bagian tengahnya, kita harus membawa kapak dan pisau tajam untuk membabat tumbuhan yang menghalangi jalan kita." Anak-anak masih kuatir memikirkan Mafumu. Tetapi anak hitam itu tiba-tiba saja muncul. Tubuhnya membungkuk lebih dari sebelumnya, karena di kepalanya terdapat beban baru berupa buah-buahan kuning seperti yang diberikannya kepada Jack beberapa saat sebelumnya. Mafumu memberikan buah itu kepada anak-anak. Masing-masing anak diberinya sebuah. Sambil menyodorkan buah kepada mereka, Mafumu menyengir girang. "Oh, terima kasih banyak," ujar Mike. "Hmm, segarnya! Buah beginilah yang paling kudambakan. Aku haus! Terima kasih banyak, Mafumu!" "Terima kasih banyak, diam," sahut Mafumu senang. "Kupikir, sebaiknya kita semua istirahat dulu di sini," usul Pilescu. "Matahari masih tinggi. Di luar hutan tentu panas sekali. Kita takkan bisa berjalan jauh di udara terbuka yang sepanas itu. Kalau matahari sudah condong ke barat nanti, baru kita teruskan perjalanan." Tak seorang pun merasa lapar. Mereka semua kepanasan. Mafumu mencari buah lagi. Kali ini semua kebagian. Buahnya tidak selezat yang tadi, tetapi toh cukup segar dan manis. Pamannya tidak ikut makan buah. ia mengambil sesuatu dari kantungnya, lalu menggigit-gigit benda itu. Anak-anak tertidur semua, kecuali Mafumu. ia berlutut di dekat Jack, lalu memperhatikan anak yang sedang tidur itu. Ketika merasa napas Mafumu mengenai pipinya, Jack mendorong Mafumu supaya menjauh. Tetapi, begitu Jack tertidur, Mafumu mendekat lagi. Anak berkulit hitam itu rupanya sangat terpesona pada Jack. Ranni memandang anak-anak yang sedang tidur. "Mereka menurut hari ini," katanya kepada Pilescu. "Tapi, pasti sangat lelah. Malam nanti harus kita usahakan mereka tidur cukup. Perjalanan kita besok jauh dan mendaki pula." "Aku sudah kepingin petualangan ini berakhir," ujar Pilescu kuatir. "Kalau ingat bahwa ini baru mulai, rasanya ngeri." Sambil berkata-kata Pilescu mengipasi wajah Paul yang kepanasan dengan selembar daun. Paul tak merasakan kesejukannya, karena ia tertidur nyenyak sekali. Berbeda dengan Pilescu, anak-anak justru senang petualangan itu baru mulai. Bagi mereka, masa-masa di tengah petualangan merupakan masa yang paling menyenangkan. Mereka menunggu-nunggu saat itu dengan tak sabar! 8. Perjalanan Panjang Dua hari penuh rombongan itu berjalan terus. Anak-anak kuat berjalan jauh. Hanya Paul yang kurang kuat. Untunglah Ranni bisa menggendong Paul di bahunya kalau anak itu mulai kecapekan. Mereka sudah sampai ke daerah yang bergunung-gunung sekarang. Paman Mafumu memimpin perjalanan mendaki. Lelah juga mendaki terus-terusan. Tetapi, lama-kelamaan anak-anak pun jadi terbiasa. Lain halnya dengan Mafumu. Buatnya, perjalanan mendaki itu nampaknya bukan hal aneh. ia melompat-lompat bukan seperti sedang mendaki, tetapi lebih mirip gerakan orang yang sedang menuruni bukit. Selama dua hari sudah banyak kata-kata Inggris yang dipelajarinya. Mafumu tak pernah ragu-ragu menggunakan kata-kata barunya. Anak-anak sering geli dibuatnya. "Astaga, diam, halo, terima kasih banyak," celotehnya sambil melompat-lompat. Yang membuat anak-anak heran, beban yang disunggi di atas kepalanya tak pernah bergoyang sedikit pun. "Cepat, cepat, halo!" "Konyol banget," ucap Jack. Walaupun anak-anak menganggap Mafumu konyol, mereka suka pada anak yang selalu riang gembira itu. Bermacam-macam tumbuhan ia berikan kepada anak-anak untuk dimakan - jamur yang lezat sekali kalau dimasak, daun yang mengeluarkan rasa pedas segar kalau digigit-gigit, berbagai jenis buah-buahan - ada yang pahit dan ada pula yang rasanya sangat aneh. Mafumu memakan semuanya itu tanpa ngeri-ngeri. Sehabis makan, ia mengelus-elus perutnya yang buncit sambil menyengir. Pada hari kedua, ketika anak-anak sedang mendaki lereng gunung, tiba-tiba Mafumu melihat semak-semak di tempat yang tinggi - jauh di depan mereka. Semak-semak itu digantungi buah berry biru ranum-ranum. Mafumu tahu buah itu segar dan manis sekali rasanya. Mengambil jalan memintas, anak itu lari ke tempat semak-semak tadi. Setelah memetik cukup banyak buah berry, Mafumu lari kembali ke rombongan. Tetapi malang, kakinya terinjak batu kecil yang segera menggelinding turun dan mengenai kaki pamannya. Dengan marah sekali pamannya menyergap Mafumu, lalu memeganginya. Mafumu dipukul keras-keras dengan tombaknya. Anak itu menjerit kesakitan sambil meronta melepaskan diri. "Hentikan, hentikan!" teriak Jack yang paling benci kalau ada orang menyakiti orang lain. "Mafumu cuma mengambil buah berry buat kita. Hentikan, hentikan!" Tetapi paman Mafumu tidak juga menghentikan pukulan-pukulannya. Jack jadi tak sabar. Ia lari ke depan. Direbutnya tombak dari tangan paman Mafumu, lalu tombak itu ia lemparkan ke tepi bukit dengan marah. Wajah Jack merah padam oleh amarah. Tombak yang dilemparkan Jack bergemerin-cing jatuh ke tanah dan hilang. Paman Mafumu membalikkan badan, menghadap pada Jack. Tetapi Ranni siap di samping Jack. Lelaki tinggi kekar itu berbicara kepada paman Mafumu dengan tegas. Sambil mendengarkan, mata lelaki itu kelihatan menyorot marah. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia lalu berbalik dan berjalan lagi mendaki lereng gunung. "Kau bilang apa, Ranni?" tanya Mike. "Kukatakan kepadanya bahwa cermin yang kujanjikan takkan kuberikan kepadanya kalau ia sampai sekali lagi memukul orang," kata Ranni. "Barusan ia hendak memukul Jack. Jangan ikut campur lagi, Jack. Biarkan aku yang menyelesaikan kalau ada masalah." "Baiklah kalau begitu," sahut Jack yang darahnya masih mendidih. Mafumu bangkit dari tanah. Wajah dan lengannya luka-luka. Di kulitnya yang hitam pun luka memar akibat pukulan pamannya tadi terlihat jelas. Mafumu berlari ke sisi Jack, lalu berlutut di dekat kakinya sambil menucapkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh Jack. "Berdirilah kau, Mafumu," perintah Jack, merasa tak enak. "Astaga, anak ini! Lihatlah ia berjalan menyusulku di atas kedua lututnya! Mafumu, bangun!" "Dia mengatakan mau jadi hambamu selama-lamanya," kata Ranni, nyengir. "Katanya, dia akan meninggalkan pamannya dan mengabdi padamu seumur hidup. Dia menganggapmu raja anak lelaki." "Raja Jack, Raja anak lelaki!" teriak Mike sambil menepuk-nepuk bahu Jack. "Diam!" bentak Jack. "Diam, diam, diam!" Mafumu menirukan dengan riang gembira. Anak itu bangkit dari lututnya, lalu berjalan sedekat mungkin dengan pahlawannya. Sejak saat itu Mafumu mengagumi Jack melebihi sebelumnya. Lama-kelamaan Jack pun merasa biasa melihat anak berkulit hitam itu tak pernah lepas dari sisinya - seperti bayang-bayang. Jack tak pernah bisa lolos dari Mafumu. Tetapi, dalam hati ia merasa bangga dipilih Mafumu di antara yang lain-lain. Makin tinggi mereka mendaki, udaranya terasa makin sejuk. Tinggi benar gunungnya. Rasanya tak sampai-sampai mereka ke puncak. "Mana bisa kita sampai ke puncaknya," ujar Peggy. Kakinya mulai lecet. "Kita takkan naik sampai ke puncak," ucap Mike. "Kita cuma naik sampai ke jalan penghubung kedua gunung ini. Ranni bilang kita menyimpang ke timur di sana, di dekat batu raksasa itu, lalu dari situ menuju ke tempat pertemuan gunung ini dan gunung yang satunya lagi. Nah, di situ ada semacam jalan kecil. Dari situ kita bisa melihat Gunung Rahasia!" "Wah!" ucap Paul. "Sudah sedekat itukah?" "Yah, tidak dekat sekali sih," sahut Mike. "Tapi, cepat atau lambat kita akan sampai ke sana. He, Peggy - sudah kauolesi tumitmu dengan obat yang diberi Ranni tadi?" "Sudah," sahut Peggy. "Bagian yang lecet sudah kututupi dengan kapas. Beres deh, pokoknya." "Bagus," kata Mike. "Lecet semacam itu tak boleh mengganggu petualangan seperti ini." Semua tertawa. Mereka semua mengenakan mantel sekarang. Masing-masing merasa bersyukur bisa mengenakan mantel, sebab dinginnya udara di gunung bukan main. Lebih-lebih jika awan datang bergulung-gulung menuruni lereng dan menjadikan daerah itu berkabut. Paling enak, minum minuman panas pada saat seperti itu. Mereka menjerang air pada api unggun kecil yang dibuat dari ranting-ranting pohon. Mafumu tahu di mana bisa mengambil air. Dengan membawa panci yang diberikan Ranni kepadanya, anak itu pergi mengambil air dan meletakkan panci yang sudah berisi air ke atas api untuk dijerang. Nikmat benar rasanya coklat susu panas manis pada saat seperti itu! Malam itu mereka bermalam di sebuah gua. Mereka tidur beralaskan tikar. Karena dingin sekali, Nora dan Peggy tidur berdekatan dan saling mendekap. Mafumu tidur tanpa alas. Herannya, anak itu nampaknya sama sekali tak kedinginan. Benar-benar aneh anak berkulit hitam itu. Seperti biasa, Ranni dan Pilescu berjaga bergiliran. Kali ini, mereka bukan hanya waspada terhadap singa atau binatang buas lainnya, tetapi juga terhadap penduduk Gunung Rahasia! Suku bangsa yang aneh begitu harus dicurigai, sebab apa yang mungkin mereka lakukan belum diketahui! Mafumu tidur di tanah, dekat kaki Jack. Jack menawari anak itu selimut, tetapi Mafumu tak mau. Ia malah mencoba membetulkan letak selimut Jack. Melihat ini anak-anak yang lain jadi geli. "Wah, dia kepingin jadi perawatmu, rupanya," goda Mike. "Sudahlah, jangan terus-terusan bercanda," gerutu Jack. "Ini kan bukan salahku. Aku tak bisa melarang Mafumu. Meskipun dilarang, anak itu akan terus begini." "Besok kita sudah bisa melihat Gunung Rahasia," kata Nora, mengantuk. "Sudah tak sabar rasanya. Bentuknya bagaimana, ya?" "Kira-kira, paman Mafumu bisa menunjukkan jalan masuk kedalamnya atau tidak, ya?" Mike penasaran. "Rasanya tak ada gunanya kalau cuma bisa melihat gunung yang mereka tuju tanpa bisa masuk ke bagian tengahnya! "Menurutmu, bagaimana bagian dalamnya? Apakah kira-kira di situ terdapat rongga-rongga dan banyak terowongannya?" tanya Peggy sambil bergerak lebih mendekati Nora lagi supaya tubuhnya terasa lebih hangat. Mafumu memegangi kedua kaki Jack supaya hangat. Tangan anak itu memang panas. Kali ini Jack tak berusaha menyingkirkan tangan Mafumu. Jack sudah hampir tertidur, ia berbaring dengan mata terpejam, merasakan kehangatan tangan Mafumu pada kakinya yang dingin. "Selamat tidur, Mafumu," ujar Jack mengantuk. "Halo, selamat tidur," sahut Mafumu, merasa senang karena boleh berada sedekat itu dengan pahlawan pujaannya. "Besok kita bisa melihat Gunung Rahasia," gumam Jack, lalu tertidur. Besok - ya, besok! 9. Gunung Rahasia Subuh keesokan harinya ternyata berkabut luar biasa. Awan putih tebal seakan melapisi permukaan lereng gunung. Dalam keadaan kabut begitu, pemandangan ke depan tak bisa kelihatan. Anak-anak kecewa sekali. Tetapi, sementara mereka berjalan terus maju ke jalan penghubung antara kedua gunung, matahari mulai bersinar terang menembus kabut. Lama-kelamaan kabut pun menghilang. "Bukan main!" seru Mike, mengagumi pemandangan di sekelilingnya. Di bawah, terlihat lereng gunung yang telah mereka daki. Di kejauhan, membentang bermil-mil jauhnya, terlihat berbagai negeri Benua Afrika. Di atas, langit cerah nan biru seolah menyelimuti gunung-gunung di bawahnya. "Warna alam di sini lebih cerah," kata Peggy. Gadis itu memetik sekuntum bunga liar berwarna oranye, lalu menyelipkan ke topinya. "Astaga, Mafumu!" Mafumu langsung berlari memetik bunga sebanyak-banyaknya ketika melihat Peggy memetik bunga tadi. Bunga yang banyak itu kini ia persembahkan kepada Peggy. Peggy jadi kepingin tertawa. Diterimanya bunga pemberian Mafumu. Ia tak tahu harus ia apakan bunga sebanyak itu. Akhirnya, ia dan Nora menyelipkan bunga sebanyak-banyaknya di sekeliling topi mereka. "Rasanya seperti sedang jalan-jalan di kebun," ujar Nora. "Mudah-mudahan saja Mafumu tidak memberi kita bunga terus-terusan." "Sebentar lagi kita sampai ke tempat di mana kita bisa melihat Gunung Rahasia," ucap Ranni. Pemberitahuan ini membuat semuanya berjalan dengan lebih bersemangat. Tiga jam lamanya mereka mendaki, menuju pintasan batu yang mereka tuju. Paman Mafumu berjalan di depan, mencari jalan yang bisa dilalui. Di tempat yang tak mungkin dilalui pun, masih ia temukan celah yang bisa dilalui. Kadang-kadang mereka harus mendaki tebing terjal. Kalau sampai ke tempat yang begitu, Ranni dan Peliscu harus menarik dan mendorong anak-anak untuk membantu mereka naik. Terkadang, mereka harus melintasi daerah yang berpohon lebat tempat berbagai jenis burung berkicau bersahut-sahutan. Suasana di negeri itu betul-betul lain daripada yang lain. Akhirnya mereka sampai ke puncak pintasan. Dari situ, mereka bisa melihat sisi lain deretan pegunungan di sekitar situ. Pemandangannya sungguh indah mempesona! Dari pintasan itu, mereka bisa melihat sekaligus ke timur dan barat. Di bawah, membentang dengan luasnya, terlihat dataran Afrika sampai ke batas cakrawala. Di depan mereka, menjulang sederetan gunung tinggi lain. Di antara deretan gunung-gunung di sebelah sana dan pegunungan tempat mereka berdiri, terdapat semacam lembah sempit memanjang. Semua berdiri diam. Juga paman Mafumu. Sungguh, pemandangan disitu indah menawan. Itu pendapat anak-anak. Lalu, dengan bersemangat Paul berkata, "Mana Gunung Rahasia? Yang mana? Cepat tunjukkan!" Ranni bertanya kepada paman Mafumu. Lelaki pribumi itu menunjuk dengan tombaknya. Sambil menunjuk, ia berbicara cepat kepada Ranni. Ranni menoleh kepada anak-anak yang asyik mendengarkan. "Kalian lihat gunung yang di sebelah sana itu? Yang sekarang ini dilingkari oleh awan putih? Tunggu sampai awannya pergi. Akan terlihat nanti bahwa puncak gunung itu tidak runcing, melainkan datar. Kalian akan melihat pula bahwa gunungnya kelihatan kekuning-kuningan. Kata si pribumi, warna kuning itu disebabkan oleh semacam rumpun tumbuhan aneh yang hanya tumbuh di gunung itu. Pada musim-musim tertentu warna kuning itu berubah menjadi merah menyala." Agak mengerikan kedengarannya. Anak-anak memandang jauh ke gunung di seberang, yang sedang diliputi awan. Sementara mereka memperhatikan gunung itu, awan yang meliputinya berangsur pergi. Makin lama makin tipis yang tertinggal, hingga akhirnya sama sekali lenyap. Kini semua bisa menyaksikan bentuk aneh Gunung Rahasia! Warnanya yang kekuningan menyebabkan gunung itu menyolok dibandingkan dengan gunung-gunung di sekitarnya. Selain itu, bentuk puncaknya yang datar membuat daya tariknya lebih besar. Puncak Gunung Rahasia benar-benar datar. Tak ubahnya dengan permukaan meja. Sambil menunjuk dengan tombak sekali lagi, paman Mafumu mengatakan sesuatu kepada Ranni. "Katanya, menurut desas-desus suku yang tinggal di gunung itu sering terlihat di puncak sana. Di tempat itu mereka memuja dewa matahari," Ranni menceritakan kembali yang dikatakan paman Mafumu. "Heran. Mana bisa melihat orang dari jarak sekian jauh? Yang jelas, pasti ada jalan menuju ke puncaknya dari dalam gunung itu." "Aku tak habis pikir - mengapa suku aneh itu memilih tinggal di tempat seperti itu dan hidup menyendiri, tak mau bercampur dengan orang-orang lainnya," ucap Jack. "Oh, banyak kelompok orang yang begitu," sahut Pilescu. "Kadangkala ada suku yang memisahkan diri dan hidup di tengah hutan belantara, atau kadang-kadang juga di sebuah pulau yang terpencil atau di tengah gurun. Tapi, belum pernah aku mendengar ada yang tinggal di gunung seperti suku itu." "Rupanya sesekali mereka keluar dari gunung untuk berburu," komentar Mike. "Itulah sebabnya penduduk pribumi di sekitar sini tahu bahwa di Gunung Rahasia hidup suku aneh itu. Anehnya, mereka berkulit putih kekuningan - bukan hitam atau coklat seperti orang Afrika lainnya." "Memang aneh," tambah Ranni. "Aku sendiri tak habis pikir. Nah - Gunung Rahasia yang kita cari sudah berada di sana. Dia takkan bisa jalan mendekati kita. Jadi, sebaiknya kita yang segera ke sana. Bagaimana kalau kita teruskan perjalanan kita, Pilescu?" Paman Mafumu berkata-kata dengan cepat, sambil memberi isyarat dengan wajah dan tangannya. "Dia tak berani berjalan lebih dekat ke gunung itu," kata Ranni. "Dia tanya - apakah perlu dia ikut ke situ? Dia bilang, dia sama sekali tak tahu jalan masuk ke gunung itu." "Buktinya dia sudah bisa menunjukkan jalan sampai kemari," kata Pilescu tegas. "Kurasa, dia mungkin tahu jalan masuknya sesampainya kita di gunung itu! Pokoknya, kalau dia tak mau ikut, cermin itu tak jadi kuberikan." "Mana cerminnya?" tanya Nora. "Tidak kita bawa, kan?" "Tentu saja tidak," Ranni menjawab sambil tertawa. "Jadi, cermin itu kausimpan kembali di dalam kabin pesawat?" tanya Jack. "Kan pesawatnya kita kunci?" "Tidak. Cerminnya sudah kubungkus rapi dan kusembunyikan di bawah ranting-ranting pohon kate dekat kolam tempat kita cuci piring," sahut Ranni. "Si pribumi akan kuberi tahu tempatnya kalau tugasnya sudah selesai. Sebelum tugasnya selesai aku tak akan memberi tahu." "Cerdik benar kau," kata Peggy. Ranni berpaling kepada paman Mafumu, lalu mengatakan sesuatu kepadanya. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala. Ranni cuma mengangkat bahu, lalu menyuruh rombongan meneruskan perjalanan. Mereka berjalan lewat jalan berbatu, meninggalkan Mafumu dan pamannya di belakang. Tetapi, belum jauh mereka berjalan, terdengar teriakan paman Mafumu. Ketika mereka berpaling ke belakang, tampak paman Mafumu berlari-lari mengejar mereka. Mafumu ikut lari di belakangnya. Wajahnya berseri-seri berhiaskan senyum lebar. Paman Mafumu memohon-mohon pada Ranni. Tetapi Ranni menggeleng. Anak-anak bisa menebak apa yang mereka perbincangkan. Pasti paman Mafumu minta Ranni memberikan cermin yang dijanjikan, dan Ranni bersikeras tak mau memberikannya. Akhirnya si pribumi mau ikut dengan mereka. Ranni berjanji hendak memberi tahu di mana tempat cermin itu disimpannya setelah mereka sampai ke Gunung Rahasia. Untunglah paman Mafumu ikut lagi. Jalan menuju Gunung Rahasia ternyata tak gampang dicari. Iring-iringan itu berjalan melalui jalan yang tersembunyi hingga kalau ada yang mengawasi dari Gunung Rahasia mereka tak kelihatan. Ranni dan Pilescu sama sekali tak menduga bahwa ada jalan tersembunyi menuju ke gunung itu. Seandainya tidak ditunjukkan jalannya oleh paman Mafumu, mungkin jalan yang mereka tempuh adalah menyeberangi lembah yang ditumbuhi oleh berbagai semak liar yang begitu rapat hingga tak mungkin ditembus. Paman Mafumu mengajak mereka melewati sebuah sungai sempit. Sungai itu besarnya tak melebihi sebuah parit. Airnya mengalir deras ke arah gunung yang mereka tuju. Bagian atas sungai itu dinaungi oleh dahan dan ranting pepohonan yang rimbun hingga menyerupai semacam terowongan hijau. Gemericik airnya terdengar segar menyejukkan. "Astaga! Sungai!" teriak Jack berdebar-debar melihat sungai yang dinaungi oleh terowongan hijau yang terbentuk dari tumbuhan rimbun. Suasana di situ gelap, tentunya. "Bagaimana caranya kita lewat? Dangkalkah airnya? Kalau dangkal, kita bisa jalan di air." "Di beberapa tempat memang airnya dangkal," kata Pilescu. "Tapi, jangan coba-coba jalan lewat sungai itu. "He, sedang apa Mafumu dan pamannya - wah, rupanya sedang bikin rakit kasar-kasaran buat kita!" "Asyik!" seru Paul sambil lari mendekati kedua orang berkulit hitam yang sedang bekerja itu. Mafumu sedang sibuk mengangkati semacam gabus berwarna keunguan dan memberikan kepada pamannya. Ia mengambil benda itu dari sebidang tanah yang berpaya-paya. Baunya sangat tidak enak. "Itu gabus, ya?" tanya Paul. "Bukan. Kelihatannya sih seperti sejenis jamur raksasa," sahut Pilescu. "Lihatlah! Pamannya sibuk mengikat jamur-jamur itu dengan tambang!" Dalam waktu kurang lebih dua jam, siaplah empat buah rakit kecil yang terbuat dari bahan seperti gabus yang baunya luar biasa itu. Bentuknya ganjil, begitu pula baunya. Tetapi rakit-rakit itu bisa mengapung dan terayun-ayun di arus sungai seperti itik sedang berenang. Anak-anak senang melihatnya. Asyik juga naik rakit dan terapung-apung di sungai yang dinaungi terowongan hidup berwarna hijau-menuju Gunung Rahasia! "Paman Mafumu bilang, suku mereka selalu menggunakan rakit semacam ini untuk mencapai lembah dengan cepat - menghindari penduduk Gunung Rahasia," kata Ranni. "Sungai ini mengalir sampai ke kaki Gunung Rahasia. Di sana, alirannya bergabung dengan sebuah sungai. Sungai yang itu mengalir ke lembah berikutnya, lembah tempat berburu yang paling disukai oleh suku Mafumu. Rakit semacam ini tak tahan lama, katanya. Cuma tahan untuk dinaiki sampai ke lembah sebelah sana. Kalau lebih lama lagi dipakai, sudah tidak aman karena bahan pembuatnya mulai hancur berangsur-angsur." Pilescu dan Paul menaiki satu rakit. Walaupun diguncang keras oleh arus sungai yang deras, tak sekali pun rakit itu tenggelam ke dalam air. Karena dinaiki dua orang, hampir tak ada ruang gerak untuk penumpangnya. Paul dan Pilescu berpegang kuat-kuat pada tambang pengikatnya sementara rakit mereka melaju mengikuti aliran sungai seperti gabus terapung. Rakit berikutnya dinaiki Ranni dan Nora, disusul oleh Peggy dan Mike. Paling belakang adalah rakit yang ditumpangi Jack, paman Mafumu, dan Mafumu sendiri! Mafumu sama sekali tak mau berpisah dengan Jack. Perjalanan itu terasa ganjil dan sedikit menakutkan. Dahan dan ranting pepohonan di kiri-kanan sungai bertemu di bagian atasnya. Daun-daunnya begitu rimbun hingga tak sedikit pun sinar matahari dari luar masuk ke situ. Akibatnya suasana sepanjang perjalanan diliputi warna hijau suram. "Wajahmu jadi hijau!" teriak Peggy kepada Mike ketika mereka berangkat bersama memasuki terowongan aneh yang melingkupi sungai. "Mukamu juga," sahut Mike. "Wah, semua jadi hijau! Rasanya seperti di dalam air saja! Mungkin karena kita tidak melihat cahaya sama sekali. Yang terlihat cuma kehijauan pohon di kiri-kanan dan atas kita serta pantulannya di air sungai." Aliran sungai terasa makin deras ketika menuruni lembah. Anehnya, mereka sama sekali tak menjumpai tempat yang tidak ditumbuhi pohon di sepanjang sungai hingga terowongan di atas mereka tak sekali pun berlubang. Rakit bikinan Mafumu dan pamannya benar-benar hebat. Hanya saja, ketika mereka hampir sampai terasa mulai ada bagian yang hancur. Mula-mula bagian tepinya. Lama-kelamaan, beberapa bagian terlepas dari tambang pengikatnya. "Wah! Tak lama lagi habis rakit ini. Di mana kita bisa mendarat?" tanya Ranni. Paman Mafumu menjawab sambil berteriak. "Hore! Untung saja! Rupanya kita sudah dekat dengan tempat yang kita tuju, Anak-anak!" seru Ranni gembira. Rakit-rakit yang terapung itu berputar-putar sambil meluncur maju. Benar-benar aneh! Tetapi anak-anak sangat terkesan. Mereka sedih melihat rakit-rakit itu mulai hancur. Makin lama masing-masing rakit itu makin kecil! Mendadak sungai yang mereka lalui mengalir ke semacam kolam besar yang tenang airnya. Di ujung lain kolam itu, sungainya mengalir lagi ke luar. Ketika mendengar paman Mafumu berteriak, anak-anak langsung tahu bahwa perjalanan air yang aneh itu telah berakhir. Kolam besar berair tenang itu ternyata merupakan tempat pemberhentiannya. Kalau mereka terus mengikuti aliran sungai, mereka akan mengelilingi kaki gunung dan sampai ke lembah berikutnya. Rakit Pilescu berputar-putar di kolam. Pilescu meraih ranting-ranting tumbuhan di tepi kolam hingga rakitnya tertarik ke tepi, dan ia serta Paul bisa mendarat ke tempat yang ditumbuhi semak-semak lebat. Rakit yang lain mengikuti. Hampir saja rakit Mike dan Peggy terbawa arus terus. Ketika masuk ke kolam, rakit mereka melaju persis di tengah-tengah. Untunglah Mike dan Peggy berhasil membelokkan rakit itu. "Seandainya aku tak cepat-cepat melompat dari rakit itu," ujar Ranni. "Bisa-bisa rakitku habis tenggelam." Beban tubuh Ranni yang berat memang mengakibatkan rakitnya lebih cepat hancur dibanding dengan yang lain. Semua melompat dari rakit mereka ke pinggir kolam. Mereka terpaksa berdiri di atas akar-akar tumbuhan karena tanah di situ sama sekali tak kelihatan oleh rimbunnya pepohonan dan semak-semak. "Yah, kita sudah sampai," kata Pilescu. "Di mana gunungnya? Sekarang ini kita sudah berada di kakinya, kan?" Dengan wajah ketakutan, paman Mafumu menunjukkan jalan melewati semak-semak yang lebat. Dengan susah payah ia membukakan jalan. Akhirnya, sampailah mereka pada sebatang pohon tinggi. Paman Mafumu memanjat pohon itu sambil memberi isyarat supaya yang lain mengikuti dia. Ranni memanjat, diikuti yang lain. Mereka semua sudah tak sabar ingin melihat sesuatu yang hendak ditunjukkan kepada mereka oleh paman Mafumu. Sementara mereka memanjat dengan berpegang pada akar-akar yang bergelantungan, monyet-monyet ribut menyingkir. Paman Mafumu terus naik sampai mendekati puncak pohon. Pohon itu menjulang tinggi di antara semak-semak dan pepohonan di sekitarnya. Dari situ, terlihat dekat sekali oleh mereka, Gunung Rahasia! 10. Kejutan Gunung Rahasia menjulang tinggi dengan terjalnya. Permukaannya ditumbuhi oleh semak-semak aneh berwarna kekuningan yang menyebabkan gunung itu terlihat kuning dari kejauhan. Semak-semak itu berdaun kuning. Bunganya putih kecil-kecil banyak sekali. Di sana-sini terlihat kupu-kupu dan serangga lain berkejaran. Melebihi keadaan alam di sekitarnya, gunung itu sendirilah yang membuat anak-anak sangat terpukau. Terjal sekali - hingga nampaknya takkan bisa didaki. Gunung itu menjulang tinggi menyentuh langit tepat di hadapan mereka. Jaraknya dekat sekali. Nora ngeri melihat besarnya gunung itu. Paman Mafumu gemetar badannya. Sambil memandang gunung itu, ia menggumamkan kata-kata yang aneh kedengarannya. Jelas sekali si pribumi itu ketakutan setengah mati. Kalau tidak gara-gara kepingin punya cermin ajaib yang dijanjikan kepadanya, ia takkan mau ke tempat itu. Paman Mafumu meluncur turun dari pohon, ia lalu berbicara cepat kepada Ranni. Ranni memberi tahu orang itu tempat cerminnya disembunyikan. Si Kulit Hitam mengangguk-angguk sambil nyengir memperlihatkan sederet gigi berwarna putih, ia berteriak memanggil Mafumu. Tak lama kemudian keduanya sudah menghilang di balik semak-semak. "He, Mafumu - pamit dulu!" teriak Jack. Agak sedih juga hatinya melihat anak periang itu pergi meninggalkan mereka. Tetapi, pamannya mencengkeram sebelah telinga Mafumu dan menghelanya pergi. Mafumu tak bisa berbuat apa-apa lagi. "Mestinya, paling tidak ia mesti berpamitan," kata Peggy. "Aku senang anak itu. Asyik kalau dia bisa ikut kita." "Apakah paman Mafumu memberikan gambaran bagaimana caranya masuk ke gunung itu?" tanya Mike pada Ranni. Ranni menggeleng. "Dia cuma mengatakan kita harus menembus batu," ujar Ranni. "Kurasa paman Mafumu tak tahu persis keadaan gunung ini. ia cuma meneruskan cerita yang pernah ia dengar." "Menembus batu!" seru Jack. "Kayak cerita Ali Baba saja! Kalian ingat kan - dalam cerita itu kawanan perampoknya tinggal di sebuah gua yang terdapat di dalam bukit. Ketika salah seorang pimpinan mereka berkata "Buka pintu!", sebuah batu menggelincir ke samping, lalu mereka semua masuk!" Pilescu dan Ranni belum pernah mendengar cerita Ali Baba. Karena itu mereka mendengarkan dengan penuh perhatian. "Yah, mungkin saja jalan masuknya tertutup, batu yang bisa digeser," kata Ranni. "Tapi, astaga! Mana mungkin kita mengelilingi gunung sebesar itu mencari batu yang bisa digeser!" Seandainya ketemu pun, kurasa kita takkan tahu bagaimana cara menggesernya!" Mereka semua duduk di kaki pohon, makan. Semuanya merasa lapar dan lelah. Di lembah udaranya panas, meskipun banyak pohon. Kicau burung, celoteh monyet, dan dengung serangga terus kedengaran di situ. Sementara itu matahari sudah condong ke barat. Pilescu memutuskan mereka berkemah di tempat itu juga. ia mendongakkan kepala, melihat cabang-cabang pohon raksasa tempat mereka berteduh. Kelihatannya, kalau mereka membentangkan tikar pada sebuah dahannya yang besar, itu bisa dijadikan tempat tidur yang aman. "Aku ngeri kalau anak-anak tidur di bawah malam ini," katanya kepada Ranni. "Sebaiknya kita tidak menyalakan api untuk mengusir binatang buas. Kalau kita menyalakan api, bisa-bisa penduduk Gunung Rahasia tahu lalu kita disergap. Bagaimana menurutmu, Ranni - bisakah pohon itu ditiduri mereka?" Ranni melihat ke atas. "Kurasa bisa," sahutnya. "Tapi, bagaimana kalau mereka terjatuh waktu tidur?" "Itu sih bisa dihindari," kata Pilescu. "Kita ikat saja mereka dengan akar-akar gantung yang banyak terdapat di situ." Ranni dan Pilescu bercakap-cakap dalam bahasa Baronia. Hanya Paul yang mengerti apa yang sedang mereka perbincangkan, ia mendengarkan dengan senang. "Kita tidur di pohon nanti malam!" katanya kepada teman-temannya. Mereka semua kaget. "Kita tak boleh menyalakan api!" "Wah, Asyik benar! Tak kuduga selama seminggu ini begitu banyak pengalaman yang bisa kita peroleh!" seru Mike. Hari masih terang benderang. Tetapi, Pilescu sudah menyuruh anak-anak naik ke pohon. Di bagian tengah, batang pohon itu bercabang. Cabangnya membentang panjang, membentuk semacam dataran berpermukaan kasar. Bagian-bagian berlubang di antara dahan-dahannya diisi Pilescu dengan sumpalan akar gantung, ranting, dan daun-daun raksasa yang diambil dari pohon lain. Lalu Ranni membentangkan separuh tikar yang mereka bawa. Anak-anak disuruh duduk di situ. Dengan segera mereka pun membaringkan diri. Semua berdebar senang membayangkan malam nanti mereka akan tidur di situ. Beberapa ekor monyet dari pohon sebelah ribut berceloteh melihat anak-anak berbaring. Monyet-monyet itu sudah lama memperhatikan kesibukan orang-orang di pohon satunya. "Monyet itu mengira kalian saudara jauhnya yang datang dari negeri seberang," goda Pilescu dengan senyum lebar. "Tak salah dugaan mereka. Nah, sekarang berbaring tenang-tenang ya! Kuselimuti kalian dengan sisa tikar yang ada. Sesudah itu kalian akan kuikat supaya tidak jatuh." "Masa panas-panas begini mau diselimuti, Pilescu?" protes Paul sembil menyibakkan selimutnya. "Besok pagi, kalian akan kaku kedinginan kalau tidak," kata Pilescu. "Baiklah, buka dulu separuh selimutnya. Kalau hari mulai dingin nanti, kalian bisa menariknya ke atas." Pilescu dan Ranni bekerja keras mengikat anak-anak di dahan pohon. Sekarang mereka aman! Kedua lelaki itu meluncur turun ke kaki pohon. Monyet-monyet menyingkir kaget. Sementara itu, dengan agak mengantuk anak-anak mengobrol. Peggy menahankan diri untuk tetap membuka mata. ia kepingin menikmati pengalaman aneh tidur di pohon semalaman. Tetapi matanya sudah berat. Walaupun ia berusaha memusatkan perhatiannya pada bunyi kodok dan burung-burung, sebentar saja ia sudah terlelap seperti yang lain. Sebagaimana biasa, Ranni dan Pilescu bergilir berjaga. Keduanya duduk di kaki pohon. Yang seorang melihat ke arah yang satu, yang lain melihat ke arah yang satu lagi. Ranni yang mendapat giliran pertama. Baru kemudian Pilescu. Pilescu membuka mata lebar-lebar, ia duduk sambil memegangi senjata. Telinganya terbuka lebar, siap mendengar bunyi di sekitarnya yang mungkin ditimbulkan oleh musuh. Terdengar olehnya bunyi kodok dan burung-burung. Di kejauhan terdengar pula derap kaki gajah, aum singa, dan desir angin. Mendekati subuh, ia mendengar sesuatu yang bukan suara burung atau binatang lain. Ada yang merayap di antara semak-semak - pelan dan sangat berhati-hati. Pilescu jadi tegang. Disiapkannya senjata. Mungkinkah yang datang itu orang dari Gunung Rahasia? Suara itu terdengar makin dekat. Pilescu meraih Ranni lalu mengguncangkan tubuh temannya itu pelan-pelan. Ranni langsung terbangun. "Ada bunyi aneh di sana," bisik Pilescu. "Yang kulihat cuma bayangan bergerak. Mungkinkah suku aneh Gunung Rahasia mengirimkan orang untuk memeriksa?" Ranni memicingkan mata, memperhatikan semak-semak yang ditunjukkan Pilescu. Benar. Ia pun melihat ada bayangan bergerak-gerak di situ. "Biar aku menyelinap ke belakangnya," ujar Ranni. "Apa pun itu, akan kupukul dari belakang. Dari sini aku bisa ke sana tanpa ketahuan." Dengan lincahnya Ranni merayap ke balik semak-semak terdekat. Dari situ ia merayap ke semak-semak lainnya, menunggu bayangan tadi lewat. Disergapnya bayang-bayang itu ketika sudah dekat. Mendadak yang disergap memekik keras, mengatakan, "Yakka, longa, yakka, longa!" Ranni membopong dan membawa hasil tangkapannya kepada Pilescu. Keduanya kenal sekali siapa dia, lalu berseru, "Mafumu!" Benar. Itu tadi Mafumu. Malang benar anak itu. Dengan kesakitan ia merayap menembus semak belukar - mencari teman-temannya yang ia tinggalkan sehari sebelumnya. "Mafumu! Ada apa?" tanya Ranni. Mafumu lalu bercerita. "Aku berjalan pulang dengan Paman, ia jahat. Katanya aku akan dilemparkan ke buaya di sungai. Jadi aku melarikan diri, kembali ke Raja Jack. Terinjak olehku sebuah duri raksasa. Kakiku sakit sekali hingga tak bisa berjalan. Akhirnya, aku bisa menyambung perjalanan dengan merayap." Betapa malangnya si Mafumu. Kakinya sakit dan kecapekan. Air mata meleleh dari matanya. Waktu fajar menyingsing, Ranni menggendong anak itu sementara Pilescu dengan hati-hati menarik duri dari kakinya. Setelah durinya berhasil dikeluarkan, Pilescu membersihkan lukanya lalu membalutnya dengan kain kasa. Diberinya Mafumu sebutir tablet. Anak itu disuruh meminum obat itu lalu tidur. Walaupun enak tiduran di tangan Ranni, Mafumu tidak mau lama-lama di situ. ia kepingin cepat-cepat menemui Raja Jack. Segera ia memanjat pohon. Dalam sekejap anak itu sudah meringkuk di samping Jack. Tidur Jack nyenyak sekali. Walau Mafumu hampir menindihnya, sedikit pun tidurnya tak terusik. "Ada gunanya Mafumu bergabung dengan kita," ujar Pilescu kepada Ranni. "Setidak-tidaknya, ia mengerti bahasa suku bangsa di sekitar sini dan tahu tempat mengambil air atau buah-buahan. Dia bisa kita jadikan penunjuk jalan." Pagi harinya, terdengar pekik gembira anak-anak ketika mereka bangun dan melihat Mafumu ada di sana! "Mafumu!" "He, bagaimana kau bisa sampai kemari, Mafumu?" "Mafumu, minggir! Aku tak bisa bergerak!" "Mafumu, kenapa kakimu?" Mafumu duduk di atas kaki Jack sambil tersenyum kepada anak-anak di sekelilingnya dengan wajah gembira. "Aku balik," ujarnya, bangga bisa mengucapkan beberapa kata yang artinya benar. "Aku balik," ulangnya. Tapi cuma dua patah kata itu yang bisa didengar anak-anak. Seterusnya, Mafumu berbicara kacau-balau seperti biasanya. "Halo, selamat tidur, diam, ada apa!" Anak-anak tertawa. Jack menepuk punggung Mafumu - gemas. "Dasar konyol!" katanya. "Konyol-konyol, kau anak baik. Kami senang kau kembali. Aku yakin kau akan banyak menolong kami!" Jack benar. Kita lihat saja nanti! 11. Air Terjun Sambil duduk menikmati sarapan, mereka semua ribut memperbincangkan apa yang sebaiknya dilakukan. Bagaimana caranya mencari jalan masuk ke Gunung Rahasia? "Kurasa, paman Mafumu tahu," kata Ranni. "Mungkin ada semacam jalan rahasia. Tapi, bagaimana caranya mencari jalan itu?" "Ranni! Aku tahu caranya!" seru Mike bersemangat. "Bagaimana kalau kita sembunyi - menunggu ada orang keluar. Kita ikuti orang itu sampai kita tahu dari mana dia masuk." "Ya - tapi, itu kalau kita bisa melihat mereka tanpa mereka melihat kita!" sahut Ranni. "Kurasa, perlu juga kita memeriksa ke sana-sini sedikit. Yang jelas, dari sebelah sini tak mungkin orang bisa masuk. Sisinya yang sebelah sini terlalu terjal. Mungkin, kambing pun takkan bisa mendaki lerengnya yang sebelah sini!" "Kalau begitu, kita selidiki saja sisinya yang lain," kata Mike. "Cepat habiskan makan kalian, Nora, Peggy. Aku sudah tak sabar!" "Tapi ingat! Kita harus hati-hati sekali," Pilescu mengingatkan. "Bukan mustahil orang-orang di Gunung Rahasia tahu bahwa kita ada di sini. Bisa saja mereka bikin rencana untuk menangkap kita." "Oooh," keluh Nora, merasa tak enak mendengarnya. "Pokoknya aku akan selalu jalan dekat-dekat dengan kau dan Ranni!" "Bagus," ujar Pilescu sambil meraih tangan Nora dan menggenggamnya. "Kalau tahu bakal begini, aku takkan mau membawa kalian kemari. Tapi, sekarang sudah terlambat." "Kenapa begitu?" seru Mike jengkel. "Apa salahnya sih, Pilescu? Menurutku segalanya berjalan lancar sekali. Kita sudah tahu di mana orang tua kami berada, dan siapa tahu sebentar lagi kita sudah bisa menyelamatkan beliau? Lagi pula, kita kan punya senjata!" "Ya - tapi pertama-tama kita harus cari dulu kepastian di mana orang tua kalian sebenarnya berada!" kata Pilescu. "Dan harus cari jalan bagaimana bisa melarikan mereka." "Karena itu kita segera mulai saja," tambah Mike. "Ayo! Cepat! Sebentar lagi udara akan terlalu panas! Sekarang saja pakaianku sudah lengket oleh keringat." Mereka membereskan barang-barang bawaan. Sebagian besar lalu diangkat oleh Ranni dan Pilescu. Anak-anak membantu membawa yang ringan-ringan. Dibanding dengan anak-anak lainnya, seperti biasa Mafumu membawa paling banyak. Mereka mulai menjelajah, berusaha berjalan sedekat mungkin dengan kaki gunung yang aneh, tapi memilih tempat yang terlindung hingga tak kelihatan dari tempat lain. Perjalanannya terbukti tidak gampang. Mafumu sangat berjasa. Ia tahu jalan yang paling mudah dilalui, dan berjalan paling depan. Ranni dan Jack menyusul di belakangnya. Pilescu berjalan paling belakang, siap dengan senjata di tangannya. Ia tak mau ambil risiko! Ketika mereka sedang berjalan mengitari kaki gunung, mendadak terdengar bunyi aneh. "Bunyi apa itu?" tanya Nora, kaget. Semuanya berhenti, memasang telinga. Mafumu heran melihat semuanya berhenti, ia tak tahu apa sebabnya. "Bunyi apa, Mafumu? Bunyi apa? Jack memberi isyarat kepada Mafumu agar memasang telinga. Anak berkulit hitam itu tertawa. "Air besar," katanya. "Air besar." Bangga benar ia bisa menjawab pertanyaan Jack dengan bahasa Inggris. Mafumu memang cerdas sekali. Dalam waktu setengah jam ia bisa mengingat lebih dari dua puluh patah kata baru. "Air besar?" tanya Jack keheranan. "Maksudmu - laut?" "Bukan! Aku tahu apa maksudnya," ujar Mike. "Air terjun! Wah, suaranya seperti guruh. Padahal itu bunyi air terjun yang letaknya tak jauh dari sini. Coba kita lihat! Siapa tahu dugaanku benar." Mereka meneruskan perjalanan. Mafumu memimpin di depan. Makin lama suaranya makin keras terdengar. Memang bunyinya seperti guruh, tapi lebih berirama. Gemanya terdengar berulang-ulang di lembah, dan sesekali bunyinya terdengar aneh sekali di telinga anak-anak. Pada saat begitu, mereka menggoyang-goyangkan kepala seakan menghilangkan bunyi aneh yang tiba-tiba masuk ke telinga mereka! Aneh! Mendadak air terjunnya kelihatan! Luar biasa! Airnya terjun di sisi gunung terjal - suaranya gemuruh. Cipratannya banyak hingga membentuk semacam kabut di sekitar situ. Dari tempat mereka berdiri, anak-anak sesekali merasakan percikan air terlontar jauh hingga mengenai wajah mereka. Semuanya berdiri diam mengagumi air terjun raksasa yang memukau itu. "Astaga!" ucap Peggy terkesima. "Pantas bunyinya begitu bergemuruh! Besarnya seperti itu sih. Asalnya dari dalam perut gunung!" "Wah, benar!" sahut Mike, menaruh tangan di atas mata untuk menahan silau. "Kurasa di dalam gunung itu ada sungai bawah tanah. Wah, wah, wah - bagaimana caranya lewat nih?" Sulit sekali. Mereka terpaksa harus memutar jauh sekali. Air terjun raksasa itu membentuk sungai ganas menggelora di kaki gunung. Sungai itu mengalir deras menuruni sisi lembah dan bergabung dengan sungai tersembunyi yang pernah mereka lewati. Mafumu tak mau dikalahkan oleh air terjun! Ia berjalan menyusur tepi sungai menggelora sampai ke tempat yang dangkal. Di situ batu-batu besar berserakan dan bisa dijadikan batu loncatan. "Cepat, cepat," ujar anak itu sambil menunjuk pada batu-batu besar yang terserak di sungai. "Kita ke sana, cepat!" "Wah, di situ kita bisa menyeberang," ucap Ranni. "Kelihatannya batunya kuat diinjak. Akan kugendong Nora, lalu Peggy. Kau bawa si Paul, Pilescu. Yang lain kurasa bisa menyeberang sendiri." "Aku bisa menyeberang sendiri," kata Pangeran Paul meremehkan. "Aku juga anak laki-laki, kan?" "Tapi kau belum sebesar yang lain," Pilescu berkata sambil tersenyum. Diraihnya si pangeran yang sedang marah, lalu diangkat dan digendongnya. Paul marah sekali. Wajahnya merah padam. Tetapi ia tak berani meronta karena takut Pilescu terpeleset. Sekali Pilescu tergelincir. Hampir kecebur sungai. Untung ia segera menguasai kembali keseimbangannya. Pilescu terduduk di sebuah batu besar. Paul yang berada di bahunya hampir terjatuh. Nora dan Peggy selamat sampai di seberang. Batu-batu di sungai itu memang seperti sengaja diatur untuk menyeberang walaupun ada beberapa yang jaraknya cukup jauh. Untunglah di tempat yang demikian airnya dangkal - cuma sampai ke pinggang. Dengan demikian orang bisa turun ke air dan menyeberang tanpa terlalu sukar. Mike, Jack, dan Mafumu menyeberang dengan gampang. Mafumu lebih-lebih lagi. Ia melompat dari batu ke batu seperti seekor kambing. Kini mereka berada di seberang air terjun. Bunyinya masih kedengaran bergemuruh. "Seperti busa sabun," komenter Nora, melihat air yang berputar-putar di bawah air terjun lalu mengalir ke sungai. "Jadi kepingin cuci tangan." Matahari sementara itu telah meninggi. Gdara jadi panas sekali. Bahkan Mafumu yang sudah terbiasa dengan panas di situ pun merasa kepanasan dan ingin beristirahat Kakinya mulai terasa sakit lagi. Mereka semua lalu berteduh dan duduk-duduk di bawah naungan sebatang pohon besar. Di situ sesekali terasa angin berhembus sejuk, disertai percikan air terjun yang diterbangkannya. "Baiknya kita sekalian makan," usul Ranni walaupun ia tampak malas menyiapkan makanan. "Astaga! Dalam udara panas begini makan telur semut pun rasanya aku tak sanggup!" komentar Jack. "Siapa yang mau kasih telur semut!" Peggy meledek. "Aku sih cuma kepingin minum! Minum sesuatu yang manis dan segar." Mafumu menghilang sejenak, ia datang membawa buah-buahan berbentuk aneh - seperti kacang, tetapi juga mirip delima. Dibuatnya lubang pada kulit bagian atasnya, lalu, diajarinya Peggy minum air dari dalamnya. "Bisa diminum kan airnya?" Peggy bertanya ragu. Ranni mengangguk. "Mafumu tahu bedanya buah yang boleh dimakan dan tidak," kata Ranni. "Coba saja cicipi bagaimana rasanya. Kalau enak, aku juga mau!" Peggy mengambil buah aneh berwarna hijau itu. Dalamnya berisi semacam cairan kental. Mula-mula rasanya pahit, seperti jeruk limau. Tapi, makin diisap, makin terasa nikmat dan sejuknya. "Wah!" ujar Peggy. "Seperti baru minum es krim! Bedanya ini tidak manis! Cobalah!" Semua lalu mengisap-isap buah aneh itu. Mula-mula memang mereka kurang suka pahitnya. Tetapi, akhirnya semua merasa senang. "Mafumu, kau benar-benar pandai," ujar Jack setengah mengantuk. Seperti biasanya, Mafumu meringkuk dekat kakinya. Mafumu nyengir girang. Sepatah kata pujian dari Jack sangatlah menggembirakan hatinya. Tak lama kemudian semua tertidur. Kecuali, tentu saja Ranni. ia merasa wajib berjaga, walaupun merasa ngantuk bukan main. Udara sangat panas sampai-sampai segala sesuatu di sekelilingnya nampak bergerak mengeluarkan asap. Seandainya tak ada sapuan angin yang sesekali datang menerbangkan percikan air dari air terjun, mungkin takkan tertahankan panasnya udara. Monyet-monyet pun tak ada yang ribut. Ketika mulai terdengar monyet-monyet ribut berceloteh lagi, Ranni membangunkan semuanya. Bagian terpanas hari itu telah lewat. Kalau mereka berniat hendak menjelajah lagi, harus cepat-cepat berangkat. Tiba-tiba rombongan itu terkejut bukan buatan. Mereka sedang melewati tikungan. Mendadak terdengar suara orang! Langsung semuanya berhenti. Bernapas pun mereka tak berani. Suara orang! Siapa orangnya! Penduduk pribumikah, atau - jangan-jangan suku yang tinggal di Gunung Rahasia? Suaranya dalam dan tajam. Ranni memberi isyarat kepada Mafumu supaya maju. Anak berkulit hitam itu bisa bergerak tanpa kedengaran - seperti gerakan bayang-bayang. Mafumu tengkurap, lalu bergerak maju dengan perutnya - seperti ular. Asyik juga memperhatikan gerakan Mafumu. Anak-anak heran ia bisa bergerak begitu cepat dengan otot perutnya. Yang lain mulai bersembunyi di balik semak-semak. Semuanya diam. Sementara itu Mafumu terus maju meliak-liuk menembus semak-semak tebal. Banyak duri di situ. Tetapi nampaknya Mafumu sama sekali tak merasakan goresannya. Dengan hati-hati ia menyibakkan semak-semak di depannya, lalu mengintip. Mafumu berpaling kepada Ranni. Wajahnya kelihatan gembira sekali. Ia memberi isyarat dengan tangan. Ranni meniru Mafumu, bergerak maju sambil tengkurap. Anak-anak geli melihat Ranni. Ternyata Ranni tak kalah lincah dengan Mafumu. Sebentar saja ia sudah sampai ke dekat Mafumu, ikut mengintip lewat celah semak. Keduanya mengintip di situ beberapa saat lamanya. Yang lain menunggu tak sabar. Suara keras dan tajam orang-orang asing itu kedengaran sampai ke tempat persembunyian mereka. Mereka jadi ingin ikut melihat dengan Mafumu dan Ranni. Tiba-tiba saja terdengar bunyi benda berat digeser menggelinding - dan suara orang-orang tadi tak kedengaran lagi. Bunyi aneh tadi kedengaran sekali lagi. Bunyi geserannya nyaring sekali, sampai anak-anak merasa ngilu di gigi mereka. Bunyi geseran tadi disusul oleh bunyi berdebam dahsyat yang berhenti secara tiba-tiba. Kini yang kedengaran hanyalah kicau burung dan dengung serangga. Sesekali diselingi oleh keributan kawanan monyet yang sedang berceloteh. Jauh di belakang mereka, sayup-sayup terdengar bunyi air terjun. Ranni dan Mafumu merayap kembali. Wajah mereka berseri-seri. Sesampainya di dekat anak-anak yang sedang menunggu, keduanya langsung mengajak ke tempat yang agak jauh. Di balik keteduhan sebuah batu besar, Ranni menceritakan semuanya yang telah ia lihat bersama Mafumu beberapa saat sebelumnya. 12. Jalan Masuk ke Perut Gunung "Cepat, Ranni! Ayo, cepat ceritakan semuanya!" ucap Jack "Kami melihat penduduk Gunung Rahasia!" kata Ranni. "Mereka ternyata benar-benar berpenampilan aneh. Persis seperti yang diceritakan paman Mafumu. Rambut mereka merah seperti api. Begitu pula jenggot mereka. Kulitnya yang paling aneh - kuning! Mata mereka tak terlihat olehku. Mereka berpakaian jubah berwarna-warni dan kepalanya ditutup dengan semacam sorban, tetapi rambut mereka masih kelihatan." "WAH!" kata Mike bersemangat, matanya bersinar-sinar. "Lalu bagaimana? Teruskan, Ranni!" "Ada kejadian aneh," lanjut Ranni. "Rasanya aku tak percaya bahwa itu benar-benar terjadi. Begini kejadiannya. Ketika kami sedang asyik memperhatikan mereka dari balik semak-semak tadi, orang-orang itu berada dekat sekali dengan sejenis batu yang ganjil bentuknya. Mereka ribut mengobrol dengan suara keras dan kasar." "Kenapa ganjil, Ranni? Bagaimana bentuknya?" tanya Pilescu. "Batunya besar sekali," kata Ranni. "Yang membuat batu itu ganjil, bagian kakinya lebih sempit dibanding dengan bagian puncaknya hingga seperti hendak terjungkir. Nah, tiba-tiba salah seorang dari mereka naik ke atasnya lalu mendorong batu itu kuat-kuat." "Mana mungkin dia bisa menggeser batu sebesar itu?" seru Mike. "Aku pun berpikir demikian," sambung Ranni. "Tapi, rupanya batu itu tergolong jenis batu yang mempunyai keseimbangan mantap dan bisa diputar dengan mudah walaupun ukurannya sangat besar sekali pun. Ada beberapa batu sejenis itu yang dikenal di dunia ini. Nah, rupanya ini sebuah lagi." "Apa yang terjadi ketika batunya berputar?" tanya Pilescu. "Bukan cuma berputar, tetapi juga menggelincir ke samping," tambah Ranni. "Persis seperti batu yang diceritakan dalam kisah Ali Baba oleh anak-anak kemarin! Di belakang batu itu terdapat pintu menuju ke perut gunung. Kenop pintunya terbuat dari logam mengkilap - berkilau-kilauan tertimpa sinar matahari." Semua memandang Ranni tanpa bisa berkata-kata. Mereka heran dan senang bukan buatan. Jadi, sekarang mereka tahu jalan masuknya! Ya, tahu secara kebetulan! "Terus?" bisik Peggy akhirnya. "Selebar apa pintunya terbuka, tak terlihat olehku," kata Ranni. "Rupanya menggelincir ke samping, tanpa menimbulkan suara. Tapi, aku tak tahu apakah pintu itu dibuka dari luar atau dari dalam. Dalam sekejap batu besar yang di luar sudah menggelinding lagi ke tempatnya semula dengan suara geseran yang dahsyat. Tentunya itu terdengar oleh kalian semua." "Orang-orangnya masuk semua ke dalam gunung?" tanya Mike. "Begitulah," jawab Ranni. "Tak seorang pun kulihat tertinggal di luar." Sejenak semuanya duduk tanpa membuka mulut. Masing-masing sibuk memikirkan jalan masuk ke Gunung Rahasia yang baru saja mereka temukan. Jadi, itulah rupanya yang dimaksud oleh paman Mafumu. Ia bilang, orang harus jalan menembus batu kalau hendak masuk ke dalamnya! "Nah, lalu - apa yang hendak kita lakukan sekarang?" tanya Jack. "Kita sudah tahu dari mana masuknya. Tapi, kita belum tahu bagaimana cara membuka pintunya! Bagaimana, Ranni - bisakah kita mencoba masuk malam ini?" "Sebaiknya begitu," kata Ranni. "Aku akan mencoba dulu. Ingin tahu bagaimana cara kerjanya. Kalian cari tempat bersembunyi dulu. Aku akan membawa senjata." Anak-anak tak sabar menunggu datangnya malam. Mereka sudah menemukan tempat persembunyian, di atas sebuah pohon besar tak jauh dari jalan masuk tadi. Mafumu yang mula-mula mendapat ide. Ia lalu membantu Jack naik. Anak-anak lainnya bersembunyi di belakang semak-semak tebal. Ketika bulan sudah memancarkan sinarnya dan bintang bertebaran di langit, Ranni berangkat - merayap ke batu aneh yang ia lihat siang harinya. Bayangan batu itu tampak lebih besar pada malam hari. Yang lain memperhatikan setiap gerakan Ranni dengan was-was. Dengan perlahan-lahan Ranni melangkah ke dekat batu besar itu. Ia yakin tempat mana yang harus ditujunya untuk menggerakkan batu itu. Tetapi, pada malam hari tempat yang dicarinya itu agak sukar dicari. Ranni mendorong-dorong. Lalu ia menempelkan tubuhnya ke batu, dan sekali mendorongnya dengan sekuat tenaga. Tetapi, batu itu diam saja. Ranni berhenti mendorong. Diusapnya keringat yang mengucur di dahi. ia sibuk mengingat-ingat tempat mana yang didorong oleh orang gunung siang tadi. Ranni mencoba dan mencoba lagi. Tepat ketika ia hampir putus asa, terdorong olehnya tempat yang seharusnya didorong, tanpa sengaja! Dengan bunyi gemuruh, batu itu berputar lalu menggelincir mundur. Bunyinya dahsyat. Ranni cepat melompat mundur, takut tiba-tiba disergap oleh penduduk gunung dari dalamnya. Pintu di baliknya berkilau-kilau tertimpa sinar bulan. Pintu itu tertutup. Berdiri tegak dan megah, ia bagai menjaga jalan masuk ke Gunung Rahasia. Sunyi senyap suasana di situ. Tak ada orang keluar. Tak seorang pun muncul dan berteriak melihat siapa yang barusan memutar batu raksasa penutup pintu tadi. Yang kedengaran hanyalah bunyi binatang malam dan desah air terjun di kejauhan. Dengan harap-harap cemas anak-anak menunggu di tempat persembunyiannya. Tetapi tak ada lagi yang terjadi. Batu yang telah menggelinding mundur dari tempatnya semula tetap berada di situ. Sementara itu pintu besar di belakangnya berkilau-kilauan. "Ranni! Mungkin mereka tak mendengar bunyinya!" bisik Pilescu. "Cobalah membuka pintunya." Ranni merayap maju lagi, sengaja lewat di bawah bayangan batu. Sesekali sinar bulan menimpa bagian logam senapannya. Ranni tak mau ambil risiko. Ke mana pun, senapan tak pernah lepas dari tangannya. Anak-anak melihat setiap gerakan Ranni dari tempat persembunyian mereka. Ranni langsung menuju ke pintu. Diraba-rabanya pintu itu dengan tangannya, ia lalu mendorong pintu itu pelan-pelan. Dicobanya mendorong ke samping. Kemudian, dicobanya memutar kenopnya. Setiap kemungkinan yang bisa membuat pintu itu terbuka dicoba Ranni. Tetapi, pintu itu tetap saja tertutup. "Kita susul Ranni, yuk," ajak Mike kepada Pilescu. Mike sudah tidak sabar. Pilescu pun ingin sekali mencoba membuka pintu itu. Karena itu, bersama Mike, Paul, dan kedua anak gadis ia merayap maju lewat bayangan batu. Jack ingin ikut juga. Ia turun dari tempat persembunyiannya di atas pohon dengan hati-hati. Kakinya terjerat oleh akar gantung yang banyak terdapat di situ. Mafumu berusaha membantunya. Tetapi, makin Mafumu sibuk melepaskan ikatan yang membelit kaki Jack, makin erat ikatannya terasa oleh Jack. Pada saat ikatan-ikatan yang mengganggu tadi berhasil dilepaskan, mendadak terdengar bunyi geseran batu dan bunyi berdebam yang keras sekali. Batu yang berhasil digerakkan oleh Ranni beberapa saat sebelumnya ternyata bergerak kembali ke tempatnya di muka pintu. Semua terkurung di balik batu itu, kecuali Mafumu dan Jack! Nora, Peggy, Mike, Ranni, dan Pilescu berada di celah yang terdapat di antara batu dan pintu. Ranni berusaha keras menghentikan gerakan batu itu. Tetapi sekali bergerak, batu itu langsung bergerak ke tempatnya semula. Tak ada yang sempat meloloskan diri. Jack dan Mafumu memandang batu itu dengan bingung. Jack melompat turun dari pohon, hampir kakinya terkilir. Sesampainya di bawah ia lari ke kaki Gunung Rahasia. "Kalian tak apa-apa, kan? Kalian selamat kan?" teriaknya. Tetapi tidak terdengar jawaban. Jack lalu memukul-mukul batunya, mencoba mendorong seperti yang dilakukan Ranni. Mafumu membantunya. Tetapi keduanya sama-sama tak berhasil menggerakkan batu tadi. Rahasia menggerakkannya belum ketemu. Batu itu tetap saja tegak di tempatnya walaupun Jack dan Mafumu sibuk berteriak sambil memukul-mukul. Mendadak pintu besar yang tersembunyi di balik batu terbuka lebar! Dari luar Jack dan Mafumu mendengar bunyinya. Kedua anak itu diam, mendengarkan. Apa yang sedang terjadi? Ya, apa? Ketika pintunya membuka, rombongan yang terperangkap di balik batu cuma bisa melongo - memandang ke dalam ruang semacam gua di balik pintu tadi. Ruangan itu diterangi oleh lampu-lampu terang. Dari situ terdapat anak tangga turun. Dari arah tangga itu muncul beberapa orang penduduk Gunung Rahasia. Mereka mengenakan jubah berwarna-warni. Masing-masing memegang sebuah tongkat kuning keemasan yang berkilau-kilau dari ujung ke ujungnya. Ketua sukunya berbadan tinggi dengan rambut dan jenggot merah menyala. Matanya berkilat-kilat, ia berbicara dengan Ranni. Bahasa yang ia gunakan mirip dengan bahasa Mafumu. Ranni mengerti sedikit-sedikit. "Dia menyuruh kita mengikutinya," kata Ranni kepada Pilescu. "Kaubawa senjata, Pilescu?" "Bawa," sahut Pilescu. "Tapi, tak ada gunanya. Lihat saja! Jumlah mereka begitu banyak. Lupakan saja senjata kita dulu! Kita dalam posisi tak enak. Cuma Jack dan Mafumu yang aman!" Perjalanannya aneh, masuk ke tengah perut gunung. Lampu-lampu besar berukir menerangi sepanjang jalan yang terdiri dari banyak tangga, tembok tinggi, dan atap batu jauh di atas. "Banyak rongga di gunung ini! Mereka menggunakannya sebagai bangsal dan ruangan," ujar Ranni setengah berbisik kepada Pilescu. "Hebat, ya? Kaulihat lukisan di dinding tinggi sebelah sana? Aneh bentuknya, tapi indah." Anak-anak terpesona melihat lukisan-lukisan besar pada dinding batu. Warnanya cerah bermacam-macam. Beberapa buah lampu sengaja dipasang di tempat tertentu hingga gambar manusia dan binatangnya tampak benar-benar hidup. Ternyata Gunung Rahasia merupakan tempat yang mempesona! Akhirnya perjalanan jauh menembus perut gunung berakhir. Mereka sampai ke sebuah ruangan aneh. Langit-langitnya tinggi sekali hingga bentuknya tidak terlihat jelas dengan lampu yang ada. Batu-batuan berkilauan menghiasi dindingnya hingga tampak seperti bintang cemerlang yang bertebaran di langit. Di salah satu sisinya terdapat lantai yang ditinggikan menyerupai panggung. Di atasnya terhampar berbagai permadani indah dengan warna-warni cemerlang. Kecapekan, anak-anak duduk di atasnya. Ada beberapa guci tempat air berisi air dingin di meja. Mejanya terbuat dari batu. Semua minum dengan lahap. Di samping guci terdapat piring ceper. Kue-kue tipis disajikan di situ. Kering dan manis rasanya - enak dimakan. Semuanya makan sampai kenyang. Sambil makan, mereka bertanya-tanya apa selanjutnya yang akan terjadi. Pintu ruangan tempat mereka dijamu terbuat dari kayu kokoh, dan diselot dari luar. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain menunggu. Orang-orang berjubah penduduk Gunung Rahasia telah meninggalkan mereka di ruangan aneh itu. Ruangan yang terdapat di tengah-tengah perut gunung. "Baiknya kita beristirahat," usul Ranni. ia lalu menyelimuti anak-anak dengan permadani yang tidak diduduki. "Bagaimana nasib Jack, ya? Untung dia tidak ikut tertangkap. Tetapi, kadang-kadang aku ingin dia berada di sini bersama kita." "Mudah-mudahan Jack dan Mafumu menemukan cara untuk menyelamatkan kita," ujar Peggy penuh harap. Ranni tertawa pendek. "Rasanya sia-sia mengharap begitu, Peggy! Kalau ia coba-coba masuk - paling-paling ia juga tertangkap seperti kita!" "Mungkinkah kita akan ketemu Ayah dan Ibu?" tiba-tiba Nora bertanya. "Pasti beliau ada di perut gunung ini juga." "Mungkin saja," Pilescu berkata setelah berpikir beberapa saat "Ranni, biarkan aku yang berjaga sampai tengah malam. Tidurlah kau bersama anak-anak. Dalam sekejap anak-anak sudah tidur dengan pulas di atas permadani lembut. Mula-mula Ranni tak bisa tidur. Tapi, lama-kelamaan ia pun tertidur. Posisinya setengah duduk, ia kuatir Pilescu membutuhkan bantuannya dengan segera. Malam itu lewat tanpa seorang pun masuk ke ruangan aneh tempat mereka beristirahat. Lampunya masih terus menyala. Cahayanya lembut menyinari ruangan berlangit-langit tinggi itu. Lampu itu masih menyala sampai hari jadi siang lagi. Tentu saja! Di dalam perut gunung itu tak ada cahaya lain. Sinar matahari tak dapat masuk ke situ! 13. Penemuan Mafumu Jack ketakutan dan benar-benar putus asa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Mafumu mendampingi pahlawannya dengan setia. Tak lepas-lepasnya anak berkulit hitam itu memandang Jack dengan matanya yang bulat hitam. Keduanya lalu memukul-mukul lagi batu besar di depan mereka. Terdengar pintu di baliknya tertutup kembali, lalu sepi. "Yuk," kata Mafumu akhirnya. Digandengnya Jack, ia lalu menuntun Jack ke tempat bekal dan barang bawaan mereka tinggalkan. Di situ keduanya duduk. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" ucap Jack sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. "Kawan-kawan kita tertangkap semua, dan kita tak bisa menolong sama sekali." Mafumu tidak mengerti. Sambil duduk memandang Jack, anak itu menggumamkan sesuatu dalam bahasanya sendiri, ia lalu sibuk menjajarkan bungkusan-bungkusan yang tertinggal hingga membentuk semacam alas tidur. Akhirnya, didorongnya Jack agar berbaring di atasnya. "Kita tidur. Nanti kucari jalan," ucap Mafumu sambil menyeringai menunjukkan sederetan gigi putih. Jack menurut ia berbaring - sadar bahwa tak ada yang bisa ia lakukan saat itu. Mereka harus menunggu sampai hari pagi. Sebentar saja Jack sudah tertidur. Setelah yakin Jack sudah tidur, Mafumu cepat-cepat merayap pergi, ia berdiri tegak disinari rembulan, memandang gunung raksasa di depannya. Bagimana caranya masuk ke dalam gunung itu? Usia Mafumu belum genap dua belas. Tetapi, ia dikenal paling cerdas di kalangan sukunya. Anaknya bandel, tidak suka menurut, dan banyak kemauannya - tetapi, otaknya cemerlang. Sambil menunggu Jack tidur tadi, ia berpikir keras - mencari cara masuk ke gunung tanpa harus melewati batu penghalang tadi. Mendadak terbayang olehnya air terjun besar. Air terjun itu keluar dari sisi gunung - airnya deras berkilauan seperti perak. Ia berniat hendak memastikan apakah air itu berasal dari dalam Gunung Rahasia! Di bawah cahaya bulan, Mafumu berjalan menuju air terjun. Kadang-kadang ia berlari. Akhirnya ia sampai ke dekat air terjun. Indah benar pemandangannya di bawah sinar bulan. Airnya memercik seperti perak asli. Pada malam hari, kerasnya gemuruh air terjun terdengar dua kali lebih dahsyat daripada siangnya. Mafumu jadi agak takut. Dengan perasaan ngeri, ia memandang ke sekelilingnya, ia tak takut binatang buas atau ular. Yang ditakuti anak itu adalah yang dinamakan sukunya roh hutan, bukit, dan padang. Di samping itu, ia juga takut kalau-kalau ada orang dari dalam Gunung Rahasia. Di daerahnya, manusia berkulit kuning dengan rambut merah begitu merupakan kelainan. Mafumu naik ke lereng gunung. Sedapat mungkin ia menyusur pinggir air terjun. Sesekali tubuhnya tersiram air. Tetapi anak itu tak peduli, ia malah senang. Airnya sejuk! Walaupun malam, udara terasa panas. Mafumu mandi keringat. Mendaki lereng gunung yang curam itu bukan perjalanan gampang. Akhirnya, sampailah ia ke tempat air terjun itu berasal. Mafumu berusaha naik lagi hingga bisa melihat tempat air itu keluar. Dugaannya benar. Air itu mengucur dari dinding gunung - keluar dari perut gunung! Pasti ada sungai bawah tanah yang lewat dalam gunung itu. Puncaknya menjulang tinggi di atas Mafumu hingga menyentuh awan. Tepat di bawahnya, air terjun jatuh dari dinding gunung. Percikan airnya membasahi punggung anak itu. Mafumu lalu turun lagi. Kupingnya pekak oleh gemuruhnya air terjun, ia sampai ke tempat air tersembur ke luar dari perut gunung - membentuk semacam lengkungan. Dengan susah payah ia merayap ke sana. Di situ ada semacam teras batu - mendatar terus sampai ke belakang. Mafumu berdiri di situ. Tubuhnya menggigil ketakutan. Bunyi air dahsyat sekali di situ. ia benar-benar dilingkupi air yang tak berbeda dengan guruh yang sedang gusar. Mafumu berjalan di teras batu yang persis terdapat di bawah lengkung air yang tersembur. Teras itu melebar terus ke belakang. Tersembunyi di balik beribu percikan yang mirip embun, Mafumu melihat jalan lain untuk masuk ke Gunung Rahasia! Kalau air bisa keluar lewat lubang itu, tentu ia dan Jack juga bisa masuk ke dalamnya. Bulan menghilang dan kegelapan pun meliputi bumi. Mafumu takut. Sejenis kalung aneh dari gigi buaya tergantung di lehernya. Mafumu memega-ngi kalungnya itu kuat-kuat agar terhindar dari segala yang ia takuti. Mafumu meluncur turun tergesa-gesa. Tubuhnya lecet-lecet tergores semak, sementara kakinya luka-luka terantuk batu. Tetapi, tak sedikit pun ia merasa sakit. Ia ingin segera kembali ke dekat Jack. Di situ ia takkan ketakutan lagi. Hari sudah hampir subuh ketika ia sampai ke tempat Jack. Jack sudah bangun, ia heran karena Mafumu tak ada. Wajahnya pucat penuh rasa kuatir. Masih belum terpikir olehnya apa yang harus ia perbuat Hampir ia memutuskan hendak mencoba lagi menggerakkan batu besar penutup jalan masuk kemarin. Ia ingin bersama saudara-saudaranya kembali. Tetapi Mafumu punya rencana lain. Dengan bahasa Inggris yang aneh dan lucu, si anak pribumi berusaha menjelaskan maksudnya kepada Jack. "Air besar, air besar," ucapnya, lalu menirukan bunyi gemuruh air terjun. "Raja Jack ikut Mafumu lihat air besar. Masuk air besar. Ayo!" Jack mengira Mafumu gila. Tetapi Mafumu nampak sangat bersungguh-sungguh. Jack lalu mengangguk dan mengatakan ia mau ikut Barang-barang bawaan dan bekal mereka tinggalkan di situ setelah lebih dulu mereka timbuni dengan semak-semak dan ditindih batu-batuan. Kedua anak itu lalu berjalan ke air terjun. Bunyinya keras sekali, hingga keduanya harus saling berteriak kalau berbicara. Mafumu ingat benar jalan yang ia lalui semalam. Anak kulit hitam itu tak pernah lupa jalan yang pernah ia lalui. Bahkan setiap semak dan batu yang terlihat olehnya di sepanjang jalan pun jelas teringat di benaknya. Karenanya, ia bisa membantu Jack dengan mudah naik ke teras batu dekat tempat air tersembur ke luar. Tubuh Jack basah kuyup dan telinganya pekak ketika sampai di tempat keluarnya air dari dinding gunung. Diguncang-guncangnya kepalanya supaya bunyi yang terasa menyumbat telinganya pergi. Tapi, tentu saja tak bisa. Mafumu bersemangat. Dibawanya Jack masuk ke bawah lengkungan air. Ditunjukkannya tempat air itu keluar - persis di atas kepala mereka. Aneh rasanya berdiri di kolong air terjun raksasa yang airnya begitu deras dan bertenaga. Seandainya air itu lewat di tempat mereka berdiri, tentu sudah hanyut keduanya di bawa air. "Hi, aneh rasanya berdiri di kolong air terjun begini," kata Jack. "Mengapa kaubawa aku kemari, Mafumu? Mana bisa kita masuk lewat lubang yang dilalui air begitu deras? Kau sedang gila, barangkali?" Mafumu tidak gila. ia mengajak Jack ke sisi lain teras batu, lalu menunjuk ke celah sempit berdinding batu yang menuju ke dalam gunung. Celah itu juga dialiri air. Tetapi airnya hanya setinggi beberapa inci. Di sampingnya terdapat sungai. Palungnya dalam, terbentuk oleh erosi bertahun-tahun. Emper di sisi-sisinya hanya sedikit tergenang. Itupun dikarenakan percikan air terjun yang terus-menerus. "Kita masuk." Mafumu tersenyum lebar. "Kita masuk, ya?" "Astaga, Mafumu - kau hebat!" kata Jack bersemangat. "Benar, kita bisa masuk ke situ! Tapi, kita tak tahu sejauh mana jalannya bisa kita lewati dan ke mana arahnya!" "Kita pergi," kata Mafumu. "Cepat, cepat!" Keduanya lalu menyusur emper batu di sisi sungai yang mengalir lewat celah. Seandainya sampai terpeleset ke pusaran air yang menyembur ke luar, tamatlah riwayat mereka. Karena itu mereka berpegang kuat-kuat pada setiap tonjolan batu yang terdapat di situ. Empernya basah dan licin. Udara di situ penuh dengan percikan air. Aneh rasanya menyusur sungai deras yang menyembur jadi air terjun ganas beberapa meter di belakang mereka! Emper batu yang mereka lewati memang menuju ke dalam gunung. Jaraknya dari permukaan sungai deras yang dalam itu rata-rata setengah sampai satu meter. Jack dan Mafumu berjalan menyusur emper itu. Sebentar saja air terjunnya sudah mereka tinggalkan jauh di belakang. Di dalam gunung suasananya sunyi sepi. Di sebelah kiri mereka, agak ke bawah, mengalir sungai bawah tanah. Walaupun aliran airnya deras, bunyi yang ditimbulkan tidak ribut. "Gelap, Mafumu," ujar Jack, menggigil. Bukan cuma gelap. Dingin juga. Sungai tersembunyi itu tak pernah disinari matahari! Tetapi, tak lama kemudian ada sinar aneh dari langit-langit dan dinding terowongan sungai. Warna cahayanya hijau dan biru. Mafumu takut. Tapi Jack tahu bahwa itu cuma menandakan bahwa dinding terowongan itu mengandung zat fosfor. Lega juga Jack melihat cahaya lemah yang ditimbulkan zat itu. Paling tidak, ia bisa melihat jalan yang akan dilalui. "Nah, aku takkan terpeleset masuk ke sungai dan terbawa ke air terjun kalau begini," pikirnya. "Wah, pandai juga Mafumu - memikirkan bahwa pasti ada jalan lain menuju ke perut gunung ini! Diberi waktu seratus tahun pun takkan terpikir olehku! Alangkah senangnya kalau bisa menyelamatkan yang lain lewat jalan ini!" Setelah menyusur emper sungai beberapa lama, Jack dan Mafumu mendapatkan bahwa terowongan yang dilewati sungai itu di beberapa tempat melebar, membentuk semacam rongga dan gua-gua. Jack terpesona menyaksikan dinding-dindingnya yang berhiaskan batu berkilauan. Tetapi Mafumu takut "Dinding punya mata banyak - lihat Mafumu," bisik Mafumu kepada Jack. Jack tertawa - tapi langsung berhenti. Bunyi tawanya bergema berputar-putar di dalam gua seperti tawa beratus-ratus raksasa yang mengepung mereka. Aneh dan menakutkan bunyinya. Kedua anak itu meneruskan perjalanan. Keduanya diam agak takut. Mendadak mereka sampai ke jalan buntu. "Mafumu! Sungainya lewat terowongan itu. Lihatlah, langit-langit atapnya hampir menyentuh permukaan air!" ucap Jack kecewa, "Kita tak bisa terus." Mafumu turun ke sungai. Di situ alirannya tidak deras. Walaupun begitu dalamnya cukupan hingga anak itu terpaksa berenang, ia berenang masuk ke kolong terowongan - hendak melihat sejauh mana ia bisa berenang dengan kepala tersembul ke atas permukaan air. Sementara berenang, rambutnya yang tebal keriting menyentuh langit-langit terowongan di atasnya. Karenanya, terpaksa ia berenang di bawah permukaan air sambil berharap langit-langitnya akan naik sedikit hingga ia bisa menyembulkan kepala dan bernapas! Mafumu pandai berenang. Ia kuat menahan napas untuk waktu yang lama. Tetapi kerongkongannya terasa sakit sekali pada saat ia bisa menyembulkan kepala menarik napas. Itu pun cuma sebentar sekali. Atap terowongan itu merendah lagi. Panjangkah jalan yang seperti ini? Berapa lama lagi ia harus menahan napas? Ia harus mencoba! Ya, itu satu-satunya yang bisa ia lakukan. Kalau tidak begitu, tak ada pilihan lain kecuali kembali. Mafumu menarik napas dalam-dalam, lalu menyelam kembali dan berenang secepat-cepatnya di bawah permukaan air. Sesekali ia mencoba menyentuh atap dengan tangannya untuk melihat kalau-kalau ia bisa menyembulkan kepala untuk menarik napas. Usahanya tak sia-sia. Atap terowongan naik, dan Mafumu mendapatkan dirinya berada di gua besar! Buru-buru Mafumu naik dari air. Napasnya terengah-engah, ia bersyukur tidak terlalu cepat menyerah! Beberapa menit lamanya Mafumu duduk - menghirup napas sebanyak-banyaknya. Sekarang ia harus kembali - mengajak Jack kemari! ia tak yakin anak kulit putih itu bisa tahan berenang lama di bawah permukaan air! Mafumu pun kembali. Kali ini ia tahu persis di mana ia bisa menyembulkan kepala untuk bernapas. Sementara itu Jack menanti dengan cemas, ia tak tahu apa yang terjadi dengan Mafumu. Perginya lama sekali. Mafumu berusaha menjelaskan kepada Jack apa yang harus mereka lakukan. Jack mengerti. "Kau duluan, Mafumu," katanya sambil menghirup napas dalam-dalam. "Aku bisa berenang, tapi mungkin tak sepandai kau!" Keduanya masuk ke dalam air, lalu mulai berenang. Sebagian besar perjalanan mereka lalui lewat bawah permukaan air. Tetapi di tempat-tempat tertentu mereka menyembulkan kepala, menarik napas. Sekali lagi mereka menyelam. Tubuh mereka menggigil. Airnya dingin seperti air es. Mereka berenang secepat-cepatnya melalui terowongan yang atapnya rendah menyentuh permukaan air. Dan beberapa saat kemudian dengan lega keduanya menyembulkan kepala di gua besar yang ditemui Mafumu. Mereka merayap naik dari air. Napas mereka terengah-engah. Keduanya duduk, beristirahat sambil menarik napas dalam-dalam. Jantung mereka berdetak keras sekali. Baru setelah agak lama duduk beristirahat keduanya bisa meneruskan perjalanan. "Nah, mesti ke mana sekarang?" pikir Jack, memandang dinding gua di sekelilingnya yang berkilau-kilauan. "Kelihatannya ada tiga atau empat terowongan yang menuju ke luar dari sini. Sungainya sih mengalir di tengah. Yang mana yang akan kita lewati, Mafumu?" 14. Di Dalam Gunung Mafumu berlari-lari memeriksa terowongannya satu per satu. Akhirnya ia berhenti, lalu memberi isyarat kepada Jack. Jack mendekati anak itu. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang terlihat oleh Mafumu sebab anak itu nampaknya kegirangan. Pantas Mafumu senang! Ada tangga menuju ke atas di salah satu terowongan yang ia intip! Tangga itu terbuat dari batu yang ditatah. Permukaannya licin dan mengkilap bekas digosok. Ada sebuah lampu besar tergantung di situ. Buatannya halus dan sangat bagus. Lampu itu mengeluarkan cahaya hijau aneh. Mafumu dan Jack berdiri di anak tangga terbawah sambil memandang ke atas. Ke mana tangga itu menuju? "Kita naik?" bisik Jack. Walaupun berbisik, suaranya terpantul dan bergema berputar-putar. Mafumu mengangguk. Tanpa berkata-kata keduanya lalu naik. Tangganya lebar, mudah didaki. Setelah beberapa lama keduanya mendaki, mendadak tangganya berbelok ke kanan, dan selanjutnya melingkar-lingkar ke atas. "Mungkin tangga ini menuju ke puncak gunung!" ujar Jack, mulai terengah-engah. "Kita duduk dulu, yuk- istirahat sebentar. Kakiku penat mendaki terus." Tak terlihat oleh mereka bahwa di tikungan tempat mereka beristirahat itu ada pintu kayu terbuka. Mereka duduk di situ diam-diam. Mendadak terdengar suara kasar orang-orang Gunung Rahasia! Cepat kedua anak itu menoleh. Baru ketika itu mereka melihat ada pintu di tikungan tangga. Pintu itu baru saja dibuka! Jack dan Mafumu tak tahu apakah orang-orang itu akan naik atau turun. Mereka tak punya waktu untuk berpikir. Tanpa sadar, keduanya langsung turun beberapa langkah dan meringkuk di salah satu tikungan tangga yang ada di situ. Jantung mereka berdegup keras. Kaki mereka gemetaran. "Kalau mereka turun, pasti kita ketemu!" pikir Jack hampir putus asa. "Mau tak mau mereka pasti menyentuh tubuh kita. Tangga di sini sangat sempit" Untunglah orang-orang tadi ternyata naik, bukan turun! Jack dan Mafumu mendengar bunyi langkah kaki mereka serta suara mereka makin jauh ke atas sana. Jack dan Mafumu merayap kembali ke tempat pintu tadi. Masih terbuka! "Astaga! Kita beruntung!" bisik Jack kepada Mafumu. Walau Mafumu tak mengerti kata-kata yang diucapkan Jack, ia tahu maksudnya. Mereka menyelinap masuk lewat pintu itu, dan mendapatkan diri mereka berada di suatu serambi yang mengelilingi sebuah ruangan besar megah. "Rupanya ini balai pertemuan," pikir Jack sambil memandang dari serambi tempatnya berdiri ke lantai luas di bawahnya. "Wah, pasti ini persis di tengah perut gunung! Astaga, aneh benar tempat ini!" Dari balai pertemuan yang luas itu, terlihat beberapa tangga. Masing-masing menuju arah yang berbeda. Jack dan Mafumu mendekati sederet pintu kayu bagus bertatahkan logam berkilauan. Ternyata orang-orang Gunung Rahasia memiliki rumah aneh yang mewah! Di situ tidak kelihatan seorang pun. Kesunyian yang mewarnai tempat itu jadi terasa aneh. Lampu-lampu besar tergantung di atap ruangan - sedikit berayun sambil memancarkan cahaya terang. Bayangannya di lantai bergoyang-goyang. Mafumu menggigil ketakutan. Belum pernah ia menyaksikan tempat seperti itu. "Mafumu! Kurasa orang-orang itu sebentar lagi balik," kata Jack, berbisik ke kuping Mafumu. "Kita mesti buru-buru keluar dari sini lewat salah satu tangga - mencari di mana teman-teman kita berada. Cepat!" Berdiri di balai pertemuan yang besar itu, keduanya bingung hendak memilih tangga yang mana. Akhirnya mereka memilih yang terdekat. Tangga itu lebar, tidak tinggi, dan menuju ke sebuah pintu terbuka. Mereka naik, lalu melewati pintu. Di depan mereka terdapat terowongan panjang gelap. Dinding dan atapnya terbuat dari batu. Terowongan ini mereka telusuri, lalu membelok ke sebuah terowongan lain. Mendadak mereka berhenti. Ada suara orang bicara. Rupanya orang-orang yang sedang mengobrol tak mendengar kedatangan kedua anak itu. Karenanya Mafumu dan Jack merayap lagi maju. Mereka sampai ke sebuah gua yang indah. Dindingnya dihiasi kulit binatang dan tirai-tirai berkilauan. Lantainya berhamparkan permadai tebal indah. Di atas permadani itu, duduk orang-orang Gunung Rahasia. Aneh sekali kelihatannya orang-orang itu dalam cahaya lampu yang bergerak-gerak! Semua berambut merah menyala dan berjenggot warna sama. Wajah mereka kuning pucat. Yang perempuan tertutup seluruh tubuhnya, kecuali mata. Rambut dan dagunya sama sekali tak kelihatan! Jack dan Mafumu tahu bahwa mereka perempuan, sebab mereka berbicara dengan suara melengking nyaring. Sambil mengobrol mereka bekerja. Ada yang membuat permadani, ada pula yang menjalin tali panjang berwarna-warni mirip rafia. Beberapa orang sibuk memukuli sesuatu. Sayang Jack dan Mafumu tak bisa melihat benda apa yang dipukuli itu. "Kita balik saja," bisik Jack, mendorong Mafumu. "Ayo! Kalau sampai kita ketahuan ada di sini, bisa-bisa kita ditawan." Keduanya merayap kembali. Mafumu lebih ketakutan lagi setelah melihat orang-orang tadi. ia menganggap mereka aneh sekali! Anak-anak itu merayap kembali sampai ke sebuah pintu. Pintu itu tertutup. Mereka mencoba mendorong. Ternyata bisa dibuka. Bagian dalam ruangan itu aneh sekali. Tak ada barang apa pun di situ, kecuali tangga tali menuju ke atap yang gelap. "Pasti ada semacam lubang sempit naik jauh ke atas sana," bisik Jack. "Ke mana, ya? Ssst. Mafumu - ada orang datang." Benar. Terdengar lagi suara orang bicara dan suara langkah kaki. Mafumu menggigil ketakutan, memegangi tangga tali, dan dalam sekejap telah menghilang ke kegelapan atap ruangan itu. Jack berpikir bagus juga kalau ia ikut Mafumu. Pas sekali! Tiga orang masuk ke ruangan kecil itu, menutup pintunya, dan mengobrol dengan suara keras. Jack dan Mafumu diam tak bergerak di tangga tali. Mereka tak berani naik terus, sebab takut tangganya bergerak dan menarik perhatian orang-orang itu. Ketiga orang itu mengobrol kurang lebih sepuluh menit lamanya, lalu keluar. Cepat Jack dan Mafumu naik. Mereka pikir di atas lebih aman daripada di bawah! Tangga itu terikat pada sebuah serambi batu. Berseberangan dengan serambi itu terdapat sebuah pintu besar kokoh. Luarnya diselot dengan selot besar yang nampaknya sukar sekali digerakkan! "Ada orang yang dikurung di dalamnya," bisik Jack. "Mungkinkah yang di dalam situ Peggy, Nora, Mike, dan lain-lainnya?" Mafumu mengangguk-angguk. Ya - ia merasa yakin mereka menemukan tempat teman-temannya yang lain ditawan! Mafumu mulai mencoba menggerakkan selotnya. Walaupun kelihatannya berat, ternyata selot besar itu berminyak cukup hingga mudah digerakkan. Ada semacam palang pintu yang masih menghalangi pintu itu. Jack menariknya. Mendadak pintu itu terbuka. Tak terdengar suara apa pun dari dalam. Jack dan Mafumu hampir tak berani mengintip ke dalam. Apa yang akan mereka lihat di situ? Seandainya benar teman-teman mereka yang ada di dalam, pasti terdengar suara mereka. Jack mendorong pintunya supaya lebih terbuka lagi. Tidak! Mike dan lain-lainnya tidak ada di situ. Yang ada Kapten dan Nyonya Arnold! Mereka terbaring di tumpukan permadani di sudut ruangan yang diterangi lampu remang-remang. Kelihatannya pucat dan menderita. Mereka melihat pintu dibuka, dan mengira orang datang membawakan makanan. Melihat Jack, mereka langsung berdiri dengan keheran-heranan! Keduanya melongo, seolah tak percaya akan penglihatan mereka sendiri. Mimpikah? "Jack! Jack! Kaukah itu, Jack?" tanya Nyonya Arnold akhirnya. "Mana yang lain - Mike, Peggy, dan Nora?" Mike, Peggy, dan Nora adalah anak-anak Nyonya Arnold sendiri. Walaupun begitu Nyonya Arnold juga menganggap Jack anaknya sendiri, karena Jack pernah menolong anak-anaknya ketika mengalami kesulitan. Jack memandang Kapten dan Nyonya Arnold kegirangan, ia lari ke pelukan Nyonya Arnold. Jack sangat sayang kepadanya. "Kita tak punya waktu untuk ngobrol," kata Kapten Arnold cepat. "Jack telah membukakan pintu kurungan kita. Sebaiknya kita cepat-cepat keluar mumpung ada kesempatan! Ayo, ikuti aku. Aku tahu tempat aman yang bisa kita pakai untuk mengobrol." Kapten Arnold keluar dari ruangan itu sambil membawa beberapa potong kue dan sebuah guci berisi air. Sesampainya di luar, beliau berhenti - memasang kembali palang pintu dan selotnya. Dengan demikian, kalau ada orang lewat tak ada hal aneh yang terlihat Kapten Arnold tidak memilih tangga turun yang tadi dilalui Jack dan Mafumu. ia berjalan menuju lorong gelap di sebelahnya yang arahnya menanjak ke atas. Tak lama kemudian, terlihat cahaya terang! Alangkah terkejutnya Jack dan Mafumu ketika tahu bahwa itu cahaya matahari! "Ada beberapa jendela yang dibuat pada dinding terjal gunung ini!" ucap Kapten Arnold. "Orang-orang yang menghuni gunung ini memakainya untuk berjemur-jemur. Tapi, mencoba melarikan diri lewat jendela semacam itu tak ada gunanya. Terjal sekali tempatnya, hingga orang bisa langsung menggelinding jatuh ke kaki gunung kalau coba-coba keluar lewat situ. Kadang-kadang kami dibawa ke sini oleh mereka - supaya kena matahari sedikit. Di sini aman! Tak ada orang lewat" "Ayo, cepatlah bercerita, Jack," pinta Nyonya Arnold. "Mana yang lain?" Jack dan Mafumu merasa lega bisa berjemur dan merasakan kembali kehangatan sinar matahari. Mereka menyikat kue dan meminum air yang dibawakan Tuan Arnold sementara Jack menceritakan segalanya dengan cepat Kapten Arnold dan istrinya mendengarkan dengan keheranan. "Petualangan kalian sudah banyak. Tapi, yang ini benar-benar luar biasa!" komentar Kapten Arnold. "Nah, sekarang giliranku bercerita." Kapten Arnold bercerita, bahwa mereka terpaksa mendarat karena ada kerusakan yang harus diperbaiki pada Seriti Putih. Sementara ia sedang memperbaiki pesawat, rupanya orang-orang Gunung Rahasia datang ke pesawat dengan diam-diam. Kapten Arnold dan istrinya langsung ditangkap dan dibawa ke Gunung Rahasia. Sejak saat itu mereka ditawan. "Kami tak tahu mengapa mereka menangkap kami," tambah Kapten Arnold. "Aku kuatir mereka punya maksud tak baik. Di puncak gunung sana, ada semacam kuil dan pelataran tempat mereka memuja dewa matahari. Di situ mereka sering berkurban untuk dewa yang mereka puja itu. Mudah-mudahan saja kami takkan mereka lemparkan ke situ untuk menyenangkan dewa mereka!" "Astaga!" Ucap Jack. Wajahnya mendadak pucat, ia pernah membaca kebiasaan beberapa suku yang masih biadab. Mereka itu kebanyakan benar-benar tak punya kasihan. "Lalu bagaimana dengan yang lain? Apakah orang-orang itu juga akan memperlakukan mereka begitu? "Jangan sampai itu terjadi," kata Kapten Arnold. "Yang lain ada di gunung ini juga. Kita harus segera mencari di mana mereka! Sudah selesai makan, Jack? Kalau sudah, kita tinggalkan tempat ini. Kita melihat-lihat sedikit. Kurasa mereka takkan tahu kami lolos sampai besok pagi. Hari ini penjaganya sudah masuk mengantar makanan. Kita punya cukup waktu untuk mencari yang lain!" Mula-mula Mafumu malu menghadapi dua orang kulit putih yang baru saja mereka temui. Tetapi, melihat Jack asyik mengobrol dengan keduanya, ia pun mulai tersenyum-senyum. "Aku Mafumu," katanya. "Aku Mafumu. Aku hamba Raja Jack!" "Ayo, Mafumu. Kau harus ikut kami," kata Kapten Arnold. "Nah, sekarang, ikuti aku menyusur lorong ini. Kita lihat ke mana arahnya." 15. Di Puncak Gunung Sementara itu, bagaimana yang lain? Mereka tidur dengan gelisah di ruang bawah tanah. Lampu menyala di dekat mereka. Mereka tak tahu bahwa hari sudah pagi kalau tidak karena jam sudah menunjukkan pukul enam. "Aku lapar," Mike menguap. "Mudah-mudahan orang Gunung Rahasia kasih makanan cukup untuk para tawanannya!" Baru saja Mike selesai mengucapkan itu, mendadak pintu dibuka. Dua orang lelaki berambut merah masuk. Jubah mereka melambai-lambai. Kedua orang itu membawa tempat air berisi air segar serta piring besar berisi kue. Di samping itu mereka juga membawa bermacam-macam buah-buahan. Betapa gembiranya anak-anak! "Sedang apa si Jack dan Mafumu, ya?" kata Mike. "Menurutmu, apa yang mereka lakukan, Ranni?" "Wah, aku tak bisa membayangkan," sahut Ranni, mengambil buah. ia dan Pilescu sebenarnya sangat gelisah -jauh lebih gelisah daripada yang kelihatan oleh anak-anak. Melihat orang-orang berambut merah itu keduanya kurang suka walaupun mereka sendiri kadang-kadang mirip penduduk Gunung Rahasia. Bedanya, mata Ranni dan Pilescu tidak hijau. Kulit mereka tidak juga kuning. Menjelang sore hari, pintunya dibuka lagi. Seorang penjaga memberi isyarat kepada mereka supaya keluar. Semuanya keluar sambil sibuk membayangkan apa yang bakal terjadi. Mereka berjalan mengikuti penjaga tadi-melintasi lorong panjang berkelok-kelok. Akhirnya mereka sampai ke sebuah pintu besar yang nampak berwarna hijau dan biru karena sinar lampu di atasnya. Ketika mereka sampai ke dekat pintu itu, pintunya menggelincir ke samping. Di baliknya, ada tangga naik tinggi sekali. Warna anak tangganya aneh sekali - berganti-ganti dari oranye ke kuning. Setiap dua ratus anak tangga, tangganya memutar lalu naik lagi. Anak-anak merasa lelah. Perjalanan naik itu serasa tak ada habis-habisnya. Mereka duduk beristirahat Di belakang mereka berjalan orang-orang Gunung Rahasia. Jumlahnya cukup banyak. Mereka berjalan sambil mendendangkan lagu aneh. Anak-anak tak suka mendengar nadanya. Mengerikan! Beberapa kali rombongan itu berhenti, beristirahat Ranni dan Pilescu yakin tangga itu menuju ke puncak gunung. Buatan tangganya bagus dan indah sekali. Di sana-sini, di pinggir tangga, ditempatkan lampu-lampu berbentuk matahari yang sedang bersinar. Nyalanya terang sekali, hingga anak-anak merasa silau jika memandangnya. "Kurasa, kita dibawa ke puncak gunung," ujar Ranni. "Saat ini matahari sedang tenggelam. Pemuja matahari biasanya berdoa pada saat matahari terbit atau tenggelam. Kita bisa menyaksikan mereka memuja-muja matahari nanti!" Ranni benar - tetapi ia tak menduga bahwa puncak Gunung Rahasia bentuknya demikian! Aneh, lain daripada yang lain! Dengan napas terengah-engah dan kecapekan, iring-iringan itu mendaki deretan tangga terakhir. Mereka keluar lewat pintu gerbang keemasan, menuju ke suatu koridor luas. Koridor itu berpilar-pilar di sisi kiri dan kanannya. "Astaga!" ucap Mike keheranan. "Bukan main!" "Itulah yang pertama-tama membuat semua melongo. Pemandangan dari puncak Gunung Rahasia sangat memukau. Di sekelilingnya menjulang gunung-gunung lain. Ada beberapa yang tinggi, dan ada pula yang agak rendah. Lembah-lembahnya membentang hijau, dialiri sungai biru yang berkelok-kelok. Anak-anak benar-benar terpesona. Mereka merasa kecil sekali di tengah-tengah gugusan gunung yang besar-besar itu. Puas menyaksikan keindahan alam di sekitar Gunung Rahasia, mereka ganti memperhatikan keadaan puncak gunung itu sendiri. Aneh sekali. Salah satu sebabnya, karena puncak Gunung Rahasia telah diratakan hingga permukaannya sama sekali datar. Di bagian tengahnya ada semacam pelataran. Lantainya terbuat dari sejenis batu yang memancarkan cahaya kuning dan oranye seperti tangga yang tadi dilewati. Tiga sisi pelataran itu pinggirnya mempunyai serambi panjang-panjang berpilar tinggi. Sisinya yang keempat mempunyai bangunan besar berbentuk kuil, menghadap ke lereng sebelah timur yang sangat curam. Anak-anak, Ranni, dan Pilescu dibawa ke kuil tadi. Angin bertiup keras dan dingin di puncak gunung. Semuanya menggigil. Seorang lelaki berambut merah datang, melemparkan jubah mengkilap pada bahu mereka. Jubah-jubah itu berlapiskan bahan bulu hingga terasa hangat Mereka dibawa naik ke puncak kuil. Di situ terdapat sebuah menara bulat menjulang ke atas. Dari menara itu terlihat matahari terbenam, bergerak perlahan-lahan ke balik cakrawala barat Setelah matahari terbenam, orang-orang Gunung Rahasia berlutut sambil menyanyikan lagu aneh. "Kurasa mereka memuja matahari," kata Ranni geram, ia mengatakan hal itu kepada Pilescu dalam bahasa Baronia. "Aku tak suka acara beginian! Kau?" Pangeran Paul heran. "Mengapa kau tak suka, Ranni?" tanyanya. Tetapi Ranni tak menjawab. Semuanya memusatkan perhatian pada matahari. Matahari sementara itu menghilang sempurna ke balik cakrawala. Mendadak suasana menjadi gelap gulita. Pemandangan gunung-gunung dan lembah jauh di bawah sana menghilang. Sekarang yang kelihatan tinggallah kilau lantai pelataran di puncak Gunung Rahasia. Seorang lelaki tinggi berambut merah menuju ke tengah pelataran. Di situ ia berbicara keras berapi-api. Ranni mendengarkan baik-baik, berusaha menangkap setiap kata yang ia kenal. "Dia ngomong apa sih?" tanya Mike. "Menurut pengertianku, orang itu memohon agar matahari pergi dulu. Ia minta hujan," kata Ranni. Rupanya sudah lama hujan tak datang-datang. Orang-orang Gunung Rahasia memohon agar matahari berkenan mengenakan pakaian tebal berupa gumpalan awan hingga hujan yang mereka tunggu-tunggu datang. Mungkin mereka punya ladang di lereng gunung. Mereka takut ladang itu kering kalau hujan tak segera datang!" Malam itu mereka tidur di atas permadani yang dibentangkan di lantai kuil. Angin bertiup sangat kuat dan dingin sekali. Orang-orang Gunung Rahasia menghilang ke balik pintu dorong kuning, membiarkan mereka sendirian di puncak gunung. Pintu masuk dari puncak gunung ke dalam dikunci dan diselot dari dalam. Ranni dan Pilescu menelusuri kuil, pelataran, dan serambi di sisi-sisinya dengan bantuan cahaya senter. Tetapi, pintu masuk dari puncak gunung itu cuma ada satu - pintu dorong berwarna kuning, yang tadi dilalui orang-orang Gunung Rahasia dan sekarang diselot dari dalam. Mustahil mereka bisa lari dari puncak gunung. Sama saja dengan dikurung di dalam ruang bawah tanah tadi malam. Masing-masing sibuk memikirkan apa yang sedang dilakukan Jack dan Mafumu, di mana mereka, dan apakah Tuan dan Nyonya Arnold ada di dekat-dekat situ! Mereka sama sekali tak tahu bahwa keempat orang yang mereka pikirkan itu telah berkumpul bersama. Dari tempat berjendela yang semula mereka pakai mengobrol, keempatnya berjalan masuk lewat sebuah terowongan. Jalannya pelan-pelan sekali. Mereka sampai ke deretan gudang. Tak seorang pun kelihatan di tempat itu. Karenanya mereka lalu melihat-lihat isinya. Di sebuah ruangan berdinding batu tebal, disimpan berbagai jenis cat dan sumba. Kapten Arnold meneliti benda-benda yang ditemui. "He, lihat," katanya. "Aku tahu sekarang! Orang-orang itu mencat rambutnya dengan sumba merah ini. Sumba ini sangat kuat, dan warna merahnya aneh. Rupanya mereka sengaja mencat rambut dengan warna begini supaya orang-orang di sekitar daerah ini takut jika bertemu mereka. Dan, wah - ini zat warna kuning yang mereka gunakan untuk mewarnai kulit mereka!" Semua memperhatikan tempat cat yang dipegang Kapten Arnold. Tempat itu penuh dengan cairan kuning yang dipakai orang Gunung Rahasia untuk mewarnai kulit mereka! Pantas mereka berkulit kuning aneh begitu! Rupanya mereka mewarnai rambut dan menyumba kulit mereka yang hitam menjadi kuning! Setelah tahu ini, Jack tak takut lagi melihat penampilan aneh orang-orang Gunung Rahasia. Uahh! Kalau cuma cat, tak perlu ditakuti! Diambilnya sebotol cairan kuning, lalu ia masukkan ke dalam saku. "Untuk kenang-kenangan!" ujarnya girang. "Kalau kita bisa selamat," pikir Kapten Arnold. Meninggalkan gudang-gudang tadi, rombongan yang terdiri dari empat orang itu menuruni lorong melengkung yang beratap tinggi. Mendadak terdengar bunyi sesuatu. Ternyata mereka sudah berada kembali di tepi sungai bawah tanah. Airnya berkecipak mengalir deras lewat tengah gua. "Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa kita tersesat," ucap Kapten Arnold, ia berhenti berjalan, lalu memandang berkeliling. "Mungkin tempat ini dekat dengan tempat sungainya keluar di sisi gunung, Jack?" Jack dan Mafumu menggeleng. "Jauh, jauh, jauh sekali," ujarnya. "Mafumu tak tahu jalan." Keempatnya melintasi gua, meninggalkan sungai. Mereka tak yakin bahwa sungai itu adalah sungai yang berujung di air terjun. Kapten Arnold mengira ada dua atau tiga sungai yang mengalir lewat perut Gunung Rahasia. Menurut perkiraannya, ketiga sungai itu menyatu jadi satu aliran. Tak ada gunanya mereka menyusur sungai yang baru mereka tinggalkan. Mereka menjumpai sebuah pintu aneh. Bentuknya bulat dihiasi bentuk-bentuk matahari. Dari balik pintu itu terdengar suara orang bicara! "Mereka bilang apa, Mafumu?" tanya Jack berbisik. Mafumu mendekat ke pintu. Telinganya yang tajam mendengarkan obrolan orang-orang di dalam. Sementara ia mendengarkan, mendadak wajahnya jadi pucat! Mafumu merayap kembali ke tempat Jack menunggu. "Kata mereka dewa matahari murka," bisiknya. "Mereka kira dewa matahari akan bakar gunung, karena tak punya hamba yang bisa dijadikan pembantu. Kalau sudah dapat pembantu, baru dewa itu mau bersembunyi di balik jubah awan hingga hujan turun. Salah satu di antara kita akan dikurbankan jadi pembantu yang dicari!" Mafumu bicara separuh dalam bahasanya sendiri dan separuh lagi dalam bahasa Jack. Jack mengerti maksudnya. Segera ia menceritakan kembali cerita Mafumu tadi kepada Kapten Arnold dan istrinya. Kapten Arnold berdiam diri lama sekali. "Itu yang dari dulu kutakutkan," katanya. "Salah seorang di antara kita akan mereka lemparkan ke kaki gunung untuk menyenangkan dewa mereka! Kita harus berusaha menemukan Mike, Peggy, Nora, dan lain-lainnya sesegera mungkin! Apa pun yang terjadi, kita harus menemukan mereka! Mereka harus kita beri tahu kemungkinan ini!" 16. Perjalanan Aneh dengan Kejutan Pada waktu Kapten Arnold bicara tadi, mendadak pintu bulat tadi dibuka. Seorang lelaki bertubuh tinggi dengan rambut merah keluar. Terowongannya gelap, hingga orang itu tidak melihat bahwa di sana ada empat orang lain. Keempat orang itu merapat di dinding terowongan. Tepat ketika orang tadi hendak melangkah, dari arah yang berlawanan terdengar orang berlari-lari. Orangnya mengenakan jubah yang melambai-lambai. Keduanya bicara dengan suara keras. Lalu mereka berteriak memanggil-manggil. Mafumu menempelkan diri pada Kapten Arnold, ia berbisik, "Kita lari! Cepat!" Kapten Arnold segera tahu bahwa orang-orang Gunung Rahasia telah menemukan mereka minggat. Karenanya, mereka harus cepat-cepat lari dari situ. Tapi, ke mana? "Ke sungai tadi saja," usul Nyonya Arnold, berbisik. Mereka kembali menyusuri lorong gelap menuju ke sungai dengan diam-diam. Di belakang mereka terdengar orang berjalan sambil tak henti-hentinya bicara. Keempat orang itu langsung menuju pinggir sungai. "Kita menyeberang ke sebelah sana saja," usul Jack. Pada saat yang bersamaan, ada sesuatu yang ditemukan Mafumu. Anak hitam itu berlari-lari ke Jack, memegangi tangannya, lalu berbisik-bisik penuh semangat. Ditariknya Jack supaya mengikuti dia. Jack menurut, ia segera tahu apa yang membuat Mafumu begitu bersemangat. Ada perahu kecil. Bentuknya aneh, dicat bergaris-garis. "Lihat! Kita naiki saja perahu itu lalu mendayung mengikuti aliran sungai!" kata Jack. "Ada orang datang! Cepat!" Kelihatannya tak ada tindakan lain yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Keempatnya lalu naik ke perahu, berhimpit-himpit. Begitu berada di atas, segera perahu itu didayung, perahu itu dilengkapi oleh semacam dayung, tetapi ternyata itu tak mereka perlukan. Perahu aneh yang mereka tumpangi dibawa arus air. ia meluncur laju mengikuti aliran sungai. Perjalanannya aneh. Sungainya mengalir menembus perut Gunung Rahasia. Sesekali ia melewati gua besar yang dindingnya berkilauan oleh fosfor yang dikandungnya. Kadang-kadang mereka lewat terowongan gelap sempit. Dindingnya bisa mereka sentuh ketika lewat. Suatu ketika, sungai itu melebar membentuk semacam kolam luas. Tepinya menyentuh dinding gua tinggi. Mafumu takut. Dipeganginya Jack kuat-kuat. Anak itu menggumamkan doa-doa aneh sambil sebelah tangannya memegang kalung gigi buaya yang tergantung di lehernya. Jack merasa kasihan melihat Mafumu. Tetapi, ia sendiri pun merasa agak takut. Aliran sungai yang deras segera membawa mereka pergi dari tempat itu. Kadang-kadang perahu mereka mengenai batu, dan hampir terjungkir. Pernah sekali Nyonya Arnold terlonjak dari tempat duduknya. Untung Kapten Arnold cepat menariknya kembali. Kalau tidak, bisa-bisa ia tercebur ke sungai. Keempat orang di atas perahu itu tak habis-habisnya berpikir kapan dan di mana perjalanan aneh itu akan berakhir. Ternyata akhirnya sangat tidak diduga-duga. Di suatu tempat aliran sungainya tak lagi deras. Airnya tak lagi bergelombang. Perahu mereka hampir-hampir berhenti. Supaya berjalan lagi, Kapten Arnold terpaksa mendayung. Mereka berada di sebuah terowongan rendah melebar. Tak jauh di depan mereka ada lubang melengkung yang dilewati cahaya terang. "Kita sampai di suatu tempat," kata Kapten Arnold. "Kembali kita tak bisa. Satu-satunya pilihan, kita harus maju ke sana! Cahaya apa itu ya?" Mereka segera tahu! Perahu mereka maju perlahan melintasi terowongan. Tahu-tahu sungainya melewati sebuah ruangan luas yang indah sekali! Lantainya terbuat dari batu yang dipoles sampai mengkilap. Dindingnya berhiaskan gantungan dinding berwarna-warni menyerupai pelangi. Sementara atapnya sangat tinggi dihiasi batu-batu indah berkilauan. Di atap itu tergantung sebuah lampu raksasa bercahaya terang sekali. Rupanya cahaya lampu itulah yang mereka lihat dari kejauhan tadi. Di sana-sini terdapat meja dari batu serta permadani tebal terhampar. Jambangan bunga besar-besar tampak berdiri menghiasi ruangan dengan bunga aneka warna. Dan di meja, terlihat guci berisi air minum. Tiga ekor burung kakatua berceloteh di dalam sangkar keemasan. Di sudut ruangan, lima ekor monyet kecil berkerumun duduk. Lewat ruangan yang aneh ini, mengalir sebuah dari sekian banyak sungai bawah tanah. Sungai itu mengalir ke suatu lubang di lereng gunung. Kalau orang tak tahu, bisa-bisa mereka terlempar dari lubang itu ke sisi gunung. "Wah, seperti dongeng saja!" ucap Nyonya Arnold kagum. "Apa yang hendak kita lakukan sekarang? Turun dari perahu lalu memeriksa ruangan aneh ini? Seperti istana yang dibangun di bawah tanah saja!" Tak ada seorang pun di ruangan besar yang indah mempesona itu. Yang ada hanyalah ketiga ekor burung kakatua dan monyet kecil yang berjumlah lima ekor. Kapten Arnold ragu-ragu. Ia tak yakin apakah sebaiknya mereka turun dari perahu yang kini maju dengan perlahan-lahan melintasi bagian tengah ruangan aneh itu. Mendadak terlihat olehnya sesuatu di sungai, tepat di depannya! Sebuah pintu gerbang emas terbentang dari sisi ke sisi sungai yang sedang mereka ikuti. Aneh! Perahu mereka takkan bisa terus, kecuali jika pintu gerbang itu bisa dibuka. Kapten Arnold segera mengambil keputusan. Daripada mendarat di ruangan aneh yang sedang mereka lewati, lebih baik terus sampai ke pintu gerbang sana. Siapa tahu pintu gerbang itu bisa dibuka. Perahu mereka meluncur terus menuju ke pintu gerbang yang berkilau-kilauan. Ternyata, itu adalah akhir perjalanan mereka! Di pinggir sungai, di dekat pintu gerbang yang mereka tuju, duduk orang-orang Gunung Rahasia - berderet-deret. Begitu melihat perahu yang datang, mereka terlonjak - lalu berdiri ke heranan sambil berteriak-teriak dan menunjuk! Perahu itu berhenti tepat di muka pintu gerbang. "Nasib! Kita takkan bisa meloloskan diri lagi," ucap Kapten Arnold. "Mereka pasti akan segera menangkap kita!" Benar. Sebentar saja keempatnya sudah diringkus! Perahunya mereka tarik ke tepi. Beramai-ramai orang-orang itu menarik penumpangnya. Mereka heran sekali melihat Jack dan Mafumu! "Mereka tak tahu bahwa Jack dan Mafumu ada di sini," kata Kapten Arnold. "Mereka tahu kita meloloskan diri, sebab tempat kita disekap jadi kosong. Tapi, mereka sama sekali tak tahu-menahu mengenai kedua anak ini! Wah, kita dibawa kembali ke ruangan aneh tadi!" Melalui sebuah pintu besar, mereka dibawa ke ruangan yang tadi mereka lewati. Tetapi kali ini ruangan itu tak lagi kosong! Di sebuah singgasana, duduk seorang lelaki tinggi berjenggot merah, berkulit kuning. Matanya memandang tajam kepada empat orang di depannya. "Rupanya dia ketua suku atau raja mereka," ucap Kapten Arnold. "Hi, aku tak suka melihat tampangnya!" Di belakang orang itu, berdiri sebarisan lelaki berjenggot merah. Masing-masing membawa sejenis tombak yang berkilau-kilauan. Mereka mengenakan topi berbentuk matahari. Sinarnya bergerak-gerak menyilaukan kalau orangnya bergerak. Mafumu benar-benar ketakutan. Kakinya lemas tak kuat berdiri. Jack terpaksa memegangi anak itu. Ketika bicara, suara ketua suku itu terdengar keras dan kasar. Hanya Mafumu yang agak mengerti apa yang diucapkan orang itu. ia menggigil, karena tahu orang-orang pemuja dewa matahari itu ternyata berniat menjatuhkan beberapa orang lagi untuk memuaskan dewa mereka. Si ketua suku memberi perintah dengan suara lantang. Dengan segera pasukan bertombak dari belakangnya maju dan mengelilingi keempat orang yang berdiri di depan ketua suku. Mereka digiring melintasi ruangan luas bagus yang ada burung kakatuanya. Mereka lalu dibawa ke puncak gunung, ke tempat Mike dan lain-lainnya berada! Tetapi, jalannya tidak sama dengan jalan yang dilalui oleh rombongan yang terdahulu. Tuan dan Nyonya Arnold serta Jack dan Mafumu dibawa masuk ke sebuah ruangan kecil - mirip kandang emas. Buatannya bagus sekali. "Wah, lihat!" kata Jack sambil menunjuk ke atas. "Ada lubang di atap ruangan ini menuju ke atas!" Ruangan kecil mirip kandang emas tadi ternyata merupakan sejenis lift Melalui lubang di atapnya, ruangan itu digerakkan naik - bukan oleh mesin, tetapi oleh orang banyak. Berdesakan, keempat orang tawanan itu ditemani oleh empat orang berjenggot merah di dalam ruangan tadi. Pintunya ditutup. Salah seorang memberi perintah dengan suara keras, lalu dua puluh orang bekerja serempak menarik semacam tambang yang tergantung dari lubang lain lagi di atasnya. Seperti lift, ruangan itu bergerak naik! Mafumu ketakutan bukan main. ia berteriak, lalu jatuh ke lantai. Yang lain heran. Tetapi mereka tak menunjukkan rasa takut. Nyonya Arnold membungkuk, mengelus Mafumu yang malang. Mereka naik terus ke atas. Kadang-kadang cepat, dan kadang-kadang pula lambat. Akhirnya mereka sampai ke puncak gunung. Ruangan pengangkut mereka berhenti tepat di bawah sebuah pintu bulat berkilau-kilauan. Salah seorang segera membuka selot dan kuncinya, ia lalu menekan sejenis tombol. Mendadak pintu itu terbuka ke atas. Ruangan pengangkut mereka naik lagi lewat pintu tadi. Sampai di permukaan tanah, ia berhenti. Pintu ruangan itu dibuka, semua lalu melangkah ke luar. Kapten Arnold dan istrinya memandang berkeliling. Mula-mula mereka tak tahu di mana mereka berada saat itu. Baru beberapa saat kemudian mereka sadar bahwa mereka sudah berada di puncak Gunung Rahasia! Mereka menahan napas, menyaksikan pemandangan mempesona di situ! Mereka keluar dari lubang tepat di tengah-tengah pelataran. Jack cepat memeriksa tempat di sekelilingnya. Siapa tahu saudara-saudaranya ada di sana. Tetapi, tak seorang pun kelihatan. Padahal mereka ada di sana! Mereka ada di dalam kuil, menikmati buah-buahan segar yang baru saja diantarkan ke atas. Tubuh mereka diliput selimut tebal, karena angin di puncak gunung itu dingin bukan main. Pangeran Paul yang mula-mula melihat keanehan di tengah pelataran. Ada sangkar emas menyembul dari tengah-tengah lantainya. Pangeran Paul sedang memandang ke luar lewat pintu kuil yang terbuka. Betapa kagetnya si pangeran melihat ada pintu terbuka, ia menelan isi mulutnya dengan keheranan sampai terbatuk-batuk. Cepat Mike memukul-mukul pundak anak itu. "Jangan! Jangan! Lihat! Lihat itu!" kata Pangeran Paul di sela-sela batuknya. Ia berusaha menunjuk ke luar. Yang lain salah duga. Mereka mengira Paul kebingungan karena tersedak. Cepat Peggy menggantikan Mike, memukuli punggung anak itu. Paul melihat sangkar emas menyembul ke luar dari lubang yang pintunya terbuka tadi. Terlihat olehnya Kapten Arnold dan istrinya, disusul oleh Jack dan Mafumu keluar. Mereka digiring oleh pasukan penjaga. Paul benar-benar heran. Wajahnya kemerah-merahan. Ia lalu melompat berdiri. "Lihat!" teriaknya kepada yang lain. Akhirnya semua melihat. Melihat kedatangan delapan orang di tengah-tengah pelataran, mereka jadi ribut. Lebih-lebih setelah Nora dan Peggy melihat ayah dan ibu mereka di antara kedelapan orang itu! Sambil berteriak dan memekik-mekik, anak-anak berlari menuruni tangga kuil. Mereka menghambur menyambut kedatangan rombongan yang baru saja keluar dari sangkar emas tadi. Sebentar saja mereka sudah berada dalam pelukan ayah dan ibu mereka. Ribut benar suasana ketika itu! Anak-anak berteriak-teriak, menanyakan beribu pertanyaan kepada Jack, menepuk-nepuk punggung anak itu, dan bahkan memeluk Mafumu. Mafumu gembira sekali melihat kembali teman-temannya yang lain. "Kejutan! Ini namanya kejutan!" kata mereka tak habis-habisnya. Tentu saja! 17. Ranni dan Pilescu Lolos Setelah suasana agak tenang, mereka mencari-cari keempat orang yang mengantarkan rombongan yang baru datang. Tak seorang pun tinggal di sana. Mereka rupanya sudah pergi! Diam-diam masuk lagi ke sangkar emas dan turun ke perut gunung! Kapten Arnold lari ke pintu yang kini telah rata kembali dengan permukaan pelataran. Dicobanya mencongkel tepi pintu dengan jarinya. Tetapi tak bisa. Pintu itu dibuat persis sebesar lubang yang mengelilinginya. "Pasti dikunci dan diselot dari sebelah sana," katanya. "Jadi, tak mungkin kita lari dari sini. Kau dibawa kemari lewat mana. Mike? Lewat pintu ini juga?" Mike lalu bercerita tentang tangga tinggi yang beranak tangga mengkilap dan menuju ke pintu keemasan. Pintunya ia tunjukkan kepada yang baru datang. Tetapi, betapapun mereka mencoba dorong, pintu itu tak bergerak sedikit pun. Anak-anak gembira sekali bertemu kembali dengan ayah dan ibu mereka, serta bisa berkumpul dengan Jack dan Mafumu sekali lagi! Lupalah mereka akan segala kegelisahan dan kekuatiran yang semula mereka rasakan. Kini mereka sibuk bercerita. Masing-masing menceritakan pengalamannya. Lain halnya dengan orang-orang dewasa. Mereka berbincang-bincang serius di tempat yang terpisah dengan tempat anak-anak. "Kita harus cari jalan untuk lari dari sini," kata Pilescu. "Orang Gunung Rahasia buas dan tidak peduli. Mereka berpendapat bahwa dewa matahari marah kepada mereka. Itu sebabnya mereka berniat mempersembahkan seorang pembantu agar dewa itu tak marah lagi. Siapa di antara kita yang akan mereka pilih? Ah, aku tak mau memikirkan itu." "Kita semua dalam keadaan bahaya," kata Kapten Arnold. "Bagaimana kalau kita tunggu saja sampai ada penjaga datang mengirim makanan? Nah, kalau ia datang, kita serang saja dia dan kita lolos lewat tangga yang disebut Mike tadi. Bisakah lolos dengan cara itu, Pilescu?" "Yah, coba saja," Ranni menyahut ragu. "Aku kuatir takkan ada gunanya. Tapi, kelihatannya itu cuma satu-satunya cara." Pada saat itu Jack datang, ia baru saja menunjukkan botol berisi cat yang ia ambil dari gudang tadi. Rupanya anak itu mencoba mengolesi kulitnya dengan cat itu. Wajahnya jadi kelihatan aneh - kuning pucat seperti orang Gunung Rahasia! Ranni dan Pilescu tak tahu bahwa warna kuning itu disebabkan oleh sumba. Mereka memandang Jack dengan takut. "Jack! Kenapa kau?" seru Pilescu. "Kau sakit, ya?" "Ya!" Jack menyahut sambil nyengir. "Mungkin aku kena sakit kuning, Pilescu! Kau punya obat?" Anak-anak yang lain tak kuat menahan tawa. Mereka berkerumun sambil cekikikan. Tahulah sekarang Pilescu bahwa anak-anak sedang bercanda. Diperhatikannya wajah Jack baik-baik. "Wajahmu kausumba kuning," katanya. "Jadi seperti orang Gunung Rahasia!" "Kalau kausumba wajahmu dengan sumba ini, Pilescu, kau akan lebih mirip lagi dengan mereka," kata Jack. "Rambut dan jenggotmu sama merahnya dengan rambut dan jenggot mereka. Bedanya, punyamu asli sedangkan punya mereka dicat!" Gagasan yang sama muncul di benak Pilescu dan Kapten Arnold pada saat yang bersamaan. Pilescu merebut botol berisi sumba dari tangan Jack, lalu mengamat-amati. Dengan jarinya, diambilnya sedikit sumba dari dalam botol, lalu ia oles-oleskan pada kulit tangannya. Dalam waktu sekejap kulitnya tampak kuning pucat seperti kulit orang Gunung Rahasia. "Wah, pikiranmu sama dengan pikiranku, Pilescu," ujar Kapten Arnold senang. "Kalau kaupergunakan sumba itu, kau akan bisa lalu lalang dengan bebas sebagai orang Gunung Rahasia sendiri! Kau dan Ranni sama-sama punya rambut dan jenggot merah. Kalau kaucat pula wajahmu dengan sumba kuning ini, pasti mirip sekali dengan orang Gunung Rahasia. Mungkin dengan begitu kalian bisa menolong kami semua lari dari sini!" Semua jadi bersemangat Masing-masing mengemukakan pendapat. Semua berpendapat bahwa gagasan itu hebat. Akhirnya Kapten Arnold menyuruh mereka tidak berisik, dan berbicara kepada mereka dengan serius. "Jangan buang-buang waktu dengan mengobrol," katanya. "Aku punya usul. Sebaiknya Ranni dan Pilescu segera mewarnai wajah dan kulit mereka dengan sumba itu. Nanti, kalau penjaga datang membawakan makanan, Ranni dan Pilescu bisa mencoba ikut keluar dengan penjaga itu. Seandainya Ranni dan Pilescu bisa mencari jalan kembali ke tempat pesawat kita berada, mereka mungkin bisa cari jalan untuk menyelamatkan kita semua. Sampai sekarang, itulah satu-satunya cara yang bisa kubayangkan." "He, di kuil ada beberapa jubah!" kata Mike mengingatkan. "Aku mencoba mengenakan tadi pagi, tapi kebesaran. Kurasa, ukurannya cocok untuk Ranni dan Pilescu. Cobalah!" Dengan gembira dan bersemangat, mereka semua menuju ke kuil. Ranni dan Pilescu mencoba jubahnya. Pas sekali. Jubah lebar itu terlihat janggal dipakai Ranni dan Pilescu. Yang lain jadi tertawa geli. Dengan teliti, Kapten Arnold mengoleskan sumba kuning pada wajah kedua lelaki Baronia itu. Bukan cuma wajah mereka, tetapi juga leher dan tangannya. Mengenakan jubah lebar berwarna cerah, dan ditambah rambut dan jenggot yang merah menyala, keduanya mirip benar dengan orang Gunung Rahasia! Mafumu yang belum terbiasa akan pengalaman aneh-aneh begitu, mundur ketakutan melihat Ranni dan Pilescu. Ia tak percaya bahwa kedua orang itu tetap Ranni dan Pilescu. "Sudah hampir senja. Sebentar lagi mereka pasti datang memuja matahari," kata Kapten Arnold sambil memandang ke barat. Matahari sudah condong ke sana, dan sebentar lagi akan tenggelam. "Kurasa, banyak yang akan datang sore ini. Karena itu gampang kalian bergabung dengan mereka, dan ikut pergi setelah selesai melakukan upacara." Mereka memutuskan Ranni dan Pilescu akan bersembunyi di balik dua buah pilar besar dekat pintu dorong keemasan. Jika orang-orang Gunung Rahasia tak menemukan keduanya, mereka akan ikut turun beramai-ramai. Mungkin, dengan cara itu mereka bisa meloloskan diri tanpa ketahuan. Matahari semakin condong ke barat - mendadak terdengar ribut-ribut di balik pintu dorong. Orang-orang Gunung Rahasia datang sambil menyanyikan lagu pujaan bagi dewa matahari mereka! Pintunya menggelincir ke samping. Dari tangga di bawahnya muncul berpuluh-puluh orang Gunung Rahasia. Jenggot mereka yang merah semakin menyala oleh cahaya matahari sore. Ketua rombongannya langsung naik ke menara kuil. Yang lain memenuhi pelataran. Ketika lelaki yang naik ke menara tadi membunyikan lonceng, mereka serentak bersujud. Bunyi loncengnya sangat nyaring dan bergema. Kira-kira sepuluh menit lamanya orang-orang itu menyanyikan lagu sedih. Sementara itu Kapten Arnold dan lain-lainnya melihat semua yang dilakukan orang-orang Gunung Rahasia. Ranni dan Pilescu masih berdiri di balik pilar. Keduanya menunggu kesempatan menggabungkan diri. Ketika matahari menghilang, orang-orang di pelataran serempak berdiri dan mengatur diri dalam beberapa barisan. Hari sudah gelap ketika itu. Sambil terus bernyanyi, mereka lalu mengikuti pemimpin mereka - kembali ke pintu dorong yang menuju ke tangga turun, ke perut gunung. Ranni dan Pilescu menyelinap masuk ke barisan paling belakang! Mereka berusaha menirukan apa saja yang dilakukan oleh orang-orang yang berjalan di depan. Mereka melewati pintu, lalu menuruni tangga. Pintunya menggelincir kembali ke tempatnya semula, dan Ranni serta Pilescu pun hilang dari pemandangan puncak gunung! "Wah, mereka sudah pergi!" kata Jack, menyelipkan tangannya pada lengan Mike. "Mereka sudah pergi, Mike! Oh, aku jadi penasaran, ingin tahu bagaimana kelanjutannya. Mudah-mudahan saja mereka tidak ketahuan!" Malam itu tak ada yang datang. Kapten Arnold dan yang lainnya masuk ke kuil. Mereka mencari tempat yang paling terlindung. Angin bertiup kencang siang dan malam di puncak gunung. Sulit mencari tempat yang tidak kena angin. Nora dan Peggy tidur dekat Nyonya Arnold. Anak-anak lelaki bersama Kapten Arnold. Mereka menempati sudut lain yang agak luas. Seperti biasa, Mafumu tidur dekat kaki Jack. Walaupun udara dingin, malam itu mereka semua tidur nyenyak. Kapten dan Nyonya Arnold senang bisa berkumpul kembali dengan anak-anak mereka. Mereka berharap dalam hati, Pilescu dan Ranni berhasil meloloskan diri hingga bisa menyelamatkan mereka yang masih tertawan. Dua hari telah berlalu. Belum ada kejadian aneh yang terjadi. Sehari dua kali, orang-orang Gunung Rahasia datang ke puncak gunung - menyanyikan lagu pujaan dan berdoa. Sekali pada saat matahari terbit, dan sekali lagi pada saat matahari tenggelam. Di samping itu, ada penjaga yang datang membawakan makanan. Anehnya, mereka tak menyadari hilangnya Ranni dan Pilescu. Mungkin karena Kapten Arnold selalu menyuruh mereka berpencar-pencar pada saat-saat penjaga biasanya datang. "Dengan begitu, kalau penjaga datang, mereka takkan bisa menghitung jumlah kita karena kita tersebar di mana-mana," kata Kapten Arnold. "Kecuali, tentu saja, kalau mereka sengaja mencari satu per-satu dan menghitung." Para penjaga sama sekali tak mengira ada dua orang tawanan yang hilang! Mana ada orang yang bisa lolos dari situ? Pintu bulat di pelataran terkunci dan diselot pula dari bawah. Lewat tangga emas? Tak mungkin! Kalau ada yang lewat situ pasti ketahuan. Dua hari itu Kapten dan Nyonya Arnold serta anak-anak hidup dengan tenang. Sayang hal itu tak berlangsung lama. Sangkar emas tiba-tiba muncul lagi di tengah pelataran! Ketika itu Nyonya Arnold kebetulan sedang berada di dekat situ. Ia kaget sekali melihat pintunya mendadak terbuka dan dari dalam menyembul sangkar emas yang beberapa hari yang lalu mengangkut mereka ke sana. Cepat ia berlari memberi tahu yang lain. Mereka lalu melihat siapa yang datang. Ternyata yang datang adalah ketua suku! Perawakannya tinggi dan kurus sekali. Jenggotnya merah menyala, dan jubahnya melambai-lambai seperti air jika ia berjalan. Kulitnya yang kuning pucat kelihatan keriput Dia sudah tua. Tetapi, semangat kepemimpinannya masih menyala-nyala. Matanya tajam, seperti mata burung elang. Si ketua suku memberi perintah dengan suara nyaring. Beberapa orang keluar dari dalam sangkar emas, mengikuti. Sambil mengumandangkan lagu puji-pujian kepada dewa matahari, ia berjalan menuju ke kuil. ia berpaling kepada orang-orang yang mengikutinya dan memberi perintah sekali lagi. Segera orang-orang itu berkerumun mengelilingi tawanan mereka, dan membawa semuanya ke hadapan si ketua suku. Ketua suku itu lalu memandangi para tawanan, ia nampak kaget, lalu berpaling kepada anak buahnya. Jelas terlihat bahwa si ketua suku berpendapat ada tawanan yang hilang! Dengan suara nyaring ia bertanya. Anak buahnya lalu buru-buru menghitung tawanan yang ada. Mereka menyuruh orang mencari tawanan lainnya ke seluruh pelosok puncak gunung sampai ketemu! "Mereka disuruh mencari Ranni dan Pilescu," bisik Jack. "Pokoknya, tak bakal mereka temukan di sini!" Tentu saja tidak, walaupun mereka sudah mencari dengan teliti ke semua tempat yang ada di situ. Ranni dan Pilescu telah hilang dari sana. Ketua Suku marah sekali. Matanya menyala-nyala sementara mulutnya terkatup rapat. Dengan nada suara gusar, ia menegur anak buahnya. Mereka segera membungkuk dan bersujud di hadapannya. Cuma Mafumu yang mengerti kata-kata yang diucapkan oleh ketua suku itu. Itu pun hanya sebagian-sebagian. Dengan agungnya si ketua suku berjalan di depan para tawanan, ia memperhatikan wajah mereka satu per satu. Seorang pun tak ada yang menunjukkan rasa takut, kecuali Mafumu. Pertama, karena ia merasa ngeri melihat warna kuning aneh pada kulit orang di depannya, dan kedua, karena ia mengetahui sesuatu yang tak diketahui oleh yang lain! Si ketua suku sedang memilih siapa yang akan ia kurbankan kepada dewa matahari! ia menatap wajah Jack lekat-lekat. Lalu giliran Nora dan Peggy. Dagu Paul ia dongakkan ke atas, lalu dipandanginya wajah anak itu. Semua merasa tak enak. Mafumu menunduk. Siapa yang akan dipilih oleh ketua suku itu? Yang jelas, salah seorang dari mereka akan dikurbankan kepada dewa matahari. Mafumu harus memberi tahu teman-temannya bahwa si ketua suku sedang memilih orang yang hendak ia kurbankan! 18. Kurban Ketua suku yang berbadan tinggi itu memegang Pangeran Paul lalu meneriakkan sesuatu kepada anak buahnya. Segera dua orang maju, menyergap Paul yang ketakutan. Paul tak tahu apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya. Tetapi, ia tak mau menunjukkan perasaan takut. Walaupun wajahnya agak pucat anak itu berdiri tegak dan anggun sambil memandang si ketua suku langsung pada matanya. Mike dan yang lain bangga melihat sikap Paul. Pangeran Baronia itu bersikap seperti anak bangsa Inggris. Bagus! Paul digiring sendirian. Ia dibawa ke pintu emas yang mendadak menggelincir sendiri ke samping. Paul di bawa turun. Pintunya menutup lagi. Kapten Arnold melangkah maju. Beliau marah sekali. "Hendak kalian apakan anak itu?" teriaknya. "Kembalikan!" Si ketua suku tertawa, lalu membalikkan diri dan pergi, ia melangkah ke menara kuil dan mulai mendendangkan lagu-lagu pujaan yang panjang sekali. Mafumu merasa wajib memberi tahu yang lain. Dengan gemetar dan bahasa terbatas, ia berusaha menjelaskan bahwa Paul akan dijadikan kurban untuk dewa matahari. Semua mendengarkan dengan heran dan ngeri. Kapten dan Nyonya Arnold berpandang-pandangan dengan penuh kekuatiran. Beliau tahu bagaimana biadabnya tindakan suku bangsa sejenis mereka. "Tapi, aku tak tahu bagaimana caranya kita bisa menyelamatkan Paul," ujar Kapten Arnold akhirnya. Mereka semua duduk-duduk di tempat yang terlindung. Sementara itu Peggy dan Nora mulai menangis. Kalau orang dewasa pun tak bisa berbuat apa-apa, tentu masalahnya sudah kelewat gawat! Mike, Mafumu, dan Jack mengobrol bertiga. Jack tak pernah mau menyerah. Itu memang sifatnya. Lain dengan Mike. Mike terlalu diliputi kesedihan. Sedangkan Mafumu - anak itu tak henti-hentinya gemetar ketakutan. Ia mendekatkan diri pada Jack sedekat-dekatnya, seolah Jack akan melindunginya kalau bahaya mengancam. Jack jadi jengkel kepada Mafumu. Karena anak itu menempel terus di dekatnya, ia jadi kepanasan. "Minggir dikit dong!" katanya sambil mendorong Mafumu. "Kasih saja pensil dan buku notes," usul Mike. "Dia pasti segera mengalihkan perhatian ke situ. Biasanya Mafumu tertarik melihat benda-benda yang kita miliki." Jack merogoh saku, mengeluarkan buku notes kecil. Buku itu buku hariannya. Segala pengalaman yang mereka alami dalam petualangan itu tak pernah lupa ia tuliskan di dalamnya. Jack memberikan bukunya kepada Mafumu. "Nih, Mafumu! Bermainlah dengan buku ini di sana," katanya. Dengan penuh semangat Mafumu menerima buku notes yang disodorkan Jack, ia lalu sibuk membalik-balik halaman demi halaman notes itu. Jarinya mengelus-elus halaman yang berisikan tulisan Jack. Mafumu tak mengerti apa-apa. Ia tak bisa membaca dan menulis. Ketika sampai pada halaman yang terakhir ditulisi Jack, Mafumu jadi keheranan. Mengapa hanya separuh halaman yang ditulisi? ia mendekati Jack, menunjukkan halaman yang kosong. Jack mencoba menjelaskan kepada Mafumu. "Hari ini aku menulis, besok aku menulis, tapi menulisnya menunggu kalau hari yang bersangkutan sudah lewat," katanya. "Jack, tanggal berapa sih sekarang?" tanya Mike iseng. "Aku sudah tak tahu lagi hari apa dan tanggal berapa sekarang ini!" "Aku tahu. Tiap hari aku menuliskan pengalaman-pengalaman kita," kata Jack. "Ini hari Rabu - tanggal enam belas. Lihat!" Mike mengambil buku harian Jack. Dipandangnya lembaran bertanggalkan hari esok. Mendadak ia berteriak. "He, Jack! Lihat - apa yang akan tertulis di situ besok?" "Apa?" tanya Jack heran. "Katanya, akan ada gerhana matahari," ujar Mike. "Wah, bagaimana pemandangannya dari sini, ya?" "Kita tanya Ayah saja," kata Jack. Keduanya lalu menghampiri Kapten Arnold. Mafumu mengikuti dengan setia di belakang. "Ayah! Buku harian Jack mengatakan, besok akan ada gerhana matahari!" ucap Mike. "Dari sini kelihatan tidak, Yah?" "Apa sih gerhana matahari itu?" tanya Peggy. "Rasanya aku pernah belajar mengenai hal itu di sekolah, tetapi lupa lagi bagaimana kejadiannya." "Ah, itu sih sederhana," sahut Mike. "Bulan lewat tepat di depan matahari hingga sinarnya tak kelihatan dari bumi untuk beberapa saat. Bulanlah yang menghalangi sinar matahari. Suasana di bumi jadi aneh, sebab siang-siang tak kelihatan cahaya matahari." Kapten Arnold terlonjak. Mike kaget sekali, sebab ayahnya mendadak merebut buku harian dari tangannya. Beliau lalu memperhatikan tulisan yang terdapat di halaman tanggal tujuh belas. "Gerhana matahari, pukul 11.43," Kapten Arnold membaca. "Benarkah ini buku harian untuk tahun ini? Wah, benar! Astaga! Jadi, besok akan ada gerhana matahari? Hmmm!" Suara Kapten Arnold begitu riang dan bersemangat. Yang lain jadi tertarik dan sebentar saja semua sudah berkerumun di sekelilingnya. "Mengapa, Yah? Mengapa Ayah senang sekali?" tanya Mike. Yang bisa menduga hanya Nyonya Arnold. Mata beliau pun bersinar-sinar penuh harap. "Sini! Dengarkan baik-baik, ya!" kata Kapten Arnold. Kapten Arnold berbicara dengan suara pelan sekali. Walaupun ia tahu bahwa orang-orang Gunung Rahasia tak ada yang sedang mendengarkan atau mengerti kata-katanya, Kapten Arnold tak mau ambil risiko. "Mike sudah menjelaskan tadi bahwa gerhana matahari merupakan suatu peristiwa di mana bulan lewat tepat di depan matahari. Kejadian semacam itu jarang sekali terjadi. Di Inggris, bulan takkan pernah bisa menutup seluruh matahari. Tetapi, di Afrika, gerhananya akan merupakan gerhana penuh. Seluruh bagian bumi sebelah sini akan gelap gulita seperti malam hari!" Anak-anak mendengarkan dengan keheranan. Aneh! "Nah, orang-orang Gunung Rahasia adalah golongan pemuja dewa matahari," kata Kapten Arnold lagi. "Mereka rupanya punya kebiasaan melemparkan manusia yang hendak mereka kurbankan ke lereng gunung. Hal itu mereka lakukan untuk menyenangkan dewa matahari - supaya doa mereka dikabulkan. Aku kuatir Paul akan dijadikan kurban besok. Kalau kita tak segera bertindak, besok sudah tak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk menolong anak malang itu. Aku tahu apa yang harus kita perbuat sekarang!" "Apa?" tanya semua berbarengan. "Kita suruh saja Mafumu menjelaskan kepada orang-orang Gunung Rahasia, bahwa matahari akan kubunuh besok jika mereka tak mau mengembalikan Paul kepada kami!" ujar Kapten Arnold pula. "Apa maksudnya - membunuh matahari?" tanya Nora heran. "Mereka beranggapan bahwa matahari dibunuh orang pada saat terjadi gerhana!" Kapten Arnold menjelaskan sambil tersenyum. "Mereka tak tahu bahwa gerhana disebabkan oleh melintasnya bulan di depan matahari hingga menghalangi sinarnya. Karena itu mereka akan berpikir, bahwa aku benar-benar telah membunuh matahari yang mereka puja-puja itu!" "Wah, betul juga!" teriak Jack. "Mereka pasti melongo. Mungkin kita akan mereka lepaskan kalau itu kita lakukan." "Mungkin saja," sahut Kapten Arnold. "Pokoknya, kita lakukan saja sebisanya. Mudah-mudahan mereka datang kemari seperti biasa berdoa sebelum matahari tenggelam." Betapa kecewanya mereka. Senja itu tak seorang pun datang ke puncak gunung. Mereka sama sekali tak mendengar berita mengenai Pangeran Paul. Kapten Arnold dan istrinya mulai merasa gelisah dan kuatir akan keselamatan Paul. Tetapi mereka tidak menunjukkan perasaan mereka kepada yang lain. "Mungkin mereka sedang mencari-cari Ranni dan Pilescu," kata Kapten Arnold. "Bagaimana kelanjutan kisah mereka, ya? Mudah-mudahan saja mereka bisa menyelinap ke luar dari gunung ini, mencari bantuan." Malam pun berlalu. Dingin seperti biasa. Semua tidur beralas dan berselimut permadani lembut. Anak-anak kehilangan Paul. Sedih hati mereka jika teringat akan anak itu. Mereka tahu Paul sedang kesepian dan ketakutan walaupun mungkin ia tak mau menunjukkan perasaannya kepada orang-orang Gunung Rahasia. Fajar menyingsing. Langit menjadi bersemu merah, dan awan-awan kecil yang menghiasinya tampak keperakan. "Wah, dari puncak gunung, langit kelihatannya begitu luas," ujar Mike sambil memandang berkeliling. "Lihat - tuh, mataharinya muncul." Anak-anak menyaksikan gerakan perlahan matahari meninggalkan tempat persembunyiannya - naik ke langit. Mereka betul-betul terpesona melihat keindahannya. "Pantas kalau matahari dianggap sebagai raja langit!" kata Mike. "Aku bisa mengerti kalau orang-orang Gunung Rahasia jadi pemuja matahari! Tapi, hm, aku kehilangan Paul. Di mana dia, ya?" Ternyata tak lama lagi mereka bertemu dengan Paul. Mike melihat tiba-tiba pintu bulat di tengah pelataran dibuka. Cepat ia memberi tahu yang lain. "Ada orang datang! Lihat!" Semua memandang ke tengah pelataran. Sangkar emas naik perlahan-lahan melewati pintu. Di dalamnya, anak-anak melihat ada si ketua suku, dua orang pengawal, dan seorang anak kecil berpakaian jubah indah sekali. "He - itu si Paul! Lihat, pakaiannya!" seru Mike kagum. "Ada apa itu di kepalanya?" Pakaian Paul memang aneh sekali, ia mengenakan semacam jubah emas berkilau-kilauan. Panjangnya hingga ke lantai. Lengan jubah itu lebar. Menutup seluruh tangan anak itu. Kepalanya bertopi, bentuk matahari sedang memancarkan sinar. Sinarnya memancar ke atas. Paul nampak mewah, dan ia berjalan dengan gayanya yang anggun. Paul sudah mengira bahwa ia akan dijadikan kurban untuk dewa matahari, ia merasa ngeri. Tetapi, ia ingin menunjukkan kepada Mike dan kawan-kawannya yang lain bahwa ia bukan anak penakut Sambil berjalan mengikuti si ketua suku, Paul melemparkan senyum kepada Mike dan yang lain-lain - bibirnya agak gemetar. "Oh, Paul," ucap Nora. "Aku bangga melihat sikapnya," kata Mike, suaranya sedikit tersendat Tiba-tiba saja Kapten Arnold melangkah maju sambil berteriak dengan suara menggelegar. Semuanya jadi kaget "Berhenti! Kuperintahkan kau berhenti!" Si ketua suku berhenti berjalan, lalu mendelik kepada Kapten Arnold, ia tidak mengerti apa yang diucapkan si kapten barusan, tetapi ia tahu maksudnya. Dari nada suaranya saja sudah ketahuan! "Kemarilah kau, Mafumu," perintah Kapten Arnold. Si anak kulit hitam maju perlahan-lahan dengan tubuh gemetar. "Katakan kepada ketua suku itu bahwa kalau ia berani berbuat sesuatu terhadap diri Paul, matahari akan kubunuh," lanjut Kapten Arnold. Mafumu tidak mengerti. Jack lalu menjelaskan dengan kata-kata sederhana. Mafumu mengangguk-angguk. Ia berlutut di hadapan si ketua suku lalu membenturkan dahinya pada tanah di depannya. Mafumu menyerukan beberapa kata aneh kepada si ketua suku, lalu sekali lagi membenturkan dahinya ke tanah. Ketua suku mengerenyitkan dahi sambil memandang Kapten Arnold, ia lalu mengucapkan kata-kata tajam kepada Mafumu. "Ketua suku bilang, Kapten tidak bisa membunuh matahari," kata Mafumu. "Katanya, kalau matahari tinggi, tinggi, tinggi, Paul akan dikirim ke sana." "Kalau matahari tinggi," ulang Kapten Arnold. "Itu berarti tengah hari -jam dua belas. Gerhana akan terjadi jam dua belas kurang seperempat. Bagus! Katakan kepadanya bahwa aku akan membunuh matahari kalau ia tak mau melepaskan kita, Mafumu." Si ketua suku tertawa gelak-gelak. ia berjalan lagi menuju ke menara kuil. Paul mengikuti di belakangnya. Semua hanya bisa memandang Kepergian mereka. Anak-anak berharap gerhana yang diramalkan oleh buku harian Jack benar-benar akan terjadi. Rasanya agak kurang bisa dipercaya ramalan itu. 19. Matahari Menghilang! Tawanan berkulit putih dilarang masuk ke kuil pagi itu. Ada dua penjaga di pintu masuknya, melarang siapa pun masuk. Terlihat oleh Mike tubuh kecil si Paul di puncak menara, bersama si ketua suku yang sibuk mengucapkan berbagai doa kepada matahari. Sekali Paul melambaikan tangan kepada Mike, dan Mike membalas lambaiannya. "Kau tak perlu takut, Paul," teriak Mike. "Kami akan menyelamatkan kau!" Tetapi, angin menyapu teriakan Mike hingga Paul tak mendengar apa pun. Anak itu masih berdiri tegap dalam jubah keemasan yang ia kenakan. Topinya tegak di kepala, memancarkan cahaya ke atas. Matahari semakin tinggi dan cuaca pun bertambah panas. Kapten Arnold dan rombongannya berusaha mencari tempat yang agak teduh walaupun di situ hampir tak ada yang bisa dibilang teduh. Angin berhembus kencang di puncak gunung. Meskipun demikian sinar matahari terasa panas menyengat. Kira-kira pukul sebelas, pintu gerbang emas dibuka. Dari dalamnya muncul sebarisan orang-orang Gunung Rahasia. Mereka semuanya mendaki tangga keemasan sambil menyanyi-nyanyi. Pakaian mereka rata-rata hampir sama dengan yang dikenakan Paul. Pemandangannya cukup memukau ketika rombongan itu berlompatan keluar dari pintu gerbang menuju ke pelataran. Kulit wajah mereka lebih kuning daripada biasa. Lain daripada itu, jenggot mereka terlihat baru dicat lagi. Warnanya merah segar menyala. Seperti warna api. Masing-masing mengambil posisi di pelataran, membentuk beberapa deretan. Tak lama kemudian mereka mulai menari. Tariannya aneh. Mereka menghentak-hentakkan kaki. Sementara itu jubah mereka yang berkilau-kilauan tampak ikut bergerak-gerak. Sambil menari, mereka menyanyikan lagu puji-pujian dengan suara melengking tinggi. "Tari matahari," ujar Kapten Arnold. Semuanya merasa gelisah dan kuatir, tetapi kagum melihat tarian yang sedang dilakukan para penyembah matahari. Kapten Arnold melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah setengah dua belas. Dengan waswas dipandangnya langit. Matahari sudah hampir sampai pada titik tertinggi. Bulan sama sekali tak kelihatan karena matahari bersinar begitu menyilaukan. Padahal saat itu bulan sedang berada dalam peredarannya dekat matahari. Gong besar dibunyikan di kuil. Seorang punggawa kepala suku diberi tugas membunyikannya. Anak-anak memang tahu bahwa di sana ada gong besar. Tetapi, sejauh yang mereka lihat, di situ tak ada alat pemukulnya. Saat ini gong itu dibunyikan. Suaranya menggema kian kemari dipantulkan oleh lembah di bawah Gunung Rahasia. Mendadak para pemuja matahari yang berada di puncak gunung itu berlutut. Ketua sukunya menunggu hingga bunyi gong berhenti. Setelah itu ia baru bicara dengan suara lantang, ia membawa Pangeran Paul maju. Paul menurut, dan kini berdiri di menara kuil. Jubah yang ia kenakan melambai-lambai dan berkilauan oleh tiupan angin. "Kapten Arnold, berapa lama lagi gerhana itu mulai?" tanya Jack gelisah, ia benar-benar takut Paul akan dicelakakan oleh orang-orang Gunung Rahasia sebelum mereka sempat berbuat apa-apa untuk menolong anak itu. Kapten Arnold melihat jam tangannya. "Dua menit lagi," sahutnya. "Nah, sekarang aku akan mulai beraksi." Kapten Arnold berlari cepat memanjat tangga menara kuil. Kedua penjaga yang berdiri di pintu kuil sangat kaget. Mereka sama sekali tak menduga Kapten Arnold, akan menerobos masuk ke kuil. Itu sebabnya mereka tak siap. Kapten Arnold menyelinap masuk dengan gampangnya. Di dalam, ia terus berlari menaiki tangga. Sebentar saja ia sudah berdiri di dekat si ketua suku dan Paul. Pada saat itu kejadian yang ditunggu-tunggu pun mulailah. Kapten Arnold berpaling kepada matahari, lalu meninju-ninju. Sambil begitu, ia berteriak-teriak kepada matahari! Sebuah pisau ia cabut dari ikat pinggangnya, lalu ia lemparkan jauh ke atas! Pisau itu melambung tinggi, membentuk kurva, dan jatuh ke lereng gunung! "Ia membunuh matahari! Ia membunuh matahari!" pekik Mafumu. Ia langsung tahu mengapa Kapten Arnold mendadak berpolah begitu. Orang-orang Gunung Rahasia mengerti kata-kata Mafumu. Mereka langsung berdiri ketakutan dan bingung luar biasa. Punggawa si ketua suku lari hendak menangkap Kapten Arnold. Pada saat itu terjadilah sesuatu yang aneh. Sebagian kecil matahari mendadak hilang! Ada bayangan hitam kecil terlihat di sisi itu. Bulan rupanya sedang mulai lewat di depan matahari hingga bagian matahari yang tepat dilewatinya seperti hilang. Melihat itu Mafumu ketakutan sekali, ia menunjuk ke matahari sambil terus berteriak-teriak ketakutan. "Mataharinya digerogoti! Lihat, lihat!" Sunyi sepi di puncak Gunung Rahasia. Semua yang ada di situ memandang matahari di langit sambil menghalangi wajah mereka dengan tangan dan mengintip lewat sela-sela jari supaya tidak kesilauan. Punggawa yang hendak menangkap Kapten Arnold ikut-ikut melihat ke atas. Mereka gemetar melihat matahari saat itu. Bulan lewat lebih ke tengah matahari, hingga bagian yang gelap sekarang lebih luas. Orang-orang Gunung Rahasia mengeluh ngeri. Mereka tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Padahal, sebetulnya gerhana cuma suatu peristiwa alam yang sederhana. Mereka mulai percaya bahwa matahari yang mereka puja-puja benar-benar telah dibunuh! Tak seorang pun di antara mereka menduga bahwa itu cuma disebabkan oleh bulan yang lewat di muka matahari hingga menghalangi sinar matahari ke bumi untuk beberapa saat. Mereka menundukkan kepala, lalu mulai mengucapkan serentetan doa yang aneh kedengarannya. Ketika mereka mengangkat kepala lagi, separuh matahari hilang dari pemandangan! Saat itu bumi menjadi aneh kelihatannya. Matahari seperti berhenti bersinar dan suasana menjadi gelap. Hanya sinar lemah yang aneh nampak menerangi bumi. Burung-burung berhenti berkicau. Monyet-monyet di pohon saling berpegangan, takut. Lain halnya dengan kodok. Mereka mengira hari telah malam hingga mulai sibuk mengorek. Anak-anak merasa agak takut juga meskipun mereka tahu apa yang sedang terjadi. Mereka belum pernah melihat gerhana. Apalagi gerhana kali ini adalah gerhana sempurna. Sinar matahari benar-benar hilang dari bumi. Mafumu ketakutan setengah mati. Baru kali ini ia merasa begitu takut, ia terbaring di tanah, tubuhnya gemetar dan lemas. Jack berusaha menghibur anak itu. Ketua suku memandang matahari yang makin lama makin tak kelihatan dengan perasaan takut dan takjub. Ia pun gemetar. Benarkah orang kulit putih di depannya itu yang membunuh matahari pujaan mereka? Ah, ia benar-benar tak tahu. Ia menengadahkan tangan ke matahari sambil berseru seolah menghibur matahari dan memohon ia bersinar cerah kembali! Kapten Arnold melipat tangan di depan dada sambil berdiri tegak dengan wajah serius. Nampaknya ia benar-benar telah menaklukkan matahari. Hal yang lebih aneh lagi terjadi! Langit jadi hitam legam, dan bintang-bintang pun muncul. Sinarnya cemerlang menghiasi langit yang gelap. "Tak perlu takut," ujar Nyonya Arnold kepada anak-anak. Mereka semua kelihatan sangat takut Tak seorang pun di antara anak-anak itu mengira akan seperti itu kejadiannya. "Matahari sama sekali tidak kelihatan karena tertutup oleh bulan. Itulah sebabnya hari seperti malam dan bintang bermunculan. Kalian harus ingat bahwa sebenarnya siang maupun malam bintang bertaburan di langit Pada siang hari sinarnya tak kelihatan dari bumi karena terkalahkan oleh sinar matahari yang begitu terang. Sekarang sinar matahari terhalang bulan hingga sama sekali tak kelihatan dari bumi. Itulah sebabnya sinar bintang jadi kelihatan." Setelah masalahnya dijelaskan begitu oleh Nyonya Arnold, anak-anak jadi tak bingung lagi. Kejadian alam itu nampaknya jadi sederhana. Tetapi, orang-orang Gunung Rahasia tak mengerti akan hal itu. Mereka ketakutan setengah mati. Terdengar orang-orang itu berseru dan mengeluh. Berkali-kali mereka menepuk dahi dan berlutut Di puncak menara kuil suasana juga gelap. Kapten Arnold memegangi Pangeran Paul yang kaget dan bingung, lalu membisikkan sesuatu kepadanya. "Turunlah ke pelataran, Paul. Bergabunglah dengan yang lain. Kau takkan dilarang turun sekarang. Keadaan sudah aman." Dengan penuh rasa syukur anak itu menuruni tangga, menemui teman-temannya, ia berjalan dengan meraba-raba karena di mana-mana gelap. Betapa girangnya ketika terpegang olehnya tangan Mike. Mike langsung memeluk anak itu, dan yang lain mengerumuni mereka. Paul merasa aneh mengenakan jubah yang terus melambai-lambai. "Gerhananya terjadi pada saat yang sangat tepat hingga bisa menyelamatkan kau, Paul," kata Jack. "Kau aman sekarang. Ternyata kau seorang pemberani. Kami bangga melihat sikapmu selama ini." Paul merasa senang dipuji demikian. Biasanya teman-temannya sering menertawakan dan ia dianggap bayi. Sekarang ia merasa jadi pahlawan! Paul berdiri terus dekat kawan-kawannya sambil menyaksikan gerhana. Melihat matahari "hilang" sempurna, Kapten Arnold berteriak seolah mengancam matahari yang telah hilang. Ketua suku berlutut di hadapannya dan memohon belas kasihan. Saat itu ia telah benar-benar yakin bahwa Kapten Arnold bukan orang sembarangan, melainkan seseorang yang bisa melakukan mukjizat. Perlahan-lahan bulan lewat dari depan matahari. Kini sebagian kecil matahari nampak bersinar lagi. Bintang-bintang menghilang ketika bagian matahari yang kelihatan jadi semakin luas. Sekarang separuhnya nampak bersinar. Sinarnya aneh seperti tadi. Orang-orang Gunung Rahasia jadi bertambah keheranan. Mereka heran melihat matahari mati barusan. Tapi sekarang, sesuatu yang menakjubkan terjadi sekali lagi. Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka tak tahan lagi. Sambil berteriak-teriak mereka berlari ke tangga emas, lalu turun terbirit-birit Berkali-kali mereka terpeleset dan jatuh sementara mereka menuruni tangga yang panjang itu. Kedua penjaga yang berada di kuil pun berlari meninggalkan ketua suku mereka. Si ketua suku masih berlutut di hadapan Kapten Arnold. Bulan telah lewat dari depan matahari. Matahari sekarang bersinar lagi seperti biasanya. Tak ada lagi bayangan hitam padanya. Sinarnya kembali cemerlang, menerangi seisi alam. Burung-burung terdengar berkicau riang, dan monyet di pohon ribut berceloteh. Malam hari yang pendek dan datang secara mendadak tadi telah pergi. Kini alam kembali seperti biasa lagi. Kapten Arnold melingkarkan tangan pada bahu si ketua suku yang ketakutan, lalu membimbingnya turun dari menara, ia lalu berteriak memanggil Mafumu. "Mafumu, katakan kepadanya bahwa ia harus melepaskan kita sekarang. Kalau tidak, matahari akan kubunuh lagi," kata Kapten Arnold. Mafumu mengerti. Anak kulit hitam itu merasa lega melihat matahari muncul lagi. Sekarang anak itu beranggapan bahwa Kapten Arnold orang paling hebat di dunia. Walaupun telah berkali-kali teman-temannya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Mafumu tak juga hendak percaya atau mengerti. Baginya, Kapten Arnold-lah yang mematikan dan menghidupkan kembali matahari! Merasa dirinya jadi orang penting, Mafumu berbicara kepada ketua suku. Ia marah sekali. Tidak biasanya seorang anak kecil berbicara kepadanya dengan sikap begitu. Karena itu ketua suku tak mengindahkan kata-kata Mafumu. Si ketua suku menyingkir dari Kapten Arnold, lalu menuju ke pintu di tengah pelataran yang masih terbuka. Sangkar emasnya masih ada di situ menunggunya. "Mafumu, katakan kepadanya bahwa kita akan turun lewat tangga emas. ia harus menyuruh anak buahnya membiarkan kita keluar dari sini," ujar Kapten Arnold. Mafumu berteriak menyampaikan hal itu kepada ketua suku. Lelaki itu mengangguk, lalu masuk ke sangkar emas. Dalam sekejap ia sudah tak kelihatan lagi. Tetapi, pintu di tengah pelataran ditinggalkan tanpa diselot. "Yah, semua sudah pergi," kata Mike, tertawa. "Luar biasa! Benar-benar aneh pengalaman kita ini! Aku sendiri ngeri waktu matahari menghilang dan bintang-bintang bermunculan. Hm, rasanya kepingin makan deh. Kita ambil beberapa potong kue dari dalam kuil dulu, yuk - sebelum turun." "Cepat!" kata Kapten Arnold. "Aku ingin kita segera pergi mumpung bisa." Anak-anak laki-laki berlari mengambil kue dan buah-buahan. Semuanya itu mereka bawa ke luar di atas piring ceper. Mereka segera bergabung dengan Kapten dan Nyonya Arnold serta anak-anak perempuan yang tengah berjalan menuju pintu emas. Tetapi, ketika mereka sampai ke dekat sana, mendadak pintunya bergerak menutup! Kapten Arnold berteriak keras sambil lari ke sana. "Cepat! Mereka hendak mengunci kita lagi!" Kapten Arnold mencapai pintu keemasan tepat pada saat ia menutup sempurna. Pintu itu berdiri tinggi, agung, dan mewah di hadapannya - terkunci rapat. "Mereka menipu kita!" Kapten Arnold berseru marah sambil memukul-mukul pintu di depannya. Pintu itu tak mempunyai pegangan, selot, atau apa pun yang bisa dipegang untuk menggerakkannya. Masalahnya sudah jelas! Mereka takkan bisa lolos lewat pintu keemasan! 20. Burung Raksasa "Kita coba pintu di tengah pelataran!" seru Mike. "Kita bisa lolos lewat situ. Kalau tak salah tadi pintunya tak ditutup oleh si ketua suku!" Pontang-panting anak laki-laki lari ke tengah pelataran yang luas. Mereka takut pintu itu pun sudah tertutup waktu mereka sampai ke sana. Ternyata tidak Keempat anak laki-laki itu berdiri di tepi lubang berpintu di tengah pelataran, lalu memandang ke bawah. Tali penggantung sangkar terlihat di sisi-sisi lubang itu. Sangkarnya sendiri tidak kelihatan. Gelap sekali dalam lubang itu. Makin ke bawah nampaknya makin menyempit dan akhirnya hilang sama sekali dari pemandangan, ditelan kegelapan. "Mana bisa kita lolos lewat sini," ujar Mike. "Bagaimana kalau waktu kita turun mendadak sangkar emas itu naik?" "Sangkar emas itu dinaikkan dan diturunkan dengan bantuan tali panjang, bukan?" kata Nyonya Arnold. "Kukira tali-tali itu pasti masih tergantung di bagian tepi lubang." "Ya," kata Kapten Arnold menimpali. "Kita cari saja." Ternyata talinya sudah diputus! Memang ada tali tergantung dari ujung atas lubang itu, tetapi ketika ditarik kapten Arnold ternyata hanya beberapa meter saja panjangnya. Jadi, tali itu tak ada gunanya! "Pintu lubang ini sebaiknya kita tutup saja," kata Kapten Arnold akhirnya. Wajahnya menunjukkan rasa ngeri, juga kecewa. "Berbahaya kalau dibiarkan terbuka. Siapa tahu kalian terperosok. Yah, kita jadi terkurung lagi!" "Pasti mereka menertawakan kita di bawah sana!" kata Mike. "Gampang benar mereka menangkap kita! Kita tak bisa naik tak bisa juga turun - mungkin nasib kita harus tinggal di sini sampai mati!" Kapten Arnold merasa tak enak. ia takut orang-orang Gunung Rahasia mendadak datang beramai-ramai pada tengah malam lalu mencelakakan mereka. Tetapi Kapten Arnold hanya menceritakan perasaannya itu kepada istrinya, ia tak mau menakut-nakuti anak-anak, apalagi Peggy dan Nora. "Pengalaman kita hari ini banyak sekali," kata Kapten Arnold. "Baiknya sekarang kita masuk ke kuil - makan, lalu beristirahat" Mereka pun masuk ke kuil. Tak lama kemudian masing-masing sudah sibuk mengunyah kue dan buah-buahan segar. Nyonya Arnold dan anak-anak lalu berbaring-baring. Sementara itu Kapten Arnold berjaga. Mereka setuju untuk bergilir menjaga - Kapten Arnold dan juga Mike serta Jack. Dengan demikian, orang-orang Gunung Rahasia takkan datang tanpa sepengetahuan mereka. Sebagaimana biasa, malam datang cepat sekali. Bintang bersinar gemerlapan di langit hitam. Alam sunyi sepi dan damai di kaki Gunung Rahasia. Kapten Arnold memeriksa pintu di tengah pelataran, lalu juga pintu keemasan, ia ingin tahu apakah pintu-pintu itu masih tertutup. Ternyata masih tertutup, dan dari sisi lainnya tak terdengar suara apa pun. Malam lewat dengan tenang. Mula-mula Kapten Arnold yang berjaga, lalu digantikan oleh Mike dan Jack. Tetapi tak ada keanehan yang terjadi. Fajar pun menyingsing, dan matahari pagi bersinar cerah. Anak-anak bangun, lalu menggeliat. Lapar. Tetapi tak ada makanan lain selain sisa kue. "Mudah-mudahan mereka tak membiarkan kita kelaparan," ujar Mike. Ketika itu Kapten Arnold ikut menyerbu sisa kue yang masih ada di piring. "Kalau sampai begitu, wah - gawat!" "Petualangan kita kali ini sungguh-sungguh luar biasa," sahut Nora, "tetapi sangat tidak mengenakkan." Kira-kira pukul sepuluh, pintu besar keemasan menggelincir dan membuka. Dari bawah muncul rombongan orang-orang Gunung Rahasia. Tetapi, kali ini masing-masing membawa tombak yang berkilau-kilauan! Mereka hendak berperang - itu sudah jelas! Kapten Arnold sudah menduga ini akan terjadi, ia cepat menyuruh anak-anak menyingkir ke sudut. Bergegas ia maju menghadapi ketua suku yang tinggi. Mafumu diajaknya. Anak itu berdiri di samping Kapten Arnold dan disuruh berbicara kepada si ketua suku atas nama Kapten Arnold. Ketua sukunya sedang tak suka diajak bicara, ia pun membawa tombak seperti yang lain. Dipandangnya Kapten Arnold dengan tajam. "Katakan kepadanya bahwa matahari mereka akan kubunuh lagi," kata Kapten Arnold kepada Mafumu. "Ketua suku bilang dia akan bunuh Bapak dulu," kata Mafumu dengan gigi gemeletuk ketakutan. Nampaknya memang itu maksud kedatangan si ketua suku. ia menghunus tombaknya kepada Kapten Arnold. Kapten Arnold membawa senjata api. ia tak berniat menembak si ketua suku. Tapi, ada baiknya membuat orang itu takut sedikit. Ditariknya pistol dari pinggang, lalu diletuskannya peluru ke udara. Bunyinya nyaring dan bergema - sangat mengerikan. Si ketua suku terlonjak kaget dan takut Sementara itu orang-orang Gunung Rahasia lainnya mulai lari tunggang-langgang sambil berteriak-teriak. Tetapi, seorang di antara mereka berpikiran agak cerdik dibandingkan yang lain. ia menghunus tombaknya kepada Kapten Arnold. Senjata tajam yang berkilau-kilauan itu dilemparkan ke depan, mengenai pistol di tangan Kapten Arnold hingga jatuh terpelanting. Tak seorang pun berani memungut senjata itu. Kapten Arnold sendiri tak berani, ia punya alasan yang lain. Pada senjatanya sendiri Kapten Arnold tak takut-tapi, ia takut oleh tombak-tombak tajam di sekelilingnya! Si ketua suku berteriak lantang memberi perintah. Mendadak dua belas orang berlari maju membawa tombak. Mereka menyergap para tawanan. Sepuluh menit kemudian masing-masing tawanan itu, yang dewasa maupun yang anak-anak, sudah terikat kuat dengan tali! "Hendak mereka apakan kita?" Nora bertanya dengan jengkel karena ikatan pada lengannya terlalu kuat hingga menyakitkan. Tak seorang pun tahu. Yang jelas, mereka hendak dibawa turun ke perut gunung. Mereka takkan ditinggalkan lagi di puncak gunung! "Kurasa, ketua suku takut kita mencederai lagi matahari mereka kalau dibiarkan di sini," cetus Jack. "Kalau tiba-tiba ada gerhana lagi - wah, asyik! Mereka pasti kaget setengah mati!" Ketua suku memberi perintah agar tawanan mereka dibawa menuruni tangga emas. Tetapi, persis ketika mereka hendak bergerak ke sana, terdengar bunyi aneh! Mula-mula kedengarannya jauh dan tidak keras - seperti dengung lembut di kejauhan. Makin lama bunyi itu kedengaran makin keras, dan bergema kian kemari di kawasan pegunungan. Kini bunyi itu lebih mirip dengan deru ketimbang dengung. Bunyi menderu itu lewat di atas mereka. Orang-orang Gunung Rahasia berhenti, mendengarkan. Mata mereka melotot keheran-heranan. Belum pernah mereka mendengar bunyi aneh begitu. Bunyi apa? Mula-mula anak-anak pun heran - tetapi tak lama. Jack segera tahu bunyi apa yang didengarnya, lalu berteriak keras-keras. "Kapal terbang! Kapal terbang! Dengar bunyinya! ia menuju kemari!" Kapten Arnold bengong. Beliau tahu itu suara kapal terbang. Tapi, kapal terbang apa? Pasti - pasti bukan Seriti Putih! Bunyi menderu itu kedengaran makin dekat Di langit nampak titik hitam terbang menuju lereng gunung. Benar! Sebuah kapal terbang yang datang. Orang-orang Gunung Rahasia melihat kapal terbang itu. Mereka berseru kaget sambil menunjuk-nunjuk. "Mereka bilang apa, Mafumu?" tanya Jack. "Mereka bilang ada burung besar datang menyanyi r-r-r-r-r!" kata Mafumu. Matanya yang hitam berkilat-kilat Anak-anak jadi tertawa. Hati mereka berdebar-debar dan diliputi perasaan tak sabar. Mereka yakin sebentar lagi ada kejadian penting. Kapal terbang itu makin dekat, dan kelihatan makin besar. "Seriti Putih-kah itu?" tanya Kapten Arnold. "Aku kenal benar dengan suaranya yang begitu manis! Rupanya Ranni dan Pilescu berhasil kembali ke tempat kapal terbang kita, lalu menyiapkan dan menerbangkannya kemari." "Bisakah Seriti Putih mendarat di sini?" tanya Paul. "Bisa saja!" sahut Mike. "Lihat saja! Di sini terbentang pelataran halus yang luas - ini tempat ideal untuk melandasi Oh, mudah-mudahan saja Ranni dan Pilescu langsung mengenali gunung ini dan menuju kemari!" Kapal terbang itu datang lebih dekat, ia membumbung tinggi seolah hendak melewati puncak Gunung Rahasia. Kini orang-orang Gunung Rahasia mulai ketakutan. Mereka tiarap semua. Kapal terbang itu terbang berputar-putar seolah mencari sesuatu. Warnanya yang putih berkilau menyilaukan. "Mau mendarat! Mau mendarat!" pekik Jack sambil melompat-lompat walau tangan dan kakinya diikat. "Wah, orang-orang Gunung Rahasia dibuat kaget oleh Ranni dan Pilescu!" Kini pesawat terbang yang putih berkilauan itu berputar makin rendah. Ketika ia melandas, terdengar bunyi lain yang bergema di kejauhan. "Wah, kalau itu aku yakin bunyi kapal terbangku!" pekik Pangeran Paul. Wajahnya merah karena girang dan tak sabar. Ingin ia melepas tali yang mengikat tangan dan kakinya. "Aku tahu bunyinya!" Sementara Seriti Putih melandas mulus dan berjalan di pelataran, kapal terbang yang berikutnya nampak membumbung tinggi seolah mencari ancang-ancang. "Wah, benar! Itu kapal terbang Paul! Warnanya biru keperakan," seru Peggy. "Ya, Tuhan - rasanya aku tak percaya ini betul-betul terjadi! Lihat siapa yang di dalam Seriti Putih! Ranni, Ranni, Ranni!" Seriti Putih berhenti. Pintu cockpit-nya dibuka dari dalam. Tak lama kemudian sesosok tubuh tinggi kekar berjenggot merah menyala muncul. Benar - Ranni yang menerbangkan Seriti Putih! 21. Lolos Ketua suku dan anak buahnya sama-sama heran dan takut mendengar bunyi pesawat terbang dan melihat kedatangannya. Ketika Seriti Putih menderu tepat di atas Gunung Rahasia, mereka semua bertiarap ketakutan sambil mendesah seperti orang kesakitan. "Awas! Nanti terluka kalian oleh pesawat itu!" pekik Mike pada waktu Seriti Putih mendarat. Orang-orang yang ketakutan itu segera lari pontang-panting ke tepi pelataran. Untunglah pesawat mendarat mulus tanpa melukai seorang pun. Kapten Arnold dan istrinya serta anak-anak merasa lega melihat Ranni tersenyum melompat dari cockpit Anak-anak langsung mendapatkan Ranni, memeluk, dan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. "Sayang kau tak melihat bagaimana nasibku kemarin!" seru Paul. Ia sekarang merasa bangga menceritakan kisahnya yang mengerikan. "Aku mengenakan jubah emas dan topi berbentuk matahari sedang bersinar!" Kapten Arnold dan istrinya juga menghampiri Ranni. Tetapi, Kapten Arnold bersikap waspada terhadap orang-orang Gunung Rahasia yang kini berkerumun dengan tubuh gemetar, menyaksikan kapal terbang. "Mereka pikir pesawat itu bisa menerkam mereka, barangkali," Jack berkata sambil nyengir. "Kurasa, sebaiknya kita segera tinggal landas," kata Ranni. "Siapa tahu mereka mendadak sadar dan membuat situasi jadi sulit buat kita! Kalau pesawat kita mereka rusakkan, habislah riwayat kita!" "Ini dia, Pilescu datang bersama pesawat terbangku!" seru Paul riang. Pesawat terbangnya yang berwarna biru keperakan sementara itu berputar-putar di atas. Suaranya menderu keras. Seperti tadi, bunyi pesawat Paul pun dipantulkan oleh gunung-gunung di sekelilingnya, hingga bunyinya semakin hingar-bingar. Pesawat Paul terbang terus berputar-putar di puncak Gunung Rahasia. Lagi-lagi orang-orang Gunung Rahasia mengeluh ketakutan dan bertiarap. Pesawat Paul mendarat semulus Seriti Putih. Rodanya dikeluarkan, dan tak lama kemudian ia melandas - berlari pelan di atas pelataran. "Benar-benar tempat mendarat yang bagus sekali tempat ini," komentar Kapten Arnold sambil menyaksikan pesawat itu mendarat. "Permukaannya rata, datar, luas, dan berangin!" Pesawat biru keperakan akhirnya berhenti. Pintu cockpit-nya terbuka sementara baling-balingnya berhenti berputar. Pilescu melongok ke luar. Ia mengenakan helm pilot. Ranni tak mengenakan helm semacam itu tadi. Melihat Pilescu kepalanya jadi besar dan berbentuk rata seperti helm, orang-orang Gunung Rahasia semakin menjadi-jadi rasa takutnya! Hampir separuhnya lari pontang-panting ke tangga emas, lalu menghilang ke bawah sambil berteriak-teriak. Separuh lainnya bersama ketua suku mereka berlutut di tanah sementara si ketua suku menggumamkan sesuatu. "Ketua sukunya minta ampun!" ujar Mafumu. Anak berkulit hitam itu merasa senang dengan segala sesuatu yang barusan terjadi. "Kalau dia mengira aku hendak melemparkannya ke kaki gunung atau membawanya pergi dengan pesawat, dugaannya salah," sahut Kapten Arnold. "Saat ini aku sama sekali tak menghiraukan dia. Ayo - kita cepat-cepat tinggal landas sekarang! Mumpung ada kesempatan lolos dari bahaya besar!" "Dan kita punya dua pesawat pula!" kata Mike riang gembira. "Naik yang mana kita?" "Ranni, Pilescu, Paul, Jack, dan anak-anak perempuan naik kapal terbang si Paul. Ukurannya lebih besar," kata Kapten Arnold. "Sebaiknya Mike bersama kami. Kukira, sebaiknya Mafumu pun ikut Kita tak bisa meninggalkannya di sini. Bisa-bisa ia diperlakukan dengan biadab oleh orang-orang itu!" Masing-masing naik ke pesawat yang hendak ditumpangi. Prosesnya tak lama. Pilescu memeriksa pesawatnya, lalu memandang berkeliling. "Semuanya sudah siap?" tanyanya, ia menoleh sekali lagi. "Mana Paul? Kalau tak salah, seharusnya ia ikut pesawat ini." "Tapi dia tidak naik ke sini," ujar Jack. "Mungkin dia naik Seriti Putih. Sudah lama anak itu kepingin naik Seriti Putih." "Baiklah kalau begitu," kata Pilescu pula. Ia mulai menarik sebuah instrumen kapal terbang yang hendak ia kendarai. Tetapi Ranni buru-buru mencegahnya. "Kita harus yakin dulu Paul ada di Seriti Putih!" katanya. "Bagaimana kalau kita sampai di Inggris dan baru tahu Paul tidak terbawa?" Ranni membuka pintu cockpit sekali lagi, lalu melongokkan kepalanya ke luar. Ke arah Seriti Putih ia berteriak. "Hai, apakah Paul ada di situ?" "Apa?" tanya Kapten Arnold yang sudah bersiap-siap hendak tinggal landas. "Apakah PAUL ada di situ?" teriak Ranni. "Tidak," teriak Kapten Arnold setelah memeriksa isi Seriti Putih. "Kan sudah kukatakan Paul mestinya ikut pesawat kalian. Seriti Putih cuma bisa dinaiki empat orang." Wajah Ranni pucat Pangeran Paul adalah satu-satunya orang yang paling ia sayangi. Masa mereka hendak meninggalkan puncak Gunung Rahasia tanpa Pangeran Paul! Di mana dia? Ranni melompat ke luar dari pesawat terbangnya. Nora memekik memberi tahu. "Lihat! Itu dia Paul, di kuil!" Ranni lari ke kuil. Dalam pikirannya, Pangeran Paul sengaja diculik dan hendak dicelakakan oleh orang-orang Gunung Rahasia. Ia mengeluarkan senjatanya. Dalam hati Ranni bertekad hendak membuat seluruh penduduk Gunung Rahasia kaget setengah mati kalau mereka sampai bermaksud menawan Paul lagi! Ternyata, di kuil cuma ada Paul. ia berada di sudut kuil, sedang sibuk sendiri. Ranni jadi meluap. "Paul! Sedang apa kau? Hampir saja kami pergi tanpa kau!" Paul berdiri. Anak itu memegang jubah indah keemasan yang kemarin ia kenakan. Di bahunya tersampir tutup kepala berbentuk matahari bersinar. Rupanya Paul ingin membawa benda-benar itu pulang - untuk dipamerkan kepada teman-temannya di sekolah. Itulah satu-satunya bukti yang bisa ia tunjukkan supaya mereka percaya bahwa ia benar-benar telah mengalami sesuatu yang luar biasa. Diam-diam Paul menyelinap - memisahkan diri dari rombongan, ia sengaja tak mengatakan apa-apa, karena tahu Kapten Arnold pasti melarangnya kembali ke kuil untuk mengambil benda-benda itu. Sukar benar mengambil jubah dan topinya. Di samping itu, Paul tak sadar bahwa dalam waktu singkat pesawat hendak lepas landas. "Hai, Ranni! Aku kemari hendak mengambil pakaian ini," kata Paul. "Kau belum pernah melihatnya, kan? Coba lihat.." Betapa kagetnya anak itu ketika Ranni memukulnya, lalu membopongnya bersama semua pakaian yang ia bawa ke pesawat Melihat ini, beberapa orang Gunung Rahasia mulai sadar. Mereka mengambil tombak mereka. Sebuah tombak berkilauan melayang ke sisi kepala Ranni. Untung ia cepat mengelak dan langsung naik ke tangga pesawat. Sampai di dalam, dilemparkannya Paul ke kursi. "Pangeran bodoh ini rupanya ke kuil hendak mengambil pakaian kebesarannya!" ujar Ranni marah, ia begitu takut Hampir saja mereka pergi tanpa pangeran yang ia sayangi. Paul pun marah, ia duduk tegak di kursinya. "Kau berani memukulku, Ranni?" teriaknya. "Akan kulaporkan kau kepada ayahku, raja Baronia. Kau pasti di... di..." "Hus! Sudahlah diam kau, Paul!" kata Jack. "Kalau kau mengucapkan sepatah kata lagi, aku yang akan memukulmu! Gara-gara kau, bisa-bisa kita gagal pergi dari sini. Lihat orang-orang Gunung Rahasia sudah mulai garang lagi!" Benar saja! Beberapa orang berjalan ke dekat pesawat membawa tombak. Kedua pesawat terbang sudah dibunyikan mesinnya. Baling-baling keduanya sudah sibuk berputar. Bunyi mesinnya menderu-deru. Orang-orang Gunung Rahasia jadi ketakutan lagi. Yang mula-mula tinggal landas adalah Seriti Putih. Dengan mulus dan anggunnya ia mengangkasa, berputar-putar dua kali, lalu meninggalkan kawasan di atas puncak Gunung Rahasia. Menyusul, pesawat terbang biru keperakan milik Paul. Jack memandang ke bawah. Gunung Rahasia kelihatan jauh dan kecil sekali. Orang-orang di puncaknya kelihatan seperti semut dari atas sini. Wah, mereka pasti marah dan panik karena tawanan mereka lolos dengan cara itu! "Alhamdulillah," kata Jack kepada Nora dan Peggy. "Walaupun senang telah melihat Gunung Rahasia dari dekat sekali, rasanya lebih senang lagi bisa meninggalkan tempat itu! Jangan bersedih begitu dong, Paul! Bergembiralah! Yang penting, kita sudah selamat! Hampir saja semuanya jadi berantakan gara-gara kau!" Pangeran Paul tahu bagaimana caranya orang Inggris minta maaf. "Maaf," katanya. "Aku tak berpikir sejauh itu. Untung saja aku berhasil membawa jubah itu. Anak-anak di sekolah pasti iri dan menganggapku anak beruntung! Aku akan mengenakan pakaian itu dan memamerkannya kepada Bapak Kepala Sekolah." Yang lain tertawa. Senang dan lega rasanya berada dalam pesawat terbang lagi. Jack memanggil Ranni. "Ranni! Kau belum menceritakan pengalamanmu dan Pilescu!" katanya. "Bagaimana cara kalian lolos dari Gunung Rahasia?" "Tak kami sangka - ternyata gampang sekali," sahut Ranni. ia duduk di samping Pilescu di cockpit "Mereka tak mencurigai kami. Semua menganggap kami bangsa mereka sendiri. Lama kami menuruni tangga emas bersama mereka sampai tiba di sebuah gua besar. Di gua itulah rupanya sebagian besar orang-orang itu tinggal." "Benar. Aku dan Mafumu pernah melihat gua itu," kata Jack. "Terus bagaimana, Ranni?" "Kami tak mau masuk ke gua itu dan duduk-duduk dengan mereka di sana, karena takut diajak bicara," lanjut Ranni. "Jadi, kami menunggu di gang di depan gua itu sampai ada beberapa orang ke luar membawa tombak. Kami berpikir, mereka hendak berburu. Jadi kami ikut mereka, berjalan di belakang." "Asyik amat!" kata Nora. "Mereka tak curiga apa-apa?" "Sama sekali tidak," kata Ranni. "Kami mengikuti mereka lewat segala macam lorong gelap, sampai akhirnya berada di ruangan luas semacam balairung. Di situ ada tangga batu menuju ke pintu masuk yang dihalangi batu. Mereka menggerakkan pengungkitnya, dan pintunya menggelincir - membuka. Jalan pun terbuka buat kami." "Kau beruntung," kata Jack. "Alangkah senangnya kalau aku bersama kalian waktu itu." "Setelah itu baru agak sulit," lanjut Ranni. "Kami mesti cari jalan ke tempat pesawat, dan tersesat di hutan. Cuma nasib mujur yang membuat kami bisa sampai ke sana. Walaupun lelah luar biasa, lega rasanya bisa sampai ke pesawat!" "Cepat sekali kalian membawa pesawat terbangnya ke puncak Gunung Rahasia," seru Peggy. "Sukar tidak mencari Gunung Rahasia dari atas, Ranni?" "Sama sekali tidak. Gampang sekali, malah," kata Ranni. "Dari atas, gunung itu kelihatan kuning. Lain dari itu, puncaknya datar." "He! Mau apa Seriti Putih?" seru Jack mendadak. "Akan mendarat rupanya! Betulkah, Ranni?" "Kelihatannya begitu," ujar Ranni. "Ada apa, ya? Wah, mudah-mudahan saja tak ada kerusakan. Pesawat ini besar, tetapi takkan cukup dinaiki semuanya." Seriti Putih makin rendah terbangnya. Di bawah ada dataran luas berumput Seriti Putih menuju ke sana. Dengan mulus pesawat itu mendarat, lalu berhenti. "Kita harus mendarat juga, melihat ada apa dengan mereka," Ranni berkata dengan wajah kuatir. Tak lama kemudian pesawat terbang biru keperakan pun terbang memutar dan perlahan-lahan menuju lapangan rumput tadi. Rodanya dikeluarkan, dan ia pun mendarat dengan lembut - berhenti setelah berlari beberapa meter di permukaan rumput Kapten Arnold sudah keluar dari pesawat Ia sedang membantu Mafumu turun. "Ada apa? Ada yang rusak?" teriak Ranni sambil turun dari cockpit pesawatnya. "Biar kubantu!" 22. Selamat Tinggal, Mafumu! Kapten Arnold menoleh, menggeleng-gelengkan kepala. "Tak apa-apa," sahutnya. "Aku baru saja ingat bahwa kita tak bisa membawa Mafumu ke Inggris! Ia akan sedih berjauhan dengan keluarganya. Kaum kerabatnya tinggal tak jauh dari sini. Lihat, itu dia perkampungan mereka! Kelihatan dari sini! Itu sebabnya aku mendarat di sini - supaya Mafumu bisa turun." "Wah, anak-anak di pesawat sana pasti ingin mengucapkan selamat tinggal kepadanya," ujar Ranni segera. "Mafumu telah menjadi sahabat kita semua. Tanpa bantuannya, kami takkan bisa menemukan Anda. He, Jack - panggil Paul dan anak-anak perempuan kemari! Kita akan meninggalkan dia di sini!" Anak-anak berhamburan turun dari pesawat Mereka hendak mengucapkan selamat tinggal kepada sahabat mereka - anak kecil manis berkulit hitam. Mereka sayang kepada Mafumu yang Jenaka. Sebenarnya, mereka tak ingin berpisah dengan anak itu. "Mengapa kita tidak mengajak Mafumu pulang saja?" tanya Paul. "Di sana kita bisa memberinya pakaian yang pantas, lagi pula, dia bisa sekolah bersama Mike, Jack, dan aku!" "Nanti Mafumu sedih terus," kata Ranni. "Lain kali saja kita kemari lagi mengunjunginya. Siapa tahu kelak dia menjadi ketua suku. Anaknya cerdas dan pemberani. Aku yakin dia bisa jadi pemimpin yang baik." "Mudah-mudahan saja pamannya tak sering-sering memukul Mafumu," kata Jack. "Wah, lihat - orang kampung berlarian kemari. Barangkali karena mereka melihat Mafumu." Benar saja. Dari desa kecil yang terletak tak jauh dari tempat pendaratan mereka, berlarian orang-orang kulit hitam - laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Mereka melihat Mafumu. Walaupun takut akan burung besar yang bunyinya menderu-deru, mereka merasa bahwa burung itu tidak berbahaya. Buktinya, Mafumu berada di sana dan tidak apa-apa. Paman Mafumu datang bersama orang-orang itu. Jack bertanya-tanya - mungkinkah paman Mafumu hendak mencengkeram dan memukuli Mafumu karena telah melarikan diri? Diliriknya Mafumu, ingin tahu apakah anak itu kelihatan takut. Tetapi Mafumu tak nampak takut, ia malah berdiri tegap. Terlihat benar bahwa anak itu merasa bangga akan dirinya sendiri. Ia punya sahabat orang kulit putih yang baik hati, dan ia telah menolong sahabat-sahabatnya itu. Hatinya benar-benar bangga-seolah ia raja yang dipertuan pada saat itu. "Mafumu, terimalah ini sebagai kenang-kenangan," kata Pangeran Paul sambil menyodorkan pisau lipatnya yang indah - bergagang emas. Mafumu girang bukan buatan. Sudah sering ia melihat Paul menggunakan pisau itu. Ingin rasanya ia memegang benda itu. Tetapi, minta izin ia tak berani. Sekarang benda itu diberikan kepadanya - jadi miliknya! Mafumu hampir tak percaya! Semua ingin memberi kenang-kenangan buat Mafumu. Nora memberinya kalung manik-manik berwarna hitam yang langsung dikenakan oleh Mafumu dengan bangga. Peggy memberikan bros kecil berbentuk hurup P yang terbuat dari perak. Mafumu menyematkan benda itu di rambutnya yang keriting! "P bukan inisial yang cocok buat Mafumu, tapi dia toh tak tahu," kata Peggy. "Kau akan memberi kenang-kenangan apa, Mike?" Mike selalu membawa tiga gundu di sakunya, ia memberikan ketiganya kepada Mafumu. Mata anak itu semakin membelalak-kaget dan senang dihujani hadiah! Giginya yang putih kelihatan cemerlang sementara ia tak henti-hentinya tersenyum lebar kepada semua orang di sekelilingnya. Lalu tiba giliran Jack! Jack memberinya sebatang pensil. Pensil itu terbuat dari perak. Mata pensilnya bisa masuk-keluar kalau ujung belakangnya diputar-putar. Mafumu mengira benda itu benda ajaib. Betapa girangnya anak itu mempunyai pensil sehebat itu. Anak itu langsung berlutut, mencium kaki Jack. "Hus, jangan begitu, Mafumu," kata Jack, merasa tak enak. Semua tertawa cekikikan menyaksikan adegan itu. Tetapi Mafumu belum mau melepaskan pahlawan yang ia kagumi. Dipeluknya kedua kaki Jack dengan erat hingga Jack hampir jatuh karena hilang keseimbangan. "Hus, sudahlah, Mafumu," ucap Jack lagi. Akhirnya Mafumu berdiri. Matanya berlinang-linang. ia merasa sedih hendak berpisah dengan Jack. Selain itu, ia tidak punya apa-apa yang bisa ia berikan kepada Jack untuk kenang-kenangan. Ya, ia tak punya benda apa pun, kecuali kalung gigi buaya yang dikenakannya! Mafumu melepaskan kalungnya sambil menggumamkan sesuatu, lalu memberikannya kepada Jack. "Tidak, Mafumu," kata Jack. "Jangan. Aku tahu bahwa kau percaya kalung ini menyelamatkanmu dari bahaya dan gangguan roh jahat Pakailah selalu kalungmu itu. Aku tak mau mengambilnya darimu." Tetapi Mafumu tak mau menyerah. Akhirnya Jack terpaksa menerima kalung pemberian Mafumu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Lehernya terasa tersumbat sesuatu. Ah, Mafumu - berat juga berpisah denganmu! Ranni memberi Mafumu sebuah cermin. Pilescu memberinya buku notes yang bisa ditulisi dengan pensil ajaib pemberian Jack. Kapten Arnold memberi kaca mata hitam yang selama ini tersimpan di lemari dalam Seriti Putih. Mafumu girang bukan buatan. Kaca mata itu langsung ia kenakan. Semua orang jadi tertawa melihat betapa lucu wajah anak itu mengenakan kaca mata. Nyonya Arnold memberi Mafumu potret semua anak-anaknya. Potret itu selalu di bawa ke mana-mana, dan tersimpan di dompet penyimpan foto yang terbuat dari kulit coklat. Wah, kegembiraan Mafumu tak bisa dilukiskan. Anak itu menari-nari dengan membawa semua hadiah yang ia terima di atas kepalanya. Kaca mata hitam pemberian Kapten Arnold masih ia kenakan. Semua orang tertawa kegelian. Penduduk kampung makin lama makin dekat ke tempat mereka. Semuanya nampak heran melihat Mafumu diberi hadiah sebanyak itu. Mafumu melepaskan kaca matanya, lalu tertawa lebar kepada teman-temannya. "Selamat jalan," ucapnya dengan bahasa Inggris. "Selamat jalan. Kapan-kapan sini lagi. Mafumu sahabatmu." Anak-anak memeluk Mafumu, lalu naik lagi ke pesawat. Setelah orang-orang berkulit putih berada di dalam pesawat, barulah orang-orang kampung berani mendekati Mafumu. Paman Mafumu merasa iri. Ia ingin punya kalung manik-manik pemberian Nora. Mafumu mendelik kepada pamannya. Lalu, dengan gerakan cepat anak itu mengenakan kaca mata hitamnya dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Orang-orang kampung berlarian menjauh sambil memekik-mekik ketakutan. Pamannya berlari paling cepat. Mafumu mengikuti mereka dengan langkah tegap dan pasti. Ia merasa dirinya pemimpin para ketua suku saat itu! Pemandangan itulah yang terakhir dilihat teman-teman Mafumu dari pesawat. Setelah itu pesawat mereka mengudara. Mafumu menoleh sebentar, melambaikan tangan, ia sedih, tetapi merasa malu jika saat itu ia menunjukkan perasaannya. Dalam hati ia yakin pamannya takkan lagi terlalu sering memperlakukan ia dengan seenaknya! "Sedih berpisah dengan Mafumu," keluh Peggy. "Rasanya anak itu sudah jadi saudara kita." "Jack mujur mendapat kalung gigi buaya," kata Paul "Kau juga mujur, Paul - punya jubah indah dan topi matahari," sahut Peggy. "Aku juga ingin punya yang begitu." "Jangan kuatir. Kapan saja kau ingin pinjam, akan kupinjami," sahut Paul. Kedua pesawat terbang mereka melaju mulus dan cepat di angkasa. Nora melihat ke bawah, ingin tahu apakah mereka masih berada di atas gunung-gunung. Tiba-tiba saja ia memekik. "He! Kita lewat di atas Gunung Rahasia! Lihat ke luar, cepat! Rupanya tadi kita terbang ke selatan mengantar Mafumu. Sekarang kita dalam perjalanan ke utara, pulang!" Semua melihat ke bawah. Benar. Gunung Rahasia kelihatan di bawah sana. Bentuknya yang ganjil dan warnanya yang aneh membuat gunung itu mudah dibedakan dari gunung-gunung yang lain. "Gerhana mataharinya asyik, ya?" kata Nora. "Lebih asyik lagi rupa si Paul waktu berjalan mengenakan jubahnya yang berkilau-kilauan," cetus Peggy. "Aku bilang sih, paling asyik waktu kita berdiri di puncak Gunung Rahasia dan mendengar deru Seriti Putih," kata Jack. "Senangnya kalau bisa mengulangi petualangan itu lagi," kata Paul. "Kadang-kadang mengerikan juga situasinya. Tapi justru itu yang bikin menarik dan asyik! Aku suka mengalami pengalaman seperti itu." "Mudah-mudahan petualangan yang membahayakan sudah selesai," kata Ranni. "Buatku pengalaman kita barusan sudah lebih dari cukup! Yang kuingini sekarang, kita sampai kembali ke Inggris dengan selamat, dan kalian sekolah lagi." "Sekolah! Wah, aku jadi tak bisa membayangkan kita harus sekolah lagi sehabis bertualang begini!" seru Paul. "Malas, rasanya. Aku ingin kita terbang lagi dengan pesawat ini, Ranni." "Boleh saja kau ingin segala macam, Paul. Tapi, sekolah adalah yang paling bagus dan aman buatmu," kata Ranni. "Kau kan sudah punya cerita banyak buat teman-temanmu. Wah, kalau kauceritakan semuanya yang kita alami kepada mereka, bisa-bisa kau dianggap pahlawan." "Sungguh?" tanya si pangeran kecil. Matanya bersinar-sinar. "Sebenarnya aku bukan pahlawan - tapi, kalau orang menganggapku pahlawan, senang juga mungkin." Pesawat terbang mereka terbang terus dengan mulus. Akhirnya mereka sampai ke sebuah lapangan terbang luas. Di situ mereka mendarat. Pesawat-pesawat mereka mengisi bahan bakar. Sementara itu mereka semua makan. Kapten Arnold mengirim telegram ke Inggris, mengabarkan bahwa mereka selamat. Setelah itu mereka terbang lagi. Malam itu anak-anak tidur nyenyak. Bertualang memang asyik. Tapi, tenang rasanya setelah berada di tempat aman lagi. Mereka mulai membayangkan kembali negeri Inggris serta Dimmy. Wah, sudah tak sabar ingin menceritakan pengalaman mereka yang mendebarkan itu kepada Dimmy. Mereka akhirnya sampai ke rumah! Pesawat mereka mendarat di Lapangan Terbang Croydon. Mereka disambut orang banyak! Wartawan berebut mengambil potret mereka. Orang-orang yang lain mendekati, ingin menepuk bahu mereka atau berjabat tangan. Kapten Arnold mengucapkan beberapa patah kata di depan mikrofon, yang isinya menyatakan mereka akhirnya sampai dengan selamat! Rombongan yang baru datang itu dibawa oleh dua buah mobil yang sengaja telah disiapkan. Mereka menuju London, ke tempat Dimmy menunggu mereka. Ribut benar anak-anak mengobrol. Mereka tertawa-tawa dan merasa bangga. Senang rasanya berada kembali di Inggris. Lebih senang lagi karena mereka disambut dengan begitu hangat. Dimmy berdiri di muka pintu, menyambut kedatangan mereka. Anak-anak berebut turun dari mobil, lalu berlari-lari mendapatkan Dimmy sambil ribut bercerita dengan suara keras. "Kami dari Afrika!" "Kami menemukan Gunung Rahasia!" "Wah, hampir si Paul dijadikan kurban untuk dewa matahari!" "Waktu terjadi gerhana, orang-orang Gunung Rahasia mengira kami yang membunuh matahari!" "He! Kalau kaupeluk aku seperti ini, jangan-jangan aku yang jadinya kalian bunuh!" ujar Dimmy. Matanya berlinang air mata - air mata bahagia, ia merasa bersyukur bertemu kembali dengan anak-anak. Ketika mereka secara mendadak dan diam-diam meninggalkannya, Dimmy betul-betul diliputi kekuatiran dan kegelisahan. Tapi, sekarang itu tak jadi soal lagi. Mereka sudah sampai kembali ke rumah dengan selamat Sore itu Kapten Arnold pergi, menyiarkan pengalamannya. Menurut rencana, siaran itu akan diudarakan pukul sembilan lima belas menit - setelah acara siaran berita. Anak-anak memasang radio, mendengarkan. Asyik mendengar suara Kapten Arnold menceritakan kembali pengalaman mereka. Dimmy mendengarkan dengan keheran-heranan. Dari anak-anak telah ia dengar beberapa kepingan ceritanya, tetapi ketika mendengar ceritanya yang lengkap, seperti membaca buku cerita saja dia! Bukan main! Kira-kira setengah jam lamanya Kapten Arnold bercerita di studio. Ketika siaran itu selesai, Dimmy mematikan radio. "Yah," ujarnya, "kita bersama-sama telah melewati petualangan yang tak terlupakan, Anak-anak. Sudah banyak petualangan kita. Tetapi, kurasa inilah yang paling mengesankan. Sungguhkah hal itu terjadi? Benarkah hal-hal aneh begitu bisa terjadi pada anak-anak biasa macam kalian?" "Buktinya bisa!" kata Jack, ia lalu memperlihatkan kalung gigi buaya yang diberikan kepadanya oleh Mafumu. "Lihat - ini gigi buaya yang pernah hendak memakan Mafumu. Ayah dan pamannya membunuh buaya itu. Beberapa giginya diambil dan mereka berikan kepada Mafumu. Mafumu memberikannya kepadaku." "Sedang apa Mafumu saat ini, ya?" tanya Mike. "Anak itu betul-betul sahabat sejati. Kalau tidak dibantu Mafumu, belum tentu kita sekarang berada di sini." "Sebentar lagi pun kalian takkan berada di sini," kata Dimmy. "Ini sudah larut malam. Kalian sudah waktunya masuk ke kamar dan tidur!" "Waktu tidur? Ah, aku sampai lupa di dunia ini ada yang "disebut orang waktu tidur," keluh Peggy. "Sudah beberapa minggu kami tak pernah tidur di tempat tidur. Kurasa, mulai sekarang aku takkan pusing dengan waktu tidur lagi." Terserah - pokoknya aku akan tidur pada waktunya!" sahut Dimmy. "Ayo, yang mau biskuit dan minum sirup, ikut aku! Yang bandel takkan kuberi!" Mereka menikmati biskuit dan sirup di kamar, sambil ribut bercerita dan mengobrol lagi! Akhirnya Dimmy memadamkan lampu dan dengan tegas mengatakan, "Stop bicara!" Dimmy meninggalkan anak-anak. Anak-anak pun tidur nyenyak, bermimpi me-ngenai daratan Afrika nun jauh di sana serta gunung-gunung, teristimewa Gunung Rahasianya! -TAMAT- Djvu: BBSC ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu